JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Menengok Tradisi Ngalap Berkah dan Patuh Kiai
Home » Menengok Tradisi Ngalap Berkah dan Patuh Kiai

JAS HIJAU – Tradisi ngalap berkah dan patuh kiai sudah sejak lama tertanam di dalam keyakinan para santri, adab dan akhlak seorang santri kepada guru diyakini menjadi kunci kesuksesan santri dalam menuntut ilmu dan hingga kelak ia pulang berjuang di masyarakat. Tidak heran jika para santri selalu berusaha taat dan patuh kepada para gurunya.
Sejak dahulu tidak ada kamus demo di dalam pesantren. Mereka umumnya teguh menjaga tradisi ngalap berkah mengharap ilmu manfaat barokah dengan mencintai dan menghormati guru kiai bahkan sampai putera keturunannya sepenuh hati, karenanya mereka yakin mendapat berkahnya dalam kehidupan bermasyarakat dan menjadi sangat dihormati oleh para pengikut dan santrinya.
Mendapatkan ilmu yang berkah artinya mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, bernilai tambah dan menghasilkan berbagai amal kebaikan dalam hidup ini. Para santri meyakini bahwa keberkahan ilmu dapat diraih bukan karena kecerdasan semata, akan tetapi juga terjadi dari bagaimana adab pensikapan seseorang terhadap ilmu, sumber-sumber ilmu dan penghormatan kepada para guru yang menjadi perantara sampainya ilmu kepadanya.
Ketika mondok di Lirboyo dahulu, saya pernah di dawuhi almarhum K.H. Maksum Jauhari (Gus Maksum) bahwa betapa patuh dan hormat Mbah Kiai Abdul Karim; sang pendiri Pondok Pesantren Lirboyo kepada gurunya yaitu Syaikhona Kholil Bangkalan. Di mana saat beliau nyantri di Bangkalan bekerja paruh waktu menjadi buruh tani di sawah memanen padi, namun ketika padi hasil panen dipikul dibawa pulang ke pondok beliau disambut oleh gurunya di depan gerbang dan diperintahkan memberikan seluruh padi hasil kerjanya untuk makanan ayam, sementara beliau disuruh makan buah mengkudu saja.
Beliau pun manut dan menyerahkan semuanya kepada sang guru, karena kepatuhan itulah menurut Gus Maksum membuat Mbah Kiai Abdul Karim sukses membangun pesantren agung Lirboyo, Kediri.
Suatu ketika saya juga di dawuhi oleh almarhum K.H. Hasyim Muzadi, mantan Ketum PBNU 1999-2010. Saat dulu bersama Pak Taufiqurrahman Saleh (mantan anggota FKB DPR RI) sowan berkunjung ke rumah kediaman K.H. Hasyim Muzadi di Pondok Pesantren Al-Hikam Malang, beliau berkata:
“Rur, aku kalau dulu nggak manut (patuh) sama kakekmu, ya, nggak jadi seperti ini, paling pol, ya, jadi kayak Pak Taufik ini (anggota DPR RI).” Lalu beliau bercerita keajaiban hidupnya bersama kakek saya, almarhum Mbah Kiai Anwar Nur.
Dulu saat tahun 1972, kata Pak Hasyim, ia dipanggil Mbah Kiai Anwar dan disuruh mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Malang, ia sempat menolak karena yakin dapat jatah nomor buncit yang hampir pasti tidak akan jadi. Tapi Mbah Anwar mendesak, dan betul memang ternyata Pak Hasyim tidak dapat kuota anggota DPRD yang saat itu memakai urutan. Namun saat hampir pelantikan keajaiban pun terjadi, atas takdir Allah anggota pemegang nomor jadi di atasnya meninggal dunia maka Pak Hasyim pun katut sebagai anggota DPRD secara mendadak otomatis.
Seiring perjalanan waktu, setelah beliau duduk sebagai anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur (Jatim), tiba-tiba dipanggil Mbah Kiai Anwar dan diminta mundur sebagai anggota DPRD untuk konsentrasi dakwah membina santri. Beliau sempat bimbang dan setelah berpikir keras, namun akhirnya ia tunduk patuh pada Mbah Kiai Anwar untuk mundur dari anggota DPRD dan konsentrasi membina santri serta berkhidmat di NU.
Beliau pun menjalani fase baru hanya konsen sebagai dosen, kiai dan dai, menjalani hidup tirakat sangat sederhana bahkan kata beliau sampai taraf kekurangan dan anehnya kalau dia sedang tidak punya beras, Mbah Kiai Anwar selalu datang membawakan beras dan lauk.
Alhamdulillah, fase tirakat itu beliau lampaui dengan baik dan Allah memberinya anugerah kemampuan luar biasa memimpin umat dan Jam’iyyah NU sampai menjadi Ketum PBNU, pernah saat Munas NU di Pondok Gede, Jakarta, saya diajak naik mobilnya dan ditunjukkan amplop cokelat sangat tebal berisi dolar Amerika Serikat (AS) sambil berkata:
“Rur, ini berkah niru kakekmu Mbah Kiai Anwar, yang meladeni umat tanpa pamrih sehingga kalau beliau ada perlu semua orang tanpa diminta sudah datang sendiri membantu.”
Almarhumah Mbah Nyai Aisyah, nenek saya juga bercerita, bahwa dahulu di saat kakek saya; Mbah Kiai Anwar Nur (pendiri Pondok Pesantren An-Nur Bululawang, Malang), pada saat masih mondok di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, beliau rela berjalan kaki dari rumahnya di Probolinggo ke Pasuruan, karena sedikit uang tiket kereta api yang diberikan oleh abahnya dipergunakan untuk membeli gula dan kopi demi ingin sowan membawa oleh-oleh kepada sang kiai.
Ayah saya juga memberikan contoh kepada saya sejak kecil. Setiap tahun kami selalu diajak sowan ziarah ke makam gurunya; K.H. Romli Tamim di Rejoso, Peterongan, Jombang dan sekaligus sowan kepada putera puteri beliau. Beliau selalu memberi saya sejumlah uang di dalam amplop untuk dihaturkan kepada para kiai.
Tradisi ini terus berlanjut sampai saat saya mondok di Lirboyo, Kediri. Beliau tidak pernah mengizinkan saya kembali sendirian ke pondok. Saya selalu diantar langsung kembali ke pondok oleh beliau dan di-sowankan kepada kiai sambil dimintakan doa.
Hingga ketika saat tamat Aliyah MHM Lirboyo tahun 92, saya matur mohon izin kepada K.H. Anwar Manshur untuk pindah melanjutkan kuliah di luar, namun beliau tidak mengizinkan dan memerintahkan saya ngaji kembali di pondok saja sambil berkhidmat mengajar di MHM.
Ketika saya matur kepada ayah saya perihal larangan kiai untuk kuliah saat itu, spontan beliau dawuh (berkata): “Manuto gurumu, mesti penak uripmu. (Ikuti perintah gurumu. Akan bahagia hidupmu).”
Alhamdulillah, saya pun berusaha patuh kepada perintah beliau dan hingga kemudian hari setelah saya boyong pulang ke rumah, atas berkahnya saya ditakdirkan untuk menyelesaikan kuliah sampai S3 secara mudah dan bahkan berkesempatan keliling mengunjungi lebih dari 26 negara di dunia, termasuk mengikuti training program di Inggris dan Amerika serikat.
Saat ini, Alhamdulillah Allah swt memberikan banyak sekali kemudahan bagi saya untuk bekerja dan mengembangkan beberapa lembaga pendidikan, Pondok Pesantren An-Nur 1 dan kampus Perguruan Tinggi IAI Al-Qolam di Malang. Saya yakin semua kemudahan ini karena keberkahan dan rida doa orang tua dan guru.
Kiranya tradisi patuh kepada guru dan kiai harus terus dipertahankan, semoga kelak di akhirat, kita dikumpulkan kembali oleh Allah swt di surgaNya bersama orang tua kita dan para guru kita semua. [DR]

One comment
[…] Baca juga: Menengok Trades Ngalap Berkah dan Patuh KIai […]