Mengenal Bantingan dan Mayoran; Tradisi Tasyakuran ala Santri

mengenal-bantingan-dan-mayoran-tradisi-tasyakuran-ala-santri

JAS HIJAU – 21 tahun lalu, pertama kalinya, saya mengenal dua diksi di atas; bantingan dan mayoran. Tepatnya saat usai kelas 4 Ibtidaiyah. Madrasah Al-Asna Pesantren Mahir Arriyadl Ringinagung, Pare, Kediri. Kurang lebih 7 KM dari Kampung Inggris; Pare, ke arah timur. Di akhir tahun, setelah khatam 6 kitab, 250-an santri menggelar mayoran (syukuran). Diisi dengan berkumpul semua kelas. Mendengarkan nasihat-nasihat dari asatiz. Di akhir, ditutup dengan doa bersama.

Usai acara, masing-masing santri tertib antre. Mendapatkan 1 bantingan dan 1 batang rokok. Setelah malam itu, saya baru tahu, bantingan adalah nama lain dari bungkusan. Tepatnya, nasi bungkus dengan lauk istimewa, pecel lele. Menu yang tidak biasa ditemui. Sehari-hari, santri hanya makan dengan sambal dan sayur. Hasil masak sendiri atau masak bareng. Satu kelompok, bisa 2 orang atau sampai 8 orang.

Setidaknya ada dua pelajaran hidup dari mayoran. Pertama, pembiasaan bersyukur. Termasuk syukur atas bertambahnya rizki berupa ilmu. Di titik ini, ditanamkan pandangan hidup bagi seorang santri bahwa rizki tidak terbatas pada materi atau uang. Bahkan ilmu melebihi segalanya.

Suatu saat, Sayidina Ali (40 H), menantu Kanjeng Nabi menegaskan bahwa ilmu menjadi penjaga bagi pemiliknya. Sebaliknya, harta menjadikan pemiliknya sebagai budak penjaga. Harta akan habis dibelanjakan. Sedangkan ilmu akan bertambah ketika diamalkan dan diajarkan. Karena itu, syukur atas capain ilmu perlu dibiasakan.

Kedua, menguatkan rasa kebersamaan. Semua santri, dari beragam latar belakang, mendapatkan jatah bantingan yang sama. Tidak dibeda-bedakan. Bagi santri dari keluarga yang berada, menu pecel lele mungkin bisa dibeli setiap hari. Namun ketika hidup di pesantren, kemudahan ini harus ditunda. Rasa haru biru dan bahagia makan menu istemewa dapat dirasakan setiap setahun sekali.

Momen mayoran meneguhkan kesolidan, menabur benih persaudaraan, egaliter, menjadi kenangan kolektif, tepatnya saat nanti sudah boyong dari pesantren. Ikatan itu menjadi modal jaringan sosial dan networking. Karena, 250 santri di atas berasal dari tiap sudut Nusantara.

Baca juga: Mengenal Metode Khas Pesantren, Bandongan dan Sorogan


Lima hari lalu, setelah kami menuntaskan 14 pertemuan kelas ushul fiqih kontemporer, mayoran kembali diadakan. Tepatnya dengan 24 mahasantri semester 8 Ma’had Darus-Sunnah Ciputat. Selama 1 semester menilik nalar ushul fiqih dari fatwa-fatwa kontemporer. Baik fatwa MUI, fatwa Darul Ifta Mesir, hingga fatwa dari Majelis Ifta Eropa. Sejak 2 hari lalu, mereka diwisuda. Purna studi 4 tahun di Darus-Sunnah. Namun demikian, semoga jalinan persaudaraan tetap terjaga. Seperti dekatnya kita saat mayoran. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *