Kiai Said Yahya yang Saya Kenal, Sebuah Memori

kiai-said-yahya-yang-saya-kenal-debuah-memori

JAS HIJAU – Sekitar sepekan sebelum kabar Kiai Said Yahya berpulang, saya bermimpi tentang beliau. Dalam mimpi itu, Kiai Said meminta saya untuk memijatnya. Dibarengi Abdur Rofik, saya memijat beliau di kamarnya.

Pada pertengahan, beliau beranjak dari tempat tidur, kemudian mengambil sebatang rokok yang ada di teras depan, lalu menyulutnya. Selepas itu, Gus Ghozali Khozin dan Gus Abdurrohim Said keluar dari kamarnya, ternyata rokok yang diambil Kiai Said itu adalah rokok beliau berdua yang memang belum dibereskan lantaran jagongannya belum kelar.

Seingat saya—dalam mimpi itu—Gus Rohim dan Gus Zali tak memberi komentar waktu melihat Kiai Said mengambil rokoknya. Beliau berdua hanya menanyakan kapan saya sampai di pondok? Saya pun menjawabnya: “Kemarin, Gus.”

Kemudian, mimpi itu pun selesai. Saya sempat mengirim pesan ke Rofik, bercerita tentang mimpi itu dan meminta nomor telepon Gus Zali, namun saya urungkan menghubungi beliau, rasanya kok tidak sopan.

Dan, Senin, 12 Maret 2018 kabar kepulangan beliau saya terima. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiiun, surga telah menanti engkau, kiai.

SEBUAH MEMORI
Selama saya nyantri di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum (PPRU) 1 Ganjaran, Gondanglegi, Malang, memang tidak banyak momen yang bisa saya rekam tentang beliau. Atau, saya tidak banyak mengalami interaksi langsung dengan Kiai Said.

Di pesantren, beliau memang tidak mengajar santri mengaji (nyasak) kitab kuning laiknya kiai-kiai lainnya. Sependek yang saya ingat, dalam aktifitas pesantren, Kiai Said itu rutin menjadi imam salat di musala pesantren putera.

Baca juga: Biografi K.H. Khozin Yahya, Sang Penjaga Pesantren


Di sini, saya ingin berbagi tiga hal tentang beliau—yang hingga hari ini masih saya ingat jelas. Pertama, senyum ramahnya. Ya, mengingat Kiai Said tidak bisa lepas dari senyum ramahnya yang selalu beliau lempar ketika bersua dengan siapa pun, termasuk dengan para santri. Siapa pun yang pernah menjura pada beliau, pasti sulit melupakan senyum ikhlas khas beliau.

Kedua, membuat lobang. Kejadian ini terjadi saat saya memecah (mecel; bahasa Jawa atau maddung; bahasa Madura) kayu di pekarangan belakang nDalem Gus Nasihuddin Khozin.

Waktu itu, tiba-tiba hujan turun, saya pun berteduh sambil menikmati kopi yang disediakan oleh abdi dalem. Nah, selang beberapa menit, Kiai Said datang lalu membuat lobang tepat di tembok kamar mandi pesantren puteri. Baik saya maupun teman-teman, sama-sama tidak berani untuk bertanya kenapa beliau melobangi tembok itu.

Kala itu, saya hanya berbaik sangka, bahwa yang beliau lakukan memiliki maksud dan tujuan. Sebagai seorang santri, saya meyakini apa yang dilakukan Kiai Said ada maksud tersirat yang memang tidak akan pernah dapat dijangkau oleh santri macam saya. Dan, sampai hari ini pun, saya belum tahu apa maksud dari lobang itu.

Ketiga, “tak mengerti” uang. Momen ini terjadi saat saya menjaga kantin pondok. Seperti biasa, Kiai Said memang selalu membeli rokok di kantin pesantren. Saya masih ingat, waktu itu beliau membeli rokok Gudang Baru dan harganya tiga ribu rupiah, kalau tidak salah.

Dari kejadian ini ada dua hal yang saya ingat betul; (1) beliau itu tidak mau membeli rokok yang harganya di atas tiga ribu rupiah. Sewaktu rokok Gudang Baru naik, beliau tidak membelinya. Ketika membeli rokok, Kiai Said selalu bertanya: “Rokok yang harganya tiga ribu apa?”

Lalu, yang ke (2), selepas membayarnya, beliau selalu pergi tanpa menghiraukan kembaliannya. Waktu itu, petugas kantin sering mengantarkan kembaliannya ke nDalem.

Pernah suatu ketika kembaliannya langsung dikasihkan kepada beliau. Kiai Said hanya tersenyum, lalu berkata: “Ini kebanyakan, saya barusan kan ngasihnya cuma satu lembar,” (kata ini tidak sama persis dengan yang dikatakan beliau, karena keterbatasan saya dalam mengingatnya—lebih-lebih beliau sampaikan dengan bahasa Madura dan dnegan nada yang pelan—paling tidak maknanya seperti itu). Saya dan teman-teman di kantin hanya diam menundukkan kepala.

Dari tiga kejadian yang saya urai di atas, jelas ada pesan tersirat yang hendak beliau sampaikan kepada kita semua. Namun, jujur saya tidak bisa menafsiri semua itu. Inilah kemudian yang membuat saya memutuskan untuk menuliskannya. Barangkali ada yang bisa menerjemahkan apa yang telah Kiai Said lakukan.

Baca juga: Biografi K.H. Yahya Syabrawi, Pendiri Pondok Pesantren Raudaltul Ulum 1 Ganjaran Malang


Apalagi, jika mendengar hikayat-hikayat tentang beliau yang memang kerap tidak bisa dijangkau oleh akal semata, khususnya santri macam saya. Perlu kedalaman hati memang memahami sosok kiai sekaliber beliau. Saya masih percaya, bahwa setiap kiai memiliki karamahnya tersendiri. Mungkin saja, hikayat-hikayat itu adalah karamahnya beliau.

Terakhir, selamat jalan, Kiai. Saya saksi bahwa engkau adalah orang baik, engkau telah mengajarkan kita semua tentang senyuman, keikhlasan dan kesederhanaan. Surga akan menjadi tempat yang layak untuk orang seperti Jenengan. [DR]

10 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *