Mencium Tangan Ulama Itu Syirik, Benarkah?

mencium-tangan-ulama-itu-syirik-benarkah

JAS HIJAU – Salah satu pemandangan yang sejuk adalah ketika menyaksikan para santri mencium tangan ulama, bahkan sesama ulama pun saling berebut mencium tangannya. Di Indonesia, hal itu menjadi kebiasaan—khususnya kiai-kiai di kalanngan NU—sebagai bentuk takzim dan ketawadhuan.

Namun demikian, tak sedikit yang menganggap hal itu berlebihan. Mereka melihat kebiasaan itu sebagai bentuk menyekutukan Tuhan lantaran membungkukkan badan. Menurut kami, itu sangat berlebihan dan mereka kurang asupan pengajian.

Ulama terkemuka dari Hadramaut, Habib Umar bin Hafidz pun meberikan jawaban tentang kebiasaan santrinya mencium tangannya, bahkan secara bolak-balik meciumnya.

Seorang pemuda bertanya kepada Habib Umar bin Hafidz: “Kenapa engkau membiarkan murid-muridmu menundukkan badannya dan mencium tanganmu berbolak-balik?”

“Tidak tahu kah engkau itu perbuatan yang syirik. Engkau seolah-olah membuat murid-muridmu menyembah sesama makhluk. Tidak kah hanya Allah saja yang layak disembah. Tunduk atau menunduk kepada makhluk adalah perbuatan syirik,” lanjut seorang pemuda tersebut.

Habib Umar bin Hafidz hanya tersenyum mendengar ucapan dan pertanyaan dari seorang pemuda tersebut. Lantas Habib Umar bin Hafidz memanggil pemuda tadi dan mendekatinya.

Habib Umar bin Hafidz mengambil pena yang ada di dalam saku baju pemuda tersebut kemudian menjatuhkannya ke bawah.

Ketika si pemuda ini menundukkan kepala dan badannya ke bawah guna mengambil pena tersebut, Habib Umar bin Hafidz menahannya dan berkata: “Jangan menunduk! Tidak kah menunduk kepada makhluk adalah bathil?”

“Tidak, aku hanya ingin mengambil penaku di bawah!” jawab pemuda tersebut.

Lantas Habib Umar bin Hafidz pun berkata kepada pemuda yang membela diri selepas mengambil penanya yang jatuh.

Baca juga: Adab Santri Kepada Guru Itu Feodal, Benarkah?


“Aku ini ibaratkan pena, seorang pencari ilmu tidak akan mendapat ilmu jika tidak mempunyai pena. Begitu juga dengan murid-muriddku, mereka menghargai dan menghormatiku bukan atas permintaanku. Aku tidak pernah memaksa, aku tidak pernah menyuruh mereka mencium tanganku. Tetapi ketahuilah wahai pemuda; Seorang thalibul ilmi tidak akan mendapatkan setetes pun ilmu yang bermanfaat jika dia tidak menghormati gurunya.”

Cerita ini dirangkum dari berbagai sumber dengan penyuntingan seperlunya tanpa mengubah isi dan maksud yang ada di dalamnya. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *