Mengapa PWNU DIY Menyatakan Cryptocurrency Halal?

Mengapa PWNU DIY Menyatakan Cryptocurrency Halal?

JAS HIJAU – Walaupun pembahasannya tentang halal atau haram tetapi tulisan ini tidak hanya membahas dalil agama namun detail teknis teknologinya juga, sehingga diharapkan bisa memberikan pemahaman yang lebih utuh dari berbagai sisi.

Tentu ini penting saya sampaikan mengingat dampaknya besar bagi masyarakat luas, terutama di sektor ekonomi.

Tulisan ini hanya bermaksud untuk memberikan penjelasan tidak bermaksud memberikan judgement atas keputusan yang telah diambil oleh berbagai pihak.

Saya merupakan salah satu narasumber yang hadir di acara LBM PWNU DIY pada 21 Nov 2021 waktu itu. Hasil rumusan LBM PWNU DIY waktu itu bisa dibaca di: Hasil Rumusan PWNU DIY Tentang Hukum Cryptocurrency.

Memang tidak banyak yang ditulis dalam rumusan tersebut, padahal pembahasannya waktu itu cukup lama dan lumayan alot. Untuk itulah tulisan ini saya buat, sehingga bisa didapatkan penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan.

Tulisan ini juga berisi beberapa penjelasan dari tulisannya Dimaz Ankaa Wijaya, Ph.D (Honorary Research Fellow di Universitas Deakin, Australia) dengan pandangan fikihnya oleh Dr. K.H. M. Anis Mashduki (Sekretaris LBM PWNU DIY).

Disclaimer: Mas Dimaz merupakan Blockchain Security Engineer di Sigma Prime, dan Gus Anis merupakan pengasuh PPM Al-Hadi Krapyak, Yogyakarta. Di sini saya akan menggunakan istilah “aset kripto” untuk merujuk pada cryptocurrency agar tidak ambigu antara cryptocurrency dengan kriptografi.

Untuk kepentingan penyederhanaan, saya akan menggunakan dua aset kripto besar yakni Bitcoin dan Ethereum sebagai referensi. Salah satu pemahaman yang keliru tentang aset kripto adalah: Aset kripto tidak ada manfaatnya (غير منتفع به), yang kemudian itu menjadi salah satu dasar untuk mengharamkannya.

Memang tidak semua aset kripto itu ada manfaatnya (منتفع به), tetapi beberapa aset kripto “serius” seperti Ethereum itu ada manfaatnya, bila perannya sebagai protokol keuangan desentralistik diabaikan setidaknya memiliki utilitas sebagai infrastruktur komputasi.

Baca juga: Menakar Halal dan Haram Crypto

Bentar, bukannya infrastruktur komputasi itu tidak harus pakai Ethereum, ya? Kan ada layanan cloud computing? Apa bedanya? Infrastuktur komputasi dasar Ethereum yakni blockchain memiliki 5 karakteristik yang tidak semuanya dimiliki oleh instrumen komputasi konvensional lainnya.

Kedua, ketersediaan (availability), memastikan data tetap terus tersedia dan singkron antara satu server dengan server lainnya. Ketiga, autentikasi (authentication), memastikan hanya pengguna yang berhak sajalah yang dapat mengolah data.

Keempat, kenirsangkalan (non-repudiation), memastikan bahwa pengguna yang mengolah data tidak dapat mengelak dari perbuatan yang telah dilakukan. Kelima, akuntabilitas (accountability) dan auditabilitas (auditability), memastikan bahwa semua perubahan data tercatat dengan rapi dan dapat diaudit.

Dengan lima karakteristik tersebut, aset kripto Ethereum jelas dan gamblang memiliki manfaat, dan merupakan produk inovasi yang layak disejajarkan dengan teknologi maju lainnya seperti kecerdasan buatan (AI).

Pertanyaan selanjutnya dalah mengapa kita perlu aset kripto? Bisa tidak kita pakai teknologi blockchain-nya saja tanpa aset kripto? Sehingga teknologi blockchain-nya tetap halal sementara aset kriptonya haram?

Baca juga: Fikih Anekdotal

Bisa, tapi hanya untuk blockchain pribadi (private blockchain) contoh Exonum, tetapi tidak untuk blockchain publik. Mengapa? Karena blockchain pribadi itu kita menggunakan sumber daya sendiri sehingga biaya listrik dan operasionalnya kita tanggung sendiri, sementara blockchain publik itu menggunakan sumber daya publik, orang lain yang menanggung biaya operasionalnya.

Pada blockchain publik, aset kripto aslinya (native token) digunakan sebagai “pulsa” untuk membayar para penyedia komputasi, sehingga aset kripto dan blockchain publik adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

Bisa dibilang juga aset kripto memiliki peran yang sangat penting terhadap fondasi ekonomi sistem blockchain publik, tanpa aset kripto, tidak akan ada blockchain publik karena tidak akan cukup banyak orang mau menghibahkan sumberdaya komputasinya yang mahal secara gratis.

Tapi ada juga aset kripto yang tidak jelas, biasanya hanya berupa token layer 2 (L2) dan token-token lain seperti yg berbasis ERC20, bukannya itu tidak memiliki manfaat utilitas seperti native token?

Memang ada aset kripto yang tidak jelas seperti itu, untuk itu perlu dilakukan pengkajian mana yang sesuai dengan syariat dan mana yang tidak, sehingga penerapan hukumnya tidak pukul rata.

Kalau begitu bagaimana kalau dibuat mudah saja, dengan pengkatagorian; yang punya fungsi utilitas komputasi seperti untuk buat aplikasi halal kemudian yang tidak punya haram?

Bitcoin tidak memiliki fungsi utilitas komputasi untuk buat aplikasi seperti Ethereum, tetapi Bitcoin posisinya saat ini sudah setara dengan mata uang asing, karena telah diakui oleh salah satu negara yang sah: El-Salvador. Sehingga secara “Ilhaq”, Bitcoin layak sebagai insturmen keuangan maupun investasi. [DR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *