JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Membayangkan Relasi Transformatif NU-PKB: Sembilan Pendekatan Teknokrasi
Home » Membayangkan Relasi Transformatif NU-PKB: Sembilan Pendekatan Teknokrasi

JAS HIJAU – Pendekatan ini berangkat dari beberapa asumsi dasar. Pertama, konflik tidak dimaknai secara mutlak baik dalam teori fungsionalisme struktural maupun teori strukturalisme Marxis. Yang pertama memandang konflik semata negatif, kontradiksi yang tidak produktif, karena itu cenderung dihindari. Yang kedua melihat konflik sebagai dinamika positif, energi kemajuan atau progres. Justru kemajuan hanya dimungkinkan jika ada konflik, ada benturan, ada kontradiksi. Karena kebenaran selalu ada baik di tesis maupun antithesis, yang terangkum dalam sintesis, dan seterusnya.
Tulisan ini memandang konflik dalam perspektif Aswaja. Ap aitu? Konflik kadang positif, kadang negatif, tergantung situasi, latar, konteks, dan subtansinya. Karena itu, ada konflik yang mesti dihindari, dikelola, dimitigasi, namun ada juga konflik yang perlu diciptakan, dibiarkan, dibenturkan, dan dihadapi sampai tuntas. Tidak ada yang mutlak, serba tergantung sekian variable. Kira-kira begini, harus faham kapan rangkulan, kapan bergandeng tangan erat, dan kapan bedil-bedilan, tembak-tembakan, plinteng-plintengan.
Kedua, ada ekspektasi besar dari basis Nahdliyyin dan NU terhadap PKB untuk mewakili kepentingan mereka dalam politik lokal dan nasional. Di sisi lain, ada ekspektasi besar dari PKB terhadap NU untuk tidak memotong jalur basis, relasi ideologis, kultural, dan historis. Namun, menyeimbangkan kedua ekspektasi ini dengan realitas politik dan kebutuhan untuk mempertahankan koalisi yang lebih luas merupakan tantangan tersendiri.
Ketiga, secara historis struktural, sosiologis, antropologis, NU lebih merupakan jaringan makna, dengan kiai dan pesantren yang sangat otonom, yang tidak tunduk pada kekuasaan apa pun, yang diikat oleh kerangka organisasi modern. Karena itu, mendekati NU (dan seluruh organ turunannya, yang formal atau informal) dengan pendekatan modern, terstruktur, manajemen tunggal, atau satu komando an sich niscaya akan gagal.
Baca juga: Sejarah Berdirinya NU, Kesaksian Langsung Kiai As’ad Syamsul Arifin
Pendekatan manajerial di NU bukan hanya harus kontekstual dan tarik-ulur, namun harus nyeni, kombinatif, tidak tunggal, dan tahu dosis. Jika tidak, alih-alih akan terjadi koherensi, militansi, kompak, justru potensi besar NU akan hilang atau tidak bisa tereksplorasi dengan optimal dan maksimal.
Paling banter pendekatan monolitik itu hanya akan mencapai NU yang harmonis, adem, tidak bergejolak di permukaan, tunduk pada struktur, namun pasif. Model manajemen inilah yang terus menerus perlu dicari formulanya, karena setiap saat bisa berubah seiring terjadinya sekian pergeseran internal-eksternal yang terjadi.
Untuk membuktikan tesis ini cukup mudah contohnya. Misal, konflik di level PB-DPP ternyata tidak terjadi di semua PW atau PC. Atau kebijakan tidak boleh menarik iuran anggota (inganah syahriyyah) untuk membiayai kegiatan organisasi tidak bisa secara koheren diterapkan di semua PW, PC, MWC, bahkan ranting.
Betapa banyak institusi NU justru mandiri dan tegak berbasis iuran anggota, dan semakin ke sini semakin tertata rapi dan terteknologisasi. Dalam konteks politik, kebijakan DPP PKB tidak selalu cocok dan kontekstual dengan dinamika realitas politik lokal.
Karena itu, pendekatan teknokrasi hanyalah salah satu pendekatan yang bisa diterapkan, tahu kapan harus diterapkan ketat, kapan kendor, tahu dosisnya, tahu takarannya, tahu kapan sebagian diterapkan, sebagian tidak, hingga tahu di mana, dan bagaimananya. Pendekatan teknokrasi bisa sangat efektif, namun juga tidak, bahkan bisa jadi kontraporduktif. Nah, apa itu pendekatan teknokrasi. Pendekatan teknokratik mensyaratkan beberapa hal yang mesti dijalankan.
Baca juga: Membayangkan Relasi Transformatif NU-PKB: Dua Pendekatan
Pertama, memperkuat komitemen bersama terhadap nilai dan visi yang berkeberlanjutan. Relasi transformatif membutuhkan kesamaan visi yang berkelanjutan, di mana nilai-nilai dasar keaswajaan dalam keagamaan, ilmu, teknologi, sosial, dan politik harus difahami bersama dan dikontekstualisasikan secara terus menerus.
Antara NU dan PKB harus satu dataran dalam ittihadul-qulub, ittihadul-afham (afkar), dan ittihadul-harokah. Patah di salah satu, salah dua, apalagi ketiganya, dapat menyebabkan ketegangan. NU sebagai penjaga nilai-nilai ke-Aswajaan harus memastikan PKB untuk tidak terjebak dalam pragmatisme politik yang mengabaikan nilai-nilai dasar, sebaliknya PKB perlu mengingatkan NU agar tidak membangun landasan politik praktis di luar kerangka platform yang disepakati. Salah satu tantangan terbesar adalah menjaga kemandirian NU dari politik praktis. Ada kekhawatiran bahwa NU menjadi alat politik yang digunakan untuk semata-mata kepentingan elektoral PKB.
Hal ini tentu bisa merusak reputasi NU sebagai organisasi yang memiliki konsep Khittah dan merugikan kepercayaan publik (lokal, nasional, dan internasional) terhadap NU. Namun, membiarkan NU digunakan sebagai instrumen elektoral kekuatan lain, dan membiarkan seolah-olah abai terhadap politik dan kebijakan, juga sebuah kenaifan tersendiri.
Kedua, kepemimpinan yang kolaboratif-berintegritas. Relasi transformatif menuntut adanya pembaruan dalam kepemimpinan baik di NU maupun PKB. Hal ini bukan berarti menghilangkan otonomi masing-masing, namun lebih pada meningkatkan kolaborasi yang berbasis pada nilai-nilai ke-Aswajaan dan etis.
Kepemimpinan di NU memastikan pada bagaimana kebijakan politik PKB dapat mewujudkan nilai-nilai keagamaan yang diusung NU, tanpa mendikte arah organisasi politik tersebut. Kepemimpinan PKB harus setia dan musyawarah dengan pimpinan NU terkait nilai-nilai strategis. PKB sebagai entitas politik memperjuangkan nilai melalui undang-undang dan kebijakan yang mendukung kebenaran dan keadilan. Sementara NU memberikan arah dan bimbingan moral untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak keluar dari koridor ajaran Islam Aswaja.
NU dikenal kuat memiliki pendidikan pesantren dan madrasah, sementara PKB memiliki akses terhadap kebijakan publik. Relasi transformatif berarti PKB berperan aktif dalam memfasilitasi regulasi dan dukungan anggaran yang memperkuat sistem pendidikan berbasis pesantren dan madrasah. Di sisi lain, NU dapat berperan aktif dalam memberikan masukan terkait kebijakan pendidikan nasional agar lebih berorientasi pada karakter kebangsaan dan nilai-nilai keaswajaan. Kolaborasi ini idealnya berbasis pada co-leadership, bukan dominasi salah satu pihak.
Ketiga, penguatan basis sosial-politik untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Kita tahu, sistem republik sebagai cita-cita ideal negara yang disepakati memiliki sekian kelemahan. Salah satunya adalah republik sering gagal mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi. Sistem ini sering memberikan lebih banyak kekuatan kepada oligarki, sehingga menciptakan ketimpangan sosial mendalam. Republik yang bertujuan mencegah kekuasaan terkonsentrasi pada kelompok ekslusif, dalam praktiknya, oligarki sering muncul. Kelompok kecil, baik dari kalangan politikus, pebisnis, atau elit sosial, bisa mendominasi kekuasaan dan mengabaikan kepentingan mayoritas rakyat.
Dalam relasi transformatif, NU dan PKB bekerja sama untuk memperkuat basis sosial-ekonomi masyarakat. Misalnya, melalui kebijakan yang dicanangkan PKB di legislatif dan eksekutif yang selaras dengan program pemberdayaan rakyat yang dirancang NU. Program-program ekonomi berbasis komunitas, seperti pengembangan koperasi pesantren atau usaha mikro di lingkungan akar rumput, dapat difasilitasi dengan kebijakan-kebijakan afirmatif dari PKB.
Keempat, pemikiran ke-Islaman dan kebijakan publik. NU berperan dalam memberikan panduan normatif yang mendasari kebijakan-kebijakan yang didorong oleh PKB. Dengan demikian, kebijakan PKB tetap selaras dengan nilai-nilai Islam Aswaja yang rahmatan lil alamin, namun juga progresif dalam menghadapi tantangan modern seperti isu keadilan lingkungan, keadilan gender, kemajuan sains-teknologi, dan keadilan sosial.
Relasi antara NU dan PKB bisa diarahkan untuk fokus pada pengembangan ekonomi rakyat yang lebih inklusif. PKB sebagai partai politik dapat memperjuangkan kebijakan pro-rakyat yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan warga NU, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.
Baca juga: Ngaji Politik Islam Nusantara
Kelima, meningkatkan partisipasi basis. Isu ini sebenarnya sama dengan yang dihadapi sistem republik, yang kemudian, salah satunya, melahirkan konsep demokrasi deliberatif. Meskipun ada proses pemilu raya, namun sistem yang ada memungkinkan partai-partai politik atau kelompok kepentingan menguasai semua jabatan, mendominasi diskursus publik, menciptakan perpecahan sosial, tidak menyisakan ruang bagi oposisi kritis, mengintimidasi lawan politik dengan instrumen legal, dan mengesampingkan isu-isu rakyat.
Akibatnya, antara pemerintah dan rakyat sering kali berjalan bertolak belakang. Nah, relasi NU-PKB perlu dibangun di atas fondasi partisipasi warga keduanya dalam membuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut kepentingan rakyat. Ini akan lebih mengontrol agar perilaku keduanya tidak berjalan di luar kewenangannya.
Keenam, meningkatkan komunikasi strategis. Dibutuhkan upaya untuk memperkuat saluran komunikasi formal dan informal antara NU dan PKB untuk memastikan ada aliran informasi yang lancar dan terbuka. Selain itu, menyelenggarakan pertemuan rutin untuk membahas agenda bersama, konflik yang muncul, dan cara untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Untuk efektifitas dan efisiensi, mungkin adopsi platform digital dapat digunakan untuk meningkatkan keterlibatan kedua belah pihak dan memperkuat transparansi kegiatan yang terkait.
Ketujuh, manajemen konflik dan perbedaan secara produktif. Konflik dan perbedaan pasti ada sekecil apa pun, dan itu sunatullah. Relasi transformatif berarti kedua belah pihak harus mampu mengelola perbedaan internal secara produktif, baik dalam hal strategi politik maupun pendekatan. PKB dan NU perlu mengadopsi mekanisme dialog yang sehat untuk menyelesaikan perbedaan, tanpa harus membawa konflik ke ruang publik yang merusak citra kedua entitas.
Jika diperlukan, keduanya bisa membentuk tim khusus atau komite yang bertugas menangani konflik antara NU dan PKB, dengan anggota yang terdiri dari kedua belah pihak. Tugasnya memediasi dan meresolusi konflik secara berkala untuk menyelesaikan isu-isu yang muncul sebelum berkembang menjadi lebih serius.
Kedelapan, bergerak bersama menjawab tantangan global. NU dan PKB harus bertransformasi dalam merespons tantangan global seperti keadilan global, genosida zionisme Israel, digitalisasi, perubahan iklim, industry ekstraktif, dan isu-isu internasional terkait Islam. Kerja sama dalam bidang teknologi, pengembangan kapasitas generasi muda NU dan PKB melalui pendidikan dan pelatihan, serta merumuskan kebijakan lingkungan hidup yang Islami dan ramah lingkungan bisa menjadi wujud konkret dari relasi transformatif ini.
Baca juga: NU, Khittah dan Politik Nahdliyyin
Kedua entitas ini harus mampu menggabungkan pandangan global dan lokal dalam menghadapi isu-isu global. Kolaborasi dalam advokasi semacam ini akan meningkatkan peran NU dan PKB di kancah nasional dan internasional. Koordinasi antara NU dan PKB dalam isu-isu semacam itu terkadang cukup rumit dan penuh dengan negosiasi yang memakan waktu.
Kesembilan, melakukan audit kinerja dan evaluasi bersama. Salah satu tradisi Aswaja adalah muhasabah. Namun sayangnya tradisi ini lebih banyak untuk personal, padahal juga harus diterapkan dalam konteks jam’iyyah. Keduanya harus membangun tradisi untuk menjalankan audit dan evaluasi rutin terhadap kinerja kerja sama antara NU dan PKB untuk memastikan bahwa kedua pihak mematuhi garis-garis besar perjuangan dan beroperasi dengan integritas. Dengan audit ini, keduanya bisa menggunakan feedback dari audit ini untuk membuat perbaikan dan penyesuaian dalam strategi kerja sama mereka.
Sekali lagi, sembilan pendekatan teknokratik ini bisa tidak bermakna jika tidak mempertimbangkan asumsi-asumsi di awal. Namun, meskipun sudah mempertimbangkannya juga bukan jaminan efektifitas kesembilan poin ini. Ini hanya ikhtiar kecil agar tidak terjebak relasi konfliktual yang tidak perlu, atau di-design oleh kekuatan eksternal. Pendekatan ini masih perlu melihat pendekatan berikutnya, yakni tradisi dan agama. Selanjutnya, baca: Relasi Trasnformatif PBNU-PKB: Pendekatan Tradisi.

One comment
[…] PKB. Pendekatan tersebut adalah pendekatan teknokrasi dan spiritual. Apa itu? Selanjutnya, baca: Membayangkan Relasi Transformatif NU-PKB: Sembilan Pendekatan Teknokrasi. […]