Memungut Jejak K.H. Qosim Bukhori 

memungut-jejak-kh-qosim-bukhori 

JAS HIJAU – Hingga wafatnya, K.H. Qosim Bukhori dikenal sebagai sosok tokoh yang mampu beradaptasi dan berperan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal ini terindikasi dari kiprah beliau dalam berbagai sisi kehidupan keagamaan, sosial, politik dan ekonomi.

Tetapi saat K.H. Qosim Bukhori mangkat kembali ke rahmat Allah swt, maka kalangan pesantren Raudlatul Ulum 2, secara khusus, dan segenap masyarakat, secara umum, benar-benar merasakan kehilangan seseorang yang memiliki talenta memimpin semacam beliau yang sedemikian kompleks.

Sekilas soal seorang K.H. Qosim Bukhori, model kepemimpinan dan perjuangannya di pesantren Raudlatul Ulum 2 itulah yang coba diulas penulis dalam kolom singkat ini.

Tokoh Multi
Pribadi kiai asal Desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang itu memang diakui banyak pihak sebagai pemuka agama yang mempunyai kompetensi di dalam memerankan kiprahnya dalam segi sosial-keagamaan, pendidikan, ekonomi dan politik.

Keterlibatan pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2 Putukrejo itu dapat dilihat dari beberapa aktivitas, misalnya dalam lingkup ekonomi, beliau sebagai konseptor pengembangan zakat sehingga berdiri Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh (Bazis) Putukrejo, Gondanglegi, Malang.

Dalam ranah politik, beliau terpilih sebagai Ketua Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Cabang Malang di masa-masa awal era kepemimpinan Gus Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Baca juga: Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran (Malang)


Bahkan intensitas beliau di dalam dunia politik, mengantarkan beliau sempat menjadi calon legislatif (caleg) wilayah Jawa Timur melalui partai yang dipimpinnya. Pencalonan beliau ini dikenal sebagai proses politis yang sangat bersih tanpa permainan kotor sebagaimana banyak diungkap beberapa alumni bahwa cara beliau sangat terjaga dari praktik uang (money politic).

Sesungguhnya kiprah beliau tidak hanya pada aspek ekonomi dan politik belaka, tetapi jasa dan peran yang didermakan beliau di berbagai aspek tidak dapat dihitung.

Meraba Tipologi Kepemimpinan
Terlepas dari berbagai jejak-jejak putera K.H. Bukhori Ismail Ganjaran itu di tengah-tengah masyarakat, perjuangan beliau di dalam mendirikan dan sekaligus mengembangkan pesantren Raudlatul Ulum 2 cukup bernilai untuk ditelusuri kembali.

Dari sekian gambaran sosok pribadi beliau dalam rentang sejarah pesantren tersebut, setidaknya dapat diringkas menjadi dua poin penting:

Pertama, sikap sabar. Sejak awal, keberadaan K.H. Qosim Bukhori di desa Putukrejo merupakan seorang pendatang dari desa Ganjaran. Secara psikologis, status ini kurang menguntungkan untuk menjadi orang idealis.

Betul saja, rintangan yang dihadapi beliau di awal-awal membuka pesantren adalah respon negatif dari beberapa tokoh masyarakat yang tidak jelas alasannya. Kondisi ini semakin diperburuk oleh tingkah polah anak kampung yang acap kali memusuhi para santri. Tetapi dengan sabar, beliau hadapi situasi demikian hingga pesantren yang dibinanya kian berkembang.

Di sisi lain, ketabahan beliau semakin tampak dari cara membimbing para santri. Sebagai pengasuh, beliau menghadapi para santri penuh kesabaran, walau terkadang dari sekian banyak ragam watak santri terdapat beberapa orang yang berperilaku kurang mengenakkan hati.

Berbagai macam karakter anak santri dengan ragam latar belakang yang berbeda-beda, menyebabkan problematika yang sulit disatukan dalam ritme yang sama. Lebih-lebih kenakalan yang sering kali menabrak kegiatan dan aturan yang sudah baku, menumbuhkan rasa kesal bagi mayoritas para pembimbing. Namun dengan kesabaran luar biasa, secara perlahan beliau menggiring santri agar mengikuti aktivitas dan menuruti aturan-aturan yang telah ada.

Baca juga: Mengenal Kiai Yahya Syabrowi, Pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran (Malang)


Kedua, sikap demokratis. Salah satu yang menonjol dari gaya kepemimpinan K.H. Qosim Bukhori adalah senantiasa terbuka terhadap usulan-usulan para santri, terutama ide-ide dari pengurus atau alumni. Dalam berbagai kesempatan melakukan rapat dengan mereka, beliau senantiasa mendahulukan ide-ide dari peserta rapat. Dengan sabar beliau memposisikan diri menjadi pendengar setia dari polemik yang berkembang, dan bahkan justeru sikap yang tak jarang ditampakkan beliau adalah membiarkan suasana rapat gaduh oleh debat antar mereka.

Baru jika keadaan memanas dan dinilai perlu dinetralisir, beliau angkat bicara atau forum membutuhkan keputusan akhir, dengan bijaksana beliau mengeluarkan putusan final. Itu pun beliau lakukan setelah melalui proses penyederhanaan tema masalah dengan kesimpulan-kesimpulan.

Pribadi Kukuh Sejak Dini
Sikap teguh yang telah menjadi bagian dari kepribadian K.H. Qosim Bukhori serta demokratisasi yang dikembangkan menjadi nilai-nilai dasar berinteraksi sosial, pasti dimulai dari landasan diri beliau yang telah kokoh.

Hal ini tercermin dari keberadaan beliau sebelum merintis lembaga pendidikan agama sudah tampil sebagai sosok yang kukuh dengan prinsip agamanya. Konon, di masa-masa lajang sekali pun, beliau merupakan pemuda yang sudah terdidik melaksanakan aktivitas religi secara istikamah. Sehingga begitu mengarungi bahtera rumah tangga dan membangun peradaban melalui pendidikan, beliau telah siap secara matang.

Oleh karenanya, bimbingan yang terefleksikan melalui didikan dan ajaran kepada para santri tidak serta merta hanya imbauan kosong tanpa makna. Contoh kecil yang bisa dibuat gambaran dalam persoalan ini, antara lain ketika beliau mengajarkan tentang anjuran salat Duha kepada segenap santri, maka beliau lah orang pertama di lingkungan pesantren yang telah lama terbiasa menunaikan salat sunah itu.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa beliau telah menjadi teladan sebelum mengajar dan menjadi contoh setiap perintahnya.

Baca juga: Sepotong Jejak Rihlah Ritual, Mengenang Kiai Khozin Yahya


Menghibah Usia
Dalam konteks pesantren Raudlatul Ulum 2, pendampingan terus menerus hingga akhir hayat merupakan bukti bahwa usia beliau didarmabaktikan seluruh umurnya demi kepentingan mengajarkan jalan yang benar kepada segenap anak didiknya.

Di luar kesempatan mendakwahkan norma-norma Islami di tengah-tengah umat yang majemuk, nyaris seluruh waktu beliau semata-mata dimanfaatkan untuk menuntun para santrinya.

Sebagai pendidik yang menebarkan nilai-nilai kebajikan dan pemimpin yang mengajarkan demokratisasi, beliau patut dinobatkan sebagai satu-satunya tokoh sentral di lingkungan pesantren Raudlatul Ulum 2 yang pantas ditiru oleh tidak saja para penuntut ilmu di lingkungan pesantrennya, namun setiap kalangan masyarakat Nahdliyyin yang memproklamirkan dirinya sebagai penganut Ahlussunah wal Jamaah ala Thariqah Nahdlatil Ulama. [DR]


2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *