Kiai Thaifur Ali Wafa, Mutiara Langka dari Ujung Pulau Madura

kiai-thaifur-ali-wafa-mutiara-langka-dari-ujung-pulau-madura

JAS HIJAU – Saat catatan ini di tulis, saya baru saja menghatamkan Manarul Wafa, sebuah kitab biografi yang menceritakan sejarah hidup sang penulis sendiri. Orang yang pertama kali membaca kitab ini mungkin akan menyangka bahwa Mushonnif-nya adalah seorang ulama dari Mesir, Yaman, Saudi atau negara-negara Arab lainnya. Tapi siapa sangka, kitab yang ditulis sangat baik dengan balaghah tingkat tinggi ini adalah karya seorang kiai dari Sumenep, kota paling ujung di pulau Madura. Beliau masih hidup sampai saat ini, bahkan usianya masih tergolong muda.

Adalah Kiai Thaifur Ali Wafa, seorang ‘alim produktif’ yang sampai sekarang berhasil menulis lebih dari 40 karya kitab berbahasa Arab. Beliau bahkan sudah mulai mengarang kitab sebelum menginjak usia baligh, kala itu beliau menazamkan kitab Jurumiyah meski belum sempat menyelesaikannya.

Kitab beliau, Manarul Wafa, sangat recomended sekali untuk dibaca para santri. Di situ beliau menceritakan perjalanan hidupnya, pengalamannya dalam menuntut ilmu, bagaimana beliau sempat kehilangan semangat untuk mondok setelah ditinggal wafat ayahnya, bagaimana beliau berjalan menempuh jarak 6 km tiap harinya ketika mengaji kepada Syekh Ismail Zain dan Syekh Abdullah Dardum di tanah suci Mekkah, dan masih banyak kisah dan pengalaman inspiratif lainnya.

Kiai Thaifur adalah salah satu murid kesayangan Syekh Ismail Zain, beliau bahkan pernah dipercaya menjadi sekretaris pribadi Syekh Ismail selama bertahun-tahun. Saking sayangnya Syekh Ismail pada Kiai Thoifur, beliau seringkali berpesan kepada muridnya itu:

“Aku ingin engkau di sini bersamaku sampai aku mati.”

Puncaknya adalah ketika suatu hari ibunda Kiai Thaifur memintanya untuk pulang dan mengurus pesantren di rumahnya. Kiai Thaifur berada di tengah gelombang dilema yang sangat besar. Di satu sisi, sang guru yang sangat ia hormati keberatan jika ia pulang ke Tanah Air, di sisi lain sang ibunda yang tinggal sendiri di rumahnya memintanya untuk pulang, ibunya bahkan jauh-jauh datang ke Makkah dengan tujuan memintakan izin untuk anaknya kepada Syekh Ismail.

Akhirnya Syekh Ismail tak bisa menolak, pagi hari di mana Kiai Thaifur akan kembali ke tanah air, Syekh Ismail memanggil Kiai Thaifur. Mata Syekh Ismail terlihat merah, beliau lantas berkata kepada sang murid yang duduk menunduk di hadapannya:

“Wahai anakku, tadi malam aku tidak bisa tidur karena memikirkan kepulanganmu. Mengapa kau ingin pulang? Apa ada yang kurang dari diriku? Engkau tinggal di sini lebih baik daripada engkau tinggal di rumahmu. Di sini ada Zamzam, Masjidil Haram dan Kabah. Anakku, jika engkau pulang untuk mengajar para pelajar di rumahmu, bukankah di sini engkau juga mengajar murid-murid? Ayahmu telah meninggal, maka akulah ayahmu, akulah orang tuamu.”

Mendengar itu Kiai Thaifur tak bisa menahan air matanya, ia tak henti-hentinya menangis. Bahkan di pagi itu, di perjalanan menuju rumahnya di Misfalah, beliau masih saja menangis ketika membeli sesuatu di sebuah toko. Tentu saja penjaga toko heran melihat ada orang beli sambil nangis-nangis.

Syekh Ismail akhirnya memberi restu untuk kepulangan Kiai Thaifur, dalam kertas ijazah yang beliau berikan, Syekh Ismail menulis:

Amma Ba’du. Sesungguhnya anakku, muridku, orang dekatku, al-Ustadz al-Allamah Thoifur bin Syekh Ali Wafa telah belajar kepadaku dalam waktu yang lama. Dia adalah seorang yang tulus dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Dia adalah ‘keajaiban’ di antara teman-temannya dengan indahnya akhlak dan budi pekertinya.”

Jujur saya merinding membaca tulisan ijazah dari Syekh Ismail itu, benar-benar sebuah pengakuan berkelas dari seorang guru untuk murid kesayangannya.

Baca juga: Mengenal Kiai Thaifur Ali Wafa, Mufassir Kontemporer dari Madura


“U’juubah Nadiroh”, keajaiban yang langka, begitu Syekh Ismail menyebutnya. Kiai Thaifur memang bagaikan mutiara langka, jarang sekali ada ulama Nusantara di zaman ini yang bisa seproduktif beliau, memiliki puluhan karangan dalam berbagai fan ilmu. Beliau—mungkin—adalah segelintir dari ulama Indonesia yang memiliki karangan Alfiah. Beliau memiliki karangan seribu nazam dalam bidang Tarikh yang beliau namakan Alfiah Ibnu Ali Wafa.

Beliau juga mempunyai karangan kitab al-Misan al-Lashif, Syarah dari al-Matnu Assyarif. Kitab Matan Fiqih karya Syaikhona Kholil Bangkalan yang hanya beberapa lembar itu berhasil beliau Syarahi lebih dari seribu halaman. Hebatnya lagi, Taqridhz (kata pengantar) kitab itu beliau dapatkan langsung dari Mbah Kholil Bangkalan dalam sebuah mimpi.

Lima hari yang lalu saya menyempatkan diri untuk sowan kepada Kiai Thaifur di kediamannya di desa Ambunten. Kala itu saya mengkonfirmasi mengenai foto Syaikhona Kholil yang saya dapatkan dari salah satu kiai sepuh Bangkalan yang konon sumbernya adalah dari Kiai Thaifur. Saya juga meminta ijazah dan sanad kitab-kitab karya beliau. Beliau lalu memberi saya hadiah kitab Firdaus an-Naim, kitab tafsir karya beliau yang dicetak sebanyak 6 jilid itu. Saya lalu “menculik” Ra Muhammad putera beliau yang juga termasuk keponakan saya (isteri Kiai Thaifur adalah puteri K.H. Abdullah Schal Bangkalan) dan mengajaknya ke toko kitab pesantren untuk memberi saya karya-karya abahnya yang lain. Tentunya balasy alias cuma-cuma.

Kiai Thaifur menunjukkan kepada kita, bahwa dengan kemauan tinggi dan perjuangan tanpa henti, siapapun bisa menulis dan berkarya. Bahwa dalam menulis kitab-kitab dengan kualitas tinggi, ulama-ulama kita juga tak kalah hebatnya dari ulama-ulama dari berbagai negeri.

Berharap semoga kelak masih banyak yang akan mengikuti jejak-luhur dan tindak-lampah beliau. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *