Kisah Pertemuan Kiai Yahya Syabrawi dan Kiai As’ad Syamsul Arifin

kisah-pertemuan-kiai-yahya-syabrowi-dan-kiai-asad-syamsul-arifin

JAS HIJAU – Kiai Yahya Syabrawi (1907-1987) Malang dan Kiai As’ad Syamsul Arifin (1897-1990) Situbondo.

Sepekan lebih yang lalu, Ustaz Hasyim Khan bercerita kepada saya bahwa pada akhir dekade 1970-an, dua kali beliau diajak oleh Kiai Yahya sowan ke Kiai As’ad di Situbondo; namun baru bisa bertemu pada sowan edisi kedua.

Singkat cerita, Kiai Yahya akhirnya berhasil bertemu dengan Kiai As’ad. Tak banyak dialog yang diingat oleh Ustaz Hasyim Khan, kecuali bahwa ketika itu Kiai Yahya meminta ijazah kitab kepada Kiai As’ad (Ustaz Hasyim Khan lupa judul kitabnya).

Awalnya Kiai As’ad menolak dengan halus, “Genikoh kan reng alem, mik gik ngajiyeh dek buleh. (Anda kan orang alim, kok masih mau ngaji ke saya).” Tetapi setelah didesak, Kiai As’ad akhirnya bersedia dan mengajak Kiai Yahya masuk ke ruang dalam.

Ustaz Hasyim Khan tak bisa bercerita apa-apa tentang peristiwa di ruang dalam, karena beliau hanya bisa menunggu di ruang tamu sambil menikmati kopi, kue, dan rokok, hach.

Sehabis bercerita, Ustaz Hasyim Khan terlibat diskusi santai tentang riwayat pertemuan itu. Pertanyaan pertama saya ketika itu adalah “apa motivasi utama Kiai Yahya, sehingga begitu berhasrat untuk sowan ke Kiai As’ad?.”

Ustaz Hasyim Khan menjawab: “Motivasi nyambhung bheleh (menyambung komunikasi antar famili).”

“Seingat saya,” lanjutnya, “Kiai Yahya dan Kiai As’ad adalah saudara tello-popoh (sebutan bagi hubungan saudara level ke-4, di mana mbah buyut masing-masing pihak bersaudara kandung).”

Informasi ini memang berharga, tapi harus digali lebih lanjut.  “Iya kalau iya; lha kalau ternyata tidak?,” batin saya.

Baca juga: Mengenal Kiai Yahya Syabrowi, Pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjanran, Gondanglegi, Malang


Menelusuri silsilah keluarga hingga dijumpai titik-temu hubungan darah jelas memerlukan usaha keras. Sebab, klaim dan pengakuan adanya hubungan famili bertumpu pada logika istishhab (presumption of continuity) yang mengharuskan adanya bukti yang otentik.

Ada sebuah adagium populer berbahasa Madura yang menyiratkan logika tadi, yaitu “mun benni bheleh, jhek kongakoh bheleh. (kalau bukan famili, jangan mengaku famili).”

Terlepas dari motivasi “nyambhung bheleh” di atas dengan segala probabilitas kebenarannya, saya mengasumsikan adanya dua faktor lain, yaitu sejarah dan kultur.

Faktor sejarah, maksudnya adalah bahwa Kiai Yahya dan Kiai As’ad pernah berguru pada ulama yang sama, yaitu almarhum Kiai Khozin (w. 1955) Panji, Sidoarjo. Artinya, beliau berdua adalah “teman seperguruan”, sekali pun belum bisa dipastikan telah saling-mengenal ketika itu atau kah tidak. Informasi tentang tahun berapa beliau berdua nyantri di Panji memang masih perlu digali kembali.

Namun, terlepas dari itu, sanad keilmuan beliau berdua bersambung kepada Kiai Kholil Bangkalan (1820-1923). Sebab, Kiai As’ad dan Kiai Khozin juga pernah berguru kepada Kiai Kholil. Jadi, selain relasi guru-murid, Kiai As’ad dan Kiai Khozin juga terjalin oleh relasi teman seperguruan.

Kiai Yahya sendiri belum bisa dipastikan pernah berguru langsung kepada Kiai Kholil atau kah tidak. Saat Kiai Kholil wafat tahun 1923, Kiai Yahya masih berusia 16 tahun; saat itu beliau mungkin masih belajar langsung kepada ayahnya, almarhum Kiai Syabrowi, di tanah kelahirannya, yakni Delpinang, Sampang.

Faktor kultur, maksudnya adalah “sowan” kepada ulama untuk “ngalap berkah” dan “ngaji kilat” merupakan tradisi pesantren turun-temurun. Tradisi ini bahkan tidak memandang jenjang usia; bukan hanya kepada ulama yang lebih tua, tetapi juga kepada yang lebih muda.

Sebagai contoh, Kiai Kholil Bangkalan suatu saat pernah “ngaji kilat” dan belajar hadis kepada Kiai Hasyim Asy’ari (1875-1947), santrinya sendiri yang setelah memangku pesantren memang tersohor kepakarannya dalam bidang hadis.

Dalam konteks ini, Kiai Yahya dibesarkan dalam kultur pesantren. Sowan kepada ulama-ulama lain tentu menjadi tradisi yang mendarah-daging dalam diri beliau. Peristiwa sowan kepada Kiai As’ad ketika itu adalah salah satu contohnya.

Baca juga: Sejarah Bendirinya Nadlatul Ulama


Terlebih-lebih, di mata Kiai Yahya, Kiai As’ad melebihi beliau dalam banyak hal, sehingga menjadi tokoh penting untuk beliau sowani. Selain lebih tua 10 tahun, Kiai As’ad juga lebih tinggi jabatan strukturalnya dalam kepengurusan NU. Pesantren yang beliau pimpin jauh lebih besar, di mana santrinya mencapai jumlah ribuan.

Pesantren beliau juga sudah memiliki perguruan tinggi sejak tahun 1972. Semua itu masih belum ditambah dengan fakta bahwa Kiai As’ad adalah santri Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy’ari serta menjadi “saksi mata” sekaligus “kurir” dalam peristiwa berdirinya NU pada tahun 1926. [Lihat Pidato Kesaksian KH As’ad Syamsul Arifin Tentang Berdirinya NU]

Selain itu, sejauh mana peristiwa sowan kepada Kiai As’ad itu memberi inspirasi kepada Kiai Yahya, tentu perlu diteliti lebih lanjut. Faktanya, beberapa tahun sesudahnya, yakni tahun 1985, Kiai Yahya mendirikan perguruan tinggi di Putat Lor, Gondanglegi, Malang.

Dibantu oleh sejumlah tokoh di Gondanglegi, beliau menjalin kerja sama dengan UNISMA Malang yang saat itu dipimpin oleh Kiai Usman Mansur (w. 1989), sehingga perguruan tingginya disebut Fakultas Syari’ah UNISMA Malang. Dari tahun ke tahun, perguruan tinggi tersebut berjalan dan berkembang hingga menjadi IAI Al-Qolam Malang seperti saat ini. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *