Menautkan dan Memilah Tiga Jenis Penerus Perjuangan Gus Dur

JAS HIJAU – Cara paling elegan adalah mempertautkan dan memberikan pemilahan. Pertama, jenis pertama, tidak perlu dirisaukan, sebab pola dan model mereka adalah kerja-kerja para pencari. Kalau pencarian selesai dan memperoleh petunjuk dari Yang Maha Hidup, mereka akan kembali lagi; sedangkan mereka yang tetap puas dengan pengerangkaan analisis-analisis, yang mau melampaui atau pasca Gus Dur, akan menjadi marjinal karena mereka tidak memiliki basis komunitas. Kerja-kerja mereka adalah intelektual. Dan itu hak setiap orang.

Agar mereka tetap eksis, maka mereka akan memebutuhkan pijakan komunitas organisasi dan komunitas kultural. Mereka akan membentuk sebuah organisasi taktis. Basis komunitas yang akan dipakai adalah masyarakat NU, tetapi titik berangkat dan taktik perjuangannya bukan lagi menggunakan wawasan dan khazanah pengetahuan Aswaja an-Nahdliyah. Ada yang menggunakan simbol simbol-simbol Nahdliyin dan ada yang tidak.

Sebagai contoh yang menggunakan simbol Nahdliyin, untuk meloloskan agenda-agenda perjuangan mereka, yang khas bahasa membela rakyat, kaum tertindas, dan lain-lain, yang dalam banyak hal, justru di berbagai tempat bisa mengoposisi NU, tetapi juga bisa bersama-sama tergantung radikalisasi di tubuh mereka sendiri, siapa yang kuat mempengaruhi dan mengendalikannya; dan seberapa besar kecanggihan bisa mempertautkannya.

Mereka akan melakukan radikalisasi di kantung-kantung NU dengan alasan melawan eksploitasi SDA dan penghancuran terhadap masyarakat NU. Sebuah alasan yang terlihat masuk akal dan empatik, tetapi seringkali bisa berbenturan dengan NU sebagai jam`iyah yang memang terseok-seok, karena perbedaan titik berangkat dan komitmen terhadap perjuangan jami’yah.

Radikalisasi ini akan menimbulkan friksi di tengah masyarakat NU, dengan kasus-kasus yang seakan masuk akal, karena adanya alasan penindasan eksploitasi SDA, misalnya. Akan tetapi efek jangka panjangnya: Mereka tidak berusaha membenahi jam`iyah NU, tetapi mereka mengiris jamiyah dengan jamaahnya; dan akan semakin mengeroposkan NU.

Keprihatinan mereka sangat mendasar dan patut diacungi jempol, tetapi ketidakberanian mereka membuat pijakan yang lebih nasional (semacam Front Nasional), dan menggunakan embel-embel Nahdliyin, justru akan memperhadapkan Nahdliyin di kantung-kantung yang bergolak dalam soal SDA, baik dengan NU atau dengan penguasa dan pusat-pusat pengendali eksploitasi SDA, dan ini menimbulkan tanda tanya.

Kalau tujuan mereka kotor, maka maksudnya akan tercapai, tetapi kalau tujuan mereka suci, tetap aka ada usaha mensinergikan dan memperbaiki jam`iyah, meskipun titik berangkat mereka berbeda. Hanya saja, secara taktis gerakan, hal ini akan merugikan, karena seakan-akan isu SDA hanyalah masalah Nahdliyin, padahal sejatinya adalah tidak. Mereka akan menceburkan soal eksploitasi SDA hanya dalam lingkaran Nahdliyin, menambah blunder dan pengroposan gerakan masyarakat sipil di bidang ini secara lebih luas, dan memperhadapkan risikonya dengan NU dan masyarakat NU.

Cara paling elegan adalah, melihat perjuangan mereka sebagai mulia, tetapi mereka sendiri, tidak serta merta menjadikan NU sebagai oposisi, tetapi bagaimana mentransformasikan NU, dan karenanya mereka juga berkewajiban membenahi dan memperbaiki NU. Pada saat yang sama tetap menjalankan agenda-agenda kerakyatan itu.

Jalan ini bukan suatu yang gampang, berarti mereka harus berangkat dari titik, sebagai seorang NU, dan ini tidak mudah diterapkan. Belum lagi akan diperdebatkan: siapa NU, apa ukurannya, mana kartu NU-nya, dan lain-lain. Khas intelektual dan para pencari.

Kedua, organisasi yang mewarisi perjuangan Gus Dur dan menggunakan nama kebesarannya, bila tidak bisa memilah, bagaimana cara berinteraksi dengan sahabat dan tetangga Gus Dur, dan bagaimana berinteraksi dengan mempertimbangkan asal usul kader dalam kelas-kelas pemikiran itu, mereka akan terkurung dalam lingkaran panjang:

“Mereka yang masuk pelatihan dan kelas-kelas itu tidak semuanya ingin menjadi seorang berlabel organisasi dengan ada Gus Dur-nya, atau tidak berangkat dari titik organisasi yang mewarisi perjuangan Gus Dur; dan akan menjadikan organisasi, mendefinisikan dirinya sendiri sebagai hal yang berbeda dengan komunitas di mana Gus Dur dulu membesarkannya, yaitu NU.”

Pada hari ini, sebagian yang berjalan adalah ini, sehingga menjadikan sebagain kader dan elitnya, kalau tidak mengkritik komunitas di mana Gus Dur dulu membesarkan, adalah menganggap diri tidak kritis. Sementara kemauan untuk membenahi dan mentransformasikan komunitas itu tidak muncul secara kolektif, bahkan tidak ada keberanian untruk membenahinya.

Cara paling elegan adalah mempertautkan di antara dua ujung itu. Dengan para sahabat dan tetangg-tetangga Gus Dur adalah berbicara level perjuangan keindonesian dan kemanusiaan, dengan mentransfer pemikiran Gus Dur yang berkaitan dengan itu. Tetapi dalam dimensi lain, yang lebih fokus dan terarah, harus ada keberanian menghubungkan pemikiran-pemikiran Gus Dur dengan pelatihan bagi kader-kader untuk mengenali tauhid, suluk, Islam Nusantara, Islam Tradisi, NU, dan lain-lain, tanpa harus dilepaskan dari wawasan kebangsaan dan kemanusiaan.

Yang perlu diingat lagi, kalau organisasi ini tidak melangkah menjadi Ormas, maka kader-kader lulusan dari kelas-kelas ini akan menganggap perkumpulan ini sebagai salah satu terminal saja. Terminal utamanya adalah komunitas masing-masing kader, yang nanti kader-kader itu berlabuh dalam sistem sosial. Apa yang tidak mendalam dan mendangkalkan di kelas-kelas pemikiran Gus Dur, tetapi sudah mendaku mewakili dan pernah dididik dalam satu organisasi yang paling Gus Dur sekali itu, akan menyeret anak-anak ini dalam kesombongan. Muaranya, akan menciptakan anomali bila tidak segera bisa kembali menyambungkan Gus Dur, NU dan Aswaja an-Nahdliyyah, lalu Indonesia, dan dunia.

Ketiga, mereka yang melakukan kerja-kerja dengan perspektif Gus Dur, tidak akan membahayakannya dan nama besarnya, karena Gus Dur sudah bermakna kata kerja. Bajunya, ada di komunitas di mana Gus Dur dulu berkarya dan melakukan transformasi, yaitu di NU dan organ-organ yang ada di bawahnya. Mereka lebih ringan bebannya karena tidak mendaku menggunakan nama organ yang langsung membawa embel-embel Gus Dur.

Hanya saja, mereka akan memiliki potensi besar dalam beririsan dengan jenis kedua dan pertama, karena mereka menetapkan pencapaian tujuan gerakan berasal dari titik berangkat komunitasnya. Sedangkan mereka yang mengaku-aku menggunakan embel-embel Gus Dur secara formal ketika melakukan kerja-kerja Gus Dur, berada di luar jangkauan jenis ketiga ini, yang dengan sendirinya juga akan teramputasi.

Semoga tulisan ini memberikan manfaat, menjadi bahan refleksi para kader yang mengaku, pernah punya hubungan atau merasa berhubungan dengan perjuangan Gus Dur, untuk memperjuangkan pemikiran dan kerja-kerja sosial di tengah masyarakat Indonesia. [DR]

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *