Maulana Maghribi, Syekh Siti Jenar dan Kiai Agus Sunyoto

maulana-maghribi-syekh-siti-jenar-dan-kiai-agus-sunyoto

JAS HIJAU – Tuan sendiri (kepada Syekh Maulana Maghribi) telah melakukan tindakan yang lebih keji dan lebih memalukan: menghamili seseorang tanpa hak dan meninggalkannya begitu saja tanpa tanggung jawab. Aku tahu Tuan telah menghamili gadis bernama Nyi Mas Rasa Wulan dan membuatnya sangat menderita. (Agus Sunyoto, 2005: 417).

Kutipan di atas, ditulis oleh Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto dalam Suluk Malang Sungsang: Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syekh Siti Jenar VII (Yogyakarta: LKiS, 2005). Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto, masa hidupnya sangat jauh dengan para penulis berbagai babad yang bercerita tentang Islam di Jawa.  Ketika menceritakan Syekh Maulana Maghribi, Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto, menarasikannya dengan buruk, dengan meminjam lisan Syekh Siti Jenar. Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto, memuat cerita Maulana Maghribi ketika menarasikan Syekh Siti Jenar, dan menjadikan narasi yang dibuatnya, melebihi para penulis babad dan serat yang lebih dulu hidup dan lebih dekat dengan masa itu, sebagaimana kutipan di atas.

Narasi di atas berhubungan dengan cerita, ketika Maulana Maghribi membawa sebagian orang Demak mendatangi Dukuh Lemah Abang, kemudian terjadi perdebatan terlebih dulu, di hadapan banyak orang. Setelah itu, Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto melalui lisan Syekh Siti Jenar, kemudian sampai pada kata-kata dalam kutipan di atas.

Melihat kata-kata Syekh Siti Jenar di atas, kalau dilihat dari seluruh penjelasan Syekh Siti Jenar yang dilakukan Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto, hampir keseluruhannya berupa penjelesan tentang Syekh Siti Jenar sebagai orang yang sangat penting, mengerti puncaknya ilmu syasyahidan, puncaknya ahli tarekat, memahami kandungan al-Qur’an, dan memandu perubahan masyarakat Jawa, bahkan melebihi banyak wali lain.

Lalu, bagaimana mungkin, Syekh Siti Jenar diceritakan, mengata-ngatai Syekh Maulauna Maghribi di depan banyak orang di Dukuh Lemah Abang, bahwa Syekh Maulana Maghribi menghamili Dewi Rasa Wulan, tanpa merasa ewuh; dan tanpa perlu mendatangkan saksi atas apa yang dikatakannya itu, sebagaimana disyaratkan al-Qur’an.

Baca juga: Perihal Syekh Siti Jenar


Justru cerita yang dinarasikan Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto itu, mempermalukan sosok Syekh Siti Jenar, yang telah mengata-ngatai Syekh Maulana Maghribi di depan umum yang demikian, tanpa mendatangkan saksi. Seorang ahli dan puncak marifat tentu tidak akan membuka keburukan yang mengarah pada aib, bila hal itu memang terjadi; terlebih lagi, Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto melalui lisan Syekh Siti Jenar, tidak diceritakan mengajukan dan menunjukkan bukti dengan mendatangkan saksi. 

Maulana Maghribi yang dedephok di Mancingan, Parangtritis, disebut Babad Segaluh II sebagai salah satu guru Sunan Kalijaga di Pulo Upih; dan ketika di Mancingan, Maulana Maghribi menjadi sahabat dan guru Syekh Gagangaking dan Syekh Bela-Belu; menurut sumber cerita rakyat di Jawa Timur, menjadi tokoh yang menjadi guru rohani Batara Kathong dalam mengalahkan Ki Buwana Keling di Wengker Kidul; dan terlibat dalam musyawaratan para wali menurut teks permusywaratan para wali, sebagaimana dalam Naskah Jawa yang Memuat Wejangan Syekh Ibrahim, dan digubah kembali oleh Ranggasasmita dalam kumpulan karyanya.

Maulana Maghribi adalah murid (barzakhi) Syekh Abdul Qodir al-Jilani, sebagaimana disebut Babad Segaluh I (1992: 400, bait 36), yang disebutkan memberikan perintah: “Pamangsite sang Syekh Ngabdulkadir Jaelani ngedon Nungsa Jawa pinaring imane kang ngadani benjang para wali sinung mulya luwih ganjaran Hyang Agung. (Pesan sang Syekh Abdul Qadir Jaelani [kepada Maulana Maghribi], pada tempat tujuan, tanah Jawa diberi iman, yang memulai kelak para wali, dikaruniai kemuliaan berlebihan, pahala dari Hyang Agung).”

Kalau melihat cerita berbagai babad dan serat, ceritanya tidak demikian sebagaimana diungkapan Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto melalui lisan Syekh Siti Jenar, bahkan berbeda-beda:

Pertama, dalam penelusuran saya tentang Maulana Maghribi, saya setuju Maulana Maghribi orangnya tidak hanya satu, tetapi ada beberapa, sebagaimana ada di Wonobodro (Batang), di Ulujami Pemalang, dan berbagai tempat, dan yang berhubungan dengan cerita soal Dewi Rasa Wulan, adalah Maulana Maghribi, yang dedephok di Mancingan, Parangritis di atas.

Baca juga: Menulis Sejarah dari Pinggiran, Kenangan Kecil untuk Agus Sunyoto


Kedua, menurut versi Serat Suluk Walisana I yang di dalam cover-nya disebut ditulis Sunan Giri II, Maulana Maghribi, wali pengelana ini disebut begini: “Molana Maghribi kaliyan Molana Gaibi (kaprenah sederek nem kaliyan Molana Husein) sami angajawi, njujug ing Ngampel Denta.  Molana Magribi daup kaliyan Retna Marakis, putranipun Arya Teja ing Tuban. Molana Gaibi daup kaliyan Niken Sudara, putranipun Gajah Maodara….”

Terjemahnya: “Maulana Maghribi dan Maulana Ghaibi (saudara muda dari Maulana Husein, salah satu anak Maulana Ishaq) datang ke Jawa, menuju Ampel Denta. Maulana Maghribi menikah dengan Retno Marakis, putri dari Arya Teja di Tuban. Maulana Ghaibi menikah dengan Niken Sudara, puteri dari Gajah Mahodra….” Jadi, Maulana Maghribi, menurut versi Serat Suluk Walisana I, menikah dengan Retna Marakis, bukan dengan Dewi Rasa Wulan.

Ketiga, versi Babad Tanah Jawi (versi Olthof, 2016: 44-45), bayi yang lahir dan kemudian dinamakan Jaka Tarub itu ditemukan di hutan, tidak jelas dan tidak disebutkan nama orang tuanya. Awalnya bayi ini ditemukan Ki Ageng Selandaka, tetapi kemudian ditinggal di bawah pohon untuk mengejar kijang. Randa Tarub, menemukan bayi itu karena pohon itu dulu adalah tempat suaminya, Ki Ageng Tarub yang sudah meninggal. Bayi itu diambil Randa Tarub dan diberi nama Jaka Tarub. Jaka Tarub ini kemudian bergelar Ki Ageng Tarub (menggantikan ayah angkatnya yang sudha almarhum), dan mudanya disebut Ki Jaka Tarub, menikah dengan Dewi Nawangwulan. Keduanya memiliki anak bernama Nawangsih.

Ki Ageng Tarub suatu hari kedatangan tamu, dan ternyata adalah salah satu anak Brawijaya, bernama Bondan Kejawan. Bondan Kejawan dan Nawangsih kemudian dinikahkan. Bondan Kejawan oleh Ki Ageng Tarub diubah namanya menjadi Lembu Peteng.

Keempat, berdasarkan Babad Gedongan, yang telah dikaji Taufiq Hakim dalam penelitiannya berjudul Babad Gedhongan: Kisah Perjalanan Dyah Rasa Wulan dan Syekh Wali Lanang di Tanah Jawa (Suntingan, Terjemahan, dan Catatan) (Yogyakarta: FIUB UGM, 2017); dan  “Kewalian Syekh Wali Lanang dalam Babad Gedhongan, Suatu Tinjauan Awal” (dalam Jumantara, Vol. 8., No. 2., Tahun 2017: 129-169), yang menjadi subjek cerita dalam hubungan dengan Dewi Rasa Wulan itu, bukan Maulana Maghribi, tetapi disebut hanya dengan kode Wali Lanang. Dari hubungan dengan Dewi lanang, menghasilkan anak yang kemudian bernama Sunan Giri, bukan Jaka Tarub.

Baca juga: Mas Agus Sunyoto dan Gus Im


Kelima, menurut versi cerita Babad Majapahit dan Para Wali I (versi alih aksara oleh Sastradiwirya, Jakarta: Depdikbud, 1988) dan Babad Segaluh II, yang narasi ceritanya hampir sama, paling maksimal menceritakan begini:

[19] Tersebutlah sang Dewi; yang berendam diri dalam air; telah keluar dan berkaca dalam air; tampak badan berubah-ubah; lama-kelamaan terlihat olehnya;

[20] Ada bayangan orang laki-laki (yang bertapa lebih dulu di atas pohon); rupanya tampan sekali; terkejutlah Dewi Rasa Wulan; yang juga lagi kena asmara di hati; tersentak hati saling berasmara; dengan yang tampak di dalam air;

[21] Serentak saling melihat; pertapa dengan Rasa Wulan; bak bersanggama keduanya; Terkabul oleh Yang Mahakasih; Pengasih menciptakan hamba utama; untuk benih (bibit) raja;

[22] Demikianlah sang puteri; terasa berat perutnya; terbelalaklah Rasa Wulan; geraknya sang jabang bayi; di dalam gua garba; terasa di dalam hatinya;

[23] Amatlah malu rasa hatinya; belum menikah telah hamil; bencilah hati sang putri; mendongak menatap ke atas (di atas pohon tempat Maulana Maghribi bertapa); berucap dengan sedih; siapakah yang memberi penyakitini?” (Babad Segaluh I, 1992: 394-402, XLIX, Mijil, bait 15-40)

Singkat cerita, anak yang dikandung Rasa Wulan ini kemudian bernama Jaka Tarub dan diambil anak angkat oleh Randa Tarub. Dalam narasi Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto, karena terlalu bersemangat membela Syeh Siti Jenar, mengambil kesimpulan bahwa Maulana Maghribi lah yang telah menghamili Dewi Rasa Wulan, lalu ditinggal begitu saja. Padahal sumber-sumber babad berkaitan dengan itu tidak sama tokohnya, dan menceritakan tidak demikian detil, dan bahkan sebagian cerita, menceritakan ihwal itu bukan tentang Maulana Maghribi; sebagian cerita juga menyebutkan Bayi Kidang Telangkas/Jaka Tarub itu ditemukan di hutan, tanpa ada kejelasan siapa orang tuanya.

Bahkan kutipan dari Serat Suluk Walisana I di atas, menggambarkan Maulana Maghribi menikah dengan anaknya Arya Teja, Dewi Marakis. Kalau Dewi Marakis itu ditafsirkan sebagai Dewi Rasa Wulan, maka dapat diduga Maulana Maghribi telah menikah dengan Dewi Rasa Wulan. Karenanya, cerita soal pertemuan di air dan sabda mantra itu, karenanya bagian yang perlu dikoreksi.

Baca juga: Kiai Agus Sunyoto dan Kiprah Dakwahnya


Cerita Serat Suluk Walisana I, dapat dipertimbangkan, selain ditulis oleh Sunan Giri ke-II, masanya juga lebih dekat dengan kejadian; demikian pula berbagai babad yang diceritakan di atas, tidak cukup mendukung kesimpulan Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto, yang diungkapkan melalui lisan Syekh Siti Jenar. Sementara cerita yang teramat detil, sampai pada sekuel-sekuel kecil pembicaraan cerita oleh penulis yang belakangan, dan jaraknya ratusan tahun dari kejadian, apalagi menyangkut tuduhan mesum kepada Maulana Maghribi, dapat dikatakan sebagai pengembangan sang pencerita.

Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto terlalu bersemangat membela Syekh Siti Jenar dan Dukuh Lemah Abang dalam semua tulisan novelnya itu, sampai-sampai mengembangkan cerita sebagaimana di atas. Narasi ceritanya, menjadikan generasi pembaca sekarang, dapat mengembangkan citra yang tidak baik kepada Maulana Maghribi, bila tidak dibaca secara kritis.

Kalau pun argumentasi saya ini diabaikan, tidak sepatutnya pula, Kang Mas K. Ng. Agus Sunyoto melalui lisan Syekh Siti Jenar, menuduhnya seperti itu di depan umum/banyak orang, dengan tidak mengajukan bukti kesaksian apapun dalam ceritanya, apalagi Syekh Siti Jenar dalam keseluruhan narasi cerita sudah mengalami puncaknya syasyahidan, puncak laku tarekat, dan bahkan menjadi guru laku.

Semoga, saya, almarhum Mas K. Ng. Agus Sunyoto, dan para santri penelaah Islam di Jawa, senantiasa diberi rahmat maghfirah oleh Allah. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *