Melawan dengan Tradisi Sebagai Tradisi Perlawanan: Dua Bahasan di Muktamar NU 1929

melawan-dengan-tradisi-sebagai-tradisi-perlawanan-dua-bahasan-di-muktamar-nu-1929

JAS HIJAU – Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) keempat di Semarang tahun 1929 membahas 31 masalah yang terbentang dari problem fikih ritual hingga fikih muamalat. Dalam Swara Nahdlotoel Oelama, Nomor 2 tahun II Syawal 1347 H, bisa didapatkan dengan lengkap pertanyaan serta jawaban atas masalah-masalah tersebut.

Dalam buku Ahkamul Fuqaha yang berisi Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU (hingga tahun 2010), perkara yang dimuat sebagai hasil bahasan pada Muktamar NU keempat, hanya 26 saja. Sementara dalam buku Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999: Tradisi Intelektual NU yang ditulis Ahmad Zahro,  Muktamar keempat membahas 4 objek fikih ritual dan 21 fikih sosial serta 2 aspek non-fikih. Sehingga jumlah keseluruhan bahasan adalah 27.

Untuk kebutuhan melihat bagaimana posisi NU (Semarang) terhadap pemerintah kolonial, saya menelaah, salah satunya, hasil keputusan Muktamar di Semarang. Salah satu yang dibahas dan itu tidak ditemukan dalam Ahkamul Fuqaha, tapi terbaca di Swara Nahdlotoel Oelama adalah pembahasan mengenai hukum menggunakan celana pendek.

Pertanyaan ini datang dari guru sebuah madrasah di Bumiayu, Brebes. Ia bertanya bagaimana hukumnya seorang guru yang memerintahkan muridnya (yang berusia 7, 8 dan 13 tahun) menggunakan celana pendek (di atas lutut)? Dalam majelis yang dipimpin oleh Kiai Ridwan bin Mujahid (Semarang) tersebut, peserta sepakat menjawab bahwa hukum tindakan tersebut haram menurut Imam Syafi’i, seperti dijelaskan dalam kitab Is’adur Rafiq syarh Sullamut Taufiq.

Muktamar keempat juga mengkaji tentang wajib tidaknya membayar zakat untuk hasil bumi dari kerja sama dengan orang kafir. Pertanyaan ini datang dari peserta asal Banyuwangi. Dalam sidang yang dipimpin oleh Kiai Raden Asnawi (Kudus) tersebut, forum menyepakati kalau hasil bumi, dengan perincian bibit berasal dari orang kafir dan tanah milik orang Islam, maka tidak wajib dikenakan zakat atasnya.

Baca juga: Memaknai Pesan Kiai Ridwan Mujahid pada Imtihan Madrasah Nahdlatul Wathon Semarang 1930


Jika ditempatkan dalam konteks sosial dan politik, keputusan ini bisa bermakna banyak hal. Salah satunya, tentang independensi politik non-kooperatif NU terhadap pemerintah.

Itulah tradisi perlawanan yang dilakukan oleh NU pada masa kolonial; melawan dengan tradisi. Mereka menunjukan independensinya dalam soal agama yang sejatinya tak bisa dilepaskan dari konteksnya, betapa pun, di sisi yang lain, juga terjadi kompromi. [DR]


3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *