JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Memaknai Pesan Kiai Ridwan Mujahid pada Imtihan Madrasah Nahdlatul Wathon Semarang 1930
Home » Memaknai Pesan Kiai Ridwan Mujahid pada Imtihan Madrasah Nahdlatul Wathon Semarang 1930

JAS HIJAU – Minggu, 26 Januari 1930 atau bertepatan dengan 25 Sya’ban 1348 H, salah satu Madrasah Nahdlatul Wathon di Semarang melaksanakan imtihan atau ujian (Swara Nahdlotoel Oelama Nomor 11 Tahun II Syawal 1347 H). Tidak ada keterangan yang bisa membantu menjelaskan, madrasah mana yang dimaksud. Sebagai informasi, hingga sebelum pelaksanaan Muktamar Semarang 1929, NU Afdeeling Semarang telah berhasil meresmikan tiga madrasah. Ketiganya adalah madrasah di Jomblang yang dibuka pada 13 Oktober 1928, Kauman (9 Juni 1929), dan Brumbung (3 Agustus 1929).
NU Cabang Semarang menggelar rapat pada Januari 1931 di Madrasah Nahdlatul Wathon yang terletak di Kauman Dalam (Kaoeman Dalem). Bersama warga NU Semarang, pengurus hendak memindahkan lokasi madrasah dari area lama di Kauman Dalam ke Pungkuran (masih area Kauman) yang sekarang menjadi tempat di mana sekolah-sekolah NU berbasis.
Kegiatan Imtihan Madrasah Nahdlatul Wathon tersebut dimulai pukul 8 pagi. Pembukaan disampaikan oleh perwakilan guru serta murid, Haji Abdul Halim. Ia menyampaikan rasa syukur serta ucapan terima kasih kepada hadirin yang ada di tempat tersebut. Tak lama kemudian, ujian dimulai.
Separuh murid dari madrasah tersebut membaca kitab dan menjelaskan isinya dengan bahasa Jawa. 8 orang murid melakukan tanya jawab sesama sebayanya dalam pelajaran Shorof (morfologi), Nahwu (sintaksis), Tajwid serta ilmu lain seperti Fiqh, atau Tauhid. 26 murid lainnya manyampaikan ceramah kepada temannya, dengan mengutip al-Qur’an, hadis, pendapat ulama dan lainnya. Ada salah satu murid madrasah yang berasal dari Melayu sehingga menyampaikan ceramahnya juga dengan bahasa Melayu.
Usai imtihan, salah seorang guru madrasah kemudian naik ke atas panggung dan menyampaikan permohonan maaf kepada hadirin barangkali selama dalam proses ujian itu ada siswa madrasah yang kurang sopan berbicara dan bertingkah laku. Ia lantas meminta salah satu kasepuhan yang hadir, yakni Kiai Ridwan Mujahid untuk memberikan nasihat.
Mustasyar Hoofdbestuur Nahdlotoel ‘Oelama pertama tersebut berdiri dari tempat duduknya. Kepada para murid yang mengikuti ujian, serta tamu-tamu yang hadir ia memberi nasihat yang sangat filosofis. Beliau menjelaskan dengan sangat bernas membabar sebuah kaidah reflektif; الزمن سلطان كبير. والمرء ابن زمانه (Az-Zamanu sulthonun kabir. Wal mar u ibnu zamanihi). Terjemahan bebasnya, zaman adalah penguasa besar (great ruler), dan manusia adalah anak zamannya.
Baca juga: Madrasah Mambaul Ulum Solo, Pencetak Tokoh Bangsa
Mengapa, zaman itu disebut sebagai penguasa besar? Secara sederhana, waktu bisa memengaruhi segala sesuatu, mulai dari perubahan sosial, politik, budaya dan lainnya. Sementara, manusia adalah anak zaman, yang membuatnya tak bisa lepas dari konteks historis sosialnya. Pengaruh lingkungan akan membentuk manusia sebagai “anak zaman”. Istilah tersebut serupa dengan apa yang dalam bahasa Latin tuturkan, “tempora mutantur, nos et mutamur in illis,” yang berarti bahwa “zaman berubah, dan kita berubah bersamanya.”
Raden Masyhadi, Wakil Presiden NU Cabang Semarang yang baru saja tiba dari Surabaya untuk bertemu dengan Haji Abdul Kohar dari Hoofdbestuur, menutup acara. Ia menyampaikan salam takzim dari Hoofdbestuur Surabaya khususnya kepada warga NU Semarang. [DR]

3 Comments
[…] Baca juga: Memaknai Pesan Kiai Ridwan Mujahid pada Imtihan Madrasah Nahdlatul Wathon Semarang 1930 […]
[…] Baca juga: Memaknai Pesan Kiai Ridwan Mujahid pada Imtihan Madrasah Nahdlatul Wathon Semarang 1930 […]
[…] Baca juga: Memaknai Pesan Kiai Ridwan Mujahid pada Imtihan Madrasah Nahdlatul Wathon Semarang 1930 […]