Kisah Kiai Yahya Syabrawi Kala Nyantri di Pesantren Panji Sidoarjo

kisah-kiai-yahya-syabrawi-kala-nyantri-di-pesantren-panji-sidoarjo

JAS HIJAU – Ketika membaca status Gus Mad bertajuk Antara Lupa dan Ujian yang diunggah di Grup PPRU 1 Pa, saya menjadi teringat akan kisah serupa yang juga dialami oleh Alm. Kiai Yahya Syabrawi pada saat nyantri di Pesantren Panji, Sidoarjo. Bisa dikatakan, apa yang dialami oleh Kiai Mukhlis Yahya, sebagaimana diceritakan dalam status tersebut, bisa disebut sebagai “deja vu” atau pengulangan peristiwa masa lalu yang dialami oleh sang ayah.

Syahdan, suatu hari, ayahnya Pak Hasyim Kan (saya lupa namanya) merasa kangen sekali kepada Dreh Yahya (panggilan akrab Alm. Kiai Yahya Syabrawi ketika itu). Sudah beberapa bulan ini dia tidak bertemu dengan teman akrabnya itu.

Akhirnya, dia memutuskan untuk menemui Dreh Yahya di kediaman Kiai Bukhori. Sang “mejedik” sekaligus “calon mertua” yang mengasuhnya sejak beliau ditinggal wafat oleh ibunya yang bernama Nyai Latifah, yakni kakak kandung Kiai Bukhori. (Ayahnya Pak Hasyim waktu itu memang berguru sebagai “santri kalong” sekaligus mengabdi kepada Kiai Bukhori).

Setiba di sana, ayahnya Pak Hasyim Kan menanyakan perihal Dreh Yahya kepada Kiai Bukhori. Jawaban Kiai Bukhori yang dia dengar betul-betul di luar dugaannya:

“Ya Allah, saya lupa. Yahya saya pondokkan ke Kiai Khozin di Panji sejak dua tahun yang lalu, dan belum pernah saya kirimi apa-apa hingga saat ini. Untung kau ingatkan, Nak!”

Tak menunggu waktu lama, Kiai Bukhori menyiapkan 5 kg beras dan menyuruh ayahnya Pak Hasyim Kan agar mengantarkannya kepada Dreh Yahya di Pesantren Panji, Sidoarjo. Sebelum berangkat, ayahnya Pak Hasyim Kan membeli 5 kg beras lagi dengan uangnya sendiri, sehingga beras yang dia bawa genap menjadi 10 kg. Mungkin dia merasa tidak tega, karena kiriman yang akan dia antarkan terlalu sedikit.

Setiba di Pesantren Panji, dia bertemu dengan Dreh Yahya dalam keadaan baik-baik saja. Saat itu, dia juga mengetahui dan mengamati bagaimana cara Dreh Yahya bertahan hidup tanpa mengeluh, sekali pun tidak dikirim selama dua tahun sejak hari pertama nyantri di Pesantren Panji.

Baca juga: Biografi K.H. Yahya Syabrawi, Pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran, Gondanglegi, Malang


Ternyata, selama masa dua tahun itu, Dreh Yahya mampu bertahan hidup dengan cara meminta sedikit bagian setelah menanakkan nasi teman sepondoknya, tetapi cara ini relatif jarang. Lebih seringnya adalah dengan cara mencari sisa-sisa tanakan nasi dalam periuk teman sepondoknya (sering kali sudah bergenang air sebelum dicuci oleh pemiliknya). Itu semua beliau jalani selama dua tahun tanpa mengeluh kepada siapa pun.

Dengan tirakat ketabahan yang luar biasa seperti itu, amat layak jika Dreh Yahya di kemudian hari menjadi tokoh ulama seperti yang kita tahu dan kagumi. [DR]



CATATAN:
Kisah ini diceritakan oleh Pak Hasyim Kan yang dia dengar sendiri dari ayahnya. Jadi, kisah ini bisa dipercaya, karena sanadnya bersambung (muttashil) dan diceritakan oleh para perawi yang terpercaya (tsiqah), hach!

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *