Mengenal Cak Nun, Tokoh yang Besar di Keluarga NU dan Muhammadiyah

mengenal-cak-nun-tokoh-yang-besar-di-keluarga-nu-dan-muhammadiyah

JAS HIJAU – Siapa tak kenal Emha Ainun Najib, pria yang karib disapa Cak Nun sudah malang melintang dalam percaturan republik ini, baik dalam gerakan-gerakan sosial, politik maupun keagamaan. Pria yang merupakan pengasuh Maiyah itu kerap menyebut dirinya MUHAMMADNU (sebutan untuk Mumamadiyah dan NU).

Perkataan itu sekilas terlihat seperti guyonan-guyonan dai pada umumnya. Namun, siapa sangka Cak Nun sejatinya memang demikian, beliau tumbeuh besar di keluarga yang erat dengan kultur Muhammadiyah dan NU.

Beliau merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Ayahnya adalah petani dan tokoh agama (kiai) yang sangat dihormati masyarakat desa Menturo, Sumobito, Jombang. Juga seorang pemimpin masyarakat yang menjadi tempat bertanya dan mengadu tentang masalah yang masyarakat hadapi.

Begitu juga ibunya menjadi panutan warga yang memberikan rasa aman dan banyak membantu masyarakat. Ayah dan ibu Cak Nun merupakan pengurus Muhammadiyyah di Jombang,

Paman Cak Nun, adik ayahnya, yaitu almarhum K.H. Hasyim Latief, seorang pendiri Pertanu (Persatuan Tani dan Nelayan NU), ketua PWNU Jawa Timur, wakil Ketua PBNU, wakil Rais Syuriah PBNU, dan Mustasyar PBNU yang mendirikan Yayasan Pendidikan Maarif (YPM) di Sepanjang, Sidoarjo.

Dari garis ayah, beliau bersaudara dengan aktivis masyarakat miskin kota Wardah Hafidz dan Ali Fikri yang masih sepupu ayahnya. Dari garis ayahnya ini, kakek buyutnya, yaitu Imam Zahid, adalah murid Syaikhona Kholil Bangkalan bersama dengan K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Romly Tamim.

Sedangkan kakek dari jalur ibu HM Ikhsan, merupakan ayah dari Halimah, yang tak lain adalah ibu dari Cak Nun dikuburkan di Tuban pada tahun 1972 lalu, tepatnya di sebelah barat lokasi makam Sunan Bonang, yang terletak di Kelurahan Kutorejo, Kecamatan Kota, Tuban.

Ada sebuah kisah saat Muhammad Hasyim pulang ke Jombang. Di sana, K.H. Muhammad Ikhsan (Kakek Cak Nun), telah menantinya penuh rindu. Bersama lima kiai lain dari Cirebon, kakeknya nan sakti inilah yang menaklukkan kawasan rampok dan durjana bernama Tebuireng, untuk didirikan pesantren. Ia memohon pada Hasyim muda agar berkenan mengajar di situ. Maka dibukalah pengajian Shahih Bukhari di Jombang.

Baca juga: Biografi K.H. Abdurrochim Hasbullah Tambakberas, Penggerak NU dan Muhammadiyah Jombang


Ada cerita menarik terkait kakeknya ini. Saat hendak dimakzulkan (diturunkan) dan diminta mundur dari jabatan presiden, Gus Dur biasanya menjawab: “Saya kok disuruh mundur, maju saja susah, harus dituntun.”

Tapi berbeda halnya dengan Cak Nun yang mendatanginya ke Istana Negara. “Gus, kon wis wayahe munggah pangkat (Gus, kamu sudah saatnya naik jabatan).” Sebenarnya bukan perkataan Cak Nun semata yang membuat Gus Dur berkenan mundur. Ia ingat belaka jasa baik kakek Cak Nun dulu pada kakeknya sendiri, Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari.

Tulisan ini disarikan atau dirangkum dari akun YouTube Manah Salim dan utas yang dibuat oleh akun Twitter (sekarang X) Sejarah Ulama. [DR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *