JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Legenda Kiai Alhamdulillah: Mengenang Kiai Ahmad Syahid Kemadu
Home » Legenda Kiai Alhamdulillah: Mengenang Kiai Ahmad Syahid Kemadu

JAS HIJAU – Demak tergolong daerah kering. Bahkan air untuk kebutuhan sehari-hari pun bukan perkara mudah. Tidak heran, warga kemudian memanfaatkan kanal irigasi sepanjang tepian jalan raya untuk memenuhi segala kebutuhan mereka akan air.
Kalau kau bepergian melewati kawasan itu, akan kau lihat di tepi sebelah Utara jalan orang-orang sibuk dengan bermacam kegiatan di kanal, mulai dari buang hajat sampai dengan mencuci beras sebelum ditanak.
Seusai mengikuti suatu kegiatan Nahdlatul Ulama di Semarang, rombongan kiai Rembang dalam satu mobil dalam perjalanan pulang. Di antara mereka adalah Mbah Kiai Ahmad Syahid bin Sholihun rahimahullah dari desa Kemadu, kecamatan Sulang, kabupaten Rembang.
Melewati wilayah Demak yang jalanannya senantiasa dalam kondisi buruk, mobil itu tak dapat melaju kencang. Tiba-tiba dari dalam air kanal di pinggir jalan itu menyembul sesosok (untungnya!) laki-laki tanpa sehelai benang menempel di tubuhnya.
Dengan penuh percaya diri, laki-laki itu mendaki ke atas tebing sembari menggenggam erat pusat rasa malunya—seolah-olah jika yang itu tertutup berarti seluruh bagian tubuh sisanya pun tak kelihatan.
Terang saja pemandangan tak senonoh itu menghujam penglihatan para kiai. Lumrah bila beliau-beliau terperanjat bukan kepalang.
“Astaghfirullah!” Kiai Mabrur berseru.
“Maa syaa-allaah!” Kiai Wahab.
“Laa ilaaha illallaah!” Kiai Tamam.
“Subhaanallaah!” Kiai Sahlan.
Dan Mbah Syahid? “Al… ham… dulillaaaah…”
Selain merupakan zikir yang dibiasakan, “Alhamdulillah” bagi Mbah Syahid adalah kredo. Segala yang terjadi adalah kehendak dan karya Allah: “Maa syaa-allaahu kaana wa maa lam yasya lam yakun”.
Dan dalam setiap kehendak dan karyaNya, hanya pujianlah yang patut bagi Allah. Selama saya mengenal Mbah Syahid—ingatan terjauh saya adalah ketika masih kanak-kanak antara 5-6 tahun diajak kakek saya berkunjung ke kediaman beliau dan saya mengejar-ngejar seekor menthog yang oleh Mbah Syahid kemudian dihadiahkan kepada saya—belum pernah saya mendengar beliau nyebut selain “Alhamdulillah”.
Ada orang mengabarkan lahir anaknya, “Alhamdulillah”. Orang menceritakan laku sapinya, “Alhamdulillah”. Orang wadul sakit isterinya, “Alhamdulillah”. Orang meninggal bapaknya, “Alhamdulillah”. Seolah tak ada zikir yang patut selain “Alhamdulillah”.
Baca juga: Kiai Said yang Saya Kenal, Sebuah Obituari
Sejauh bentang ingatan saya, entah sejak kapan, Mbah Syahid dijuluki orang “Kiai Alhamdulillah”. Pesantrennya yang tanpa papan nama—dan memang tak pernah diberi nama–disebut-sebut orang “Pesantren Alhamdulillah”.
Hari ini, lima tahun yang lalu, tepat sebelas hari setelah meninggalnya Kiai Kholil Bisri, Mbah Syahid kembali kepada Kekasihnya. [DR]
