Mengenal Kiai Qoffal Syabrawi, Sosok Tegas dan Konsisten

mengenal-kiai-qoffal-syabrawi-sosok-tegas-dan-konsisten

JAS HIJAU – Menurut Ustaz Hasyim Khan, Kiai Qoffal Syabrawi merupakan sosok tokoh yang tegas dan konsisten (istikamah) dalam segala hal, terlebih dalam masalah pendidikan. Perhatiannya dalam pendidikan sangat luar biasa. Artinya, seluruh komponen dalam pendidikan harus dilakukan dengan serius dan konsisten.

Untuk mewujudkan hal tersebut, secara terus menerus beliau senantiasa hadir di madrasah Raudlatul Ulum walaupun tidak mempunyai jam mengajar. Kendati pun hanya sekadar meninjau, beliau lebih banyak mengutamakan urusan-urusan dan kepentingan sekolah.

Dalam kaitan dengan keterlibatan Kiai Qoffal di madrasah Raudlatul Ulum, Gus Syabrawi mengatakan: “Setahu saya, saat itu Kiai Qoffal Syabrawi menjadi Koordinator Satu, sedangkan Koordinator Dua dijabat oleh Kiai Qosim Bukhori.”

Keberadaan Kiai Qoffal di dalam lingkungan madrasah bukan hanya pengajar belaka, tetapi beliau termasuk orang penting di lembaga pendidikan gagasan Kiai Bukhori Ismail itu.

Di tempat tersebut, eksistensi Kiai Qoffal Syabrawi dan Kiai Yahya Syabrawi bagaikan salah satu ujung timbangan yang mengimbangi ujung yang lain. Bila Kiai Yahya lebih banyak berkonsentrasi pada sisi pengembangan eksternal, maka Kiai Qoffal cenderung mengambil peran pada aspek pengembangan internal.

Menurut Ustaz Hasyim Khan, kerja sama antara Kiai Yahya dan Kiai Qoffal dalam mengembangkan pendidikan di madrasah sangat luar biasa, terutama dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan keaktifan dan ketertiban.

Suatu ketika, terdapat dua kelas yang tidak ada gurunya, kemudian Kiai Yahya mengirimkan surat kepada Kiai Qoffal yang bertuliskan: “Kebele Fal ke guruh se tak masok: Mon tak bebeh, soro ambu beih. (Sampaikan Fal pada guru yang tidak masuk: Jika tidak mampu, suruh berhenti saja).”

Oleh karenanya, tatkala Kiai Qoffal wafat, Kiai Yahya benar-benar merasa kehilangan.

Gus Syabrawi bercerita bahwa pada hari-hari Kiai Qoffal meninggalkan alam baka, ia enggan masuk sekolah dan kerap kali berada di pusara ayahandanya.

Tak selang beberapa lama setelah mendengar peristiwa itu, Kiai Yahya memanggilnya, seraya berkata: “Asekola cong! Makeh sengkok e dinaagi kainah kakeh, arassah tekkang. (Masuk sekolah cung! Ditinggalkan ayahmu, aku pun merasa pincang).”

Hal yang sama juga diceritakan oleh Ustaz Hasyim Khan.

Berangkat dari ketegasannya, beliau sangat disegani bukan hanya oleh para santri, akan tetapi juga oleh para tenaga pengajar di lingkungan madrasah yang awalnya bernama Miftahussyibyan itu.

Jika ada santri atau murid yang terlambat masuk kelas, apalagi sampai absen meninggalkan kegiatan belajar, acap kali beliau turun tangan sendiri dalam menjatuhkan sanksi. Ketegasan adik K.H. Yahya Syabrawi itu juga tampak tidak hanya pada kalangan pelajar belaka, namun ketika beliau mengetahui ada guru yang kedapatan tidak menjalani kewajiban tanpa udzur, maka beliau menegurnya dengan keras.

Sebagaimana pengalaman Ustaz Hasyim Khan sendiri saat menimba ilmu di madrasah tersebut bahwa pria asal desa Ganjaran kampung selatan itu pernah ditampar oleh Kiai Qoffal lebih dari 40 kali dalam setahun.

Menurutnya, penyebab tamparan beliau dalam bentuk pelanggaran yang beragam. Bisa karena terlambat saat jam belajar sudah berlangsung, absen atau membolos di tengah-tengah pergantian jam (perilaku yang terakhir ini dikenal dengan istilah “blorot” di lingkungan madrasah Raudlatul Ulum Ganjaran).

Sebagian besar alumni sepuh menceritakan bahwa bentuk tamparan beliau cukup khas. Nyaris semua santri yang pernah merasakan tamparan itu, memperhatikan model tamparan beliau sama, yaitu tamparan yang berulang dua kali. Telapak tangan beliau akan mendarat di pipi kanan, lalu pada detik berikutnya akan menyapu pipi kiri.

Sebagian mereka yang mengenang peristiwa tamparan tersebut menyebutkan bahwa “goyangan lengan” yang kedua kalinya itulah, di pipi akan terasa sangat berdenyut-denyut. Apa yang diungkapkan mereka dibenarkan Gus Syabrawi.

Lagi-lagi seperti yang dikisahkan Ustaz Hasyim Khan tentang bagaimana dahsyatnya tamparan Kiai Qoffal Syabrawi.

Pernah suatu hari, ayah Kiai Hasan itu menampar salah seorang santri di kantor madrasah. Seketika murid tersebut tersungkur di lantai seusai telapak tangan beliau menyambar pipi anak itu. Tamparan yang menyisakan pening di kepala, membuat tubuh santri tersebut berputar-putar hanya karena ingin mengambil kopiahnya yang terlempar.

Ketegasan Kiai Qoffal dalam mendidik melalui tamparan ternyata tidak tebang pilih, sekalipun puteranya sendiri apabila melakukan kesalahan, juga akan merasakan “rukun lima” tangan beliau. Hal ini pernah dialami Gus Syabrawi, ketika membuat Gus Muhammad, sang adik, menangis akibat godaan kakaknya itu. Tanpa “babibu”, langsung saja Kiai Qoffal mengayunkan lengan di kedua belah wajah puteranya itu.

Oleh sebab itulah, tidak mengherankan bila wibawa sosok kiai yang menjadi menantu Kiai Qoffal (sepuh Ganjaran) itu ditakuti bukan cuma oleh kalangan murid saja, tetapi jajaran guru juga merasa sangat segan dan takut pada beliau.

Salah satu bukti bahwa beliau tampil sebagai pribadi yang benar-benar sangat disegani oleh semua pihak ialah barang milik beliau telah cukup mewakili keberadaan sosok beliau.

Masih menurut Ustaz Hasyim Khan, pernah suatu ketika Kiai Qoffal melakukan perjalanan, tetapi sepeda motor beliau ditaruh di halaman sekolah dekat kantor seperti biasanya.

Nah ternyata, semua guru dan santri atau murid tidak ada yang berani melakukan aktifitas di luar KBM, apalagi sampai pulang sebelum selesai proses pembelajaran.

Terhadap fenomena ini, sebagian alumni sepuh berkomentar bahwa kendaraannya saja sudah memunculkan “haibah” luar biasa, apalagi orangnya. Padahal sebetulnya, sosok yang dimaksud sedang tidak berada di tempat.

Hal yang menarik dari aspek konsistensi dalam pendidikan, beliau begitu teguh terhadap proses belajar mengajar.

Kembali menurut Ustaz Hasyim Khan, sewaktu Kiai Qoffal dalam posisi masih mengajar, kemudian beliau dilapori bahwa puteranya yang masih belia meninggal dunia akibat tenggelam. Menerima informasi yang demikian mengagetkan itu, ekspresi beliau tetap tenang, sembari bertanya:

“Apa ada yang mengurus?”

“Ya, ada.”

“Ya sudah. Aku melanjutkan ini (mengajar-pen.) dahulu,” jawab beliau sambil tetap meneruskan pembelajaran materi kitabnya.

Menurut Gus Syabrawi, putera beliau yang dimaksud itu adalah Gus Nawawi.

Senada dengan cerita Wakil Ketua Hisaniyah Pusat itu, pengalaman Ustaz Mas’ud Sholeh saat belajar di madrasah Raudlatul Ulum juga tidak jauh berbeda dalam hal kedisiplinan Kiai Qoffal.

Ia bersama teman-teman satu kelas sering kali belajar di kediaman Kiai Qoffal Syabrawi ketika beliau merasa tidak enak badan.

Menurut menantu Kiai Abu Abbas Bukhori itu, Kiai Qoffal memanggil para santri atau murid untuk belajar di rumah beliau, jika sakit yang dideritanya sudah sampai pada taraf tidak mampu menyangga diri untuk pergi ke sekolah. Kalau hanya sekadar sakit biasa, belum pernah terdengar beliau meninggalkan aktifitas mengajarnya di sekolah.

Persoalan kealiman Kiai Qoffal, Kiai Yahya sendiri mengakui tentang kedalaman ilmu adiknya itu.

Dalam menjalani kehidupan ini, usia Kiai Qoffal seakan-akan hanya diperuntukkan buat kepentingan pengajaran saja.

Hal ini dapat dicermati dari jadwal mengajar beliau: Habis Subuh, Tafsir Jalalain dan Riyadus Sholihin; habis Ashar, Mutammimah dan Taqrib; habis Isyak, Ibn’ Aqiel dan Kailani; hari Selasa, Iqna’; dan hari Jumat pagi, Ihya’ Ulumiddin.

Peserta pengajian kitab yang diasuh beliau, selain terdiri dari santri yang menetap di pesantren beliau sendiri, juga diikuti oleh santri dari PPRU I, PPRU IV, PPRU VI dan pesantren lain yang tersebar di desa Ganjaran.

Kecuali pengajian kitab Ihya’ Ulumiddin pada hari Jumat pagi, hanya diikuti oleh rata-rata Ibu Nyai beberapa pesantren di desa ini. Semua kegiatan pengajian tersebut bertempat di musala yang berada di depan kediaman beliau.

Ketika Kiai Yahya mendengar bahwa adiknya membaca kitab karangan Imam Ghazali itu, menjadi takjub seraya berkomentar: “Deddih Qoffal jiah alim onggu. (Jadi Qoffal itu benar-benar alim).”

Pada kesempatan yang lain dalam menanggapi kecerdasan Kiai Qoffal, Kiai Yahya sebagaimana dituturkan Ustaz Hasyim Khan pernah berkata: “Qoffal juwah alim. Mon keng eyadduh, engkok beih kala. (Qoffal itu alim. Umpama diadu, aku pun kalah).”

Tingkat kealiman Kiai Qoffal cukup dimaklumi jika dilihat dari cara belajar beliau. Sebab, seperti dikisahkan Gus Syabrawi, setelah mengajar ba’da Isyak, abahnya itu selalu belajar sendiri (muthola’ah) secara istikamah.

“Beliau belajar itu hingga menjelang Subuh,” ungkap Gus Syabrawi.

“Beliau belajar sendiri itu untuk persiapan saat akan mengajar. Hebatnya, kitab yang akan diajarkan tersebut senantiasa dimaknai (diesahi) terlebih dahulu. Makanya, semua kitab-kitab beliau sudah tertera makna secara lengkap,” lanjutnya.

Selain aktifitas keseharian beliau hanya berkutat di dalam dunia pendidikan, ternyata beliau juga memiliki tingkat kreatifitas yang cukup mumpuni pada tingkat “Kiai Kampung”. Hal ini terbukti dari dua karya rangkuman ilmu yang relatif agak dijauhi oleh sebagian besar santri karena kadar kesulitan yang terbilang rumit untuk dipelajari.

Dua kitab itu adalah: 1. Kasyful Ghawamid (tentang faraid) dan Risalatul Mahidl (tentang fikih perempuan).

Saat beliau masih hidup, dua rangkuman tersebut diajarkan langsung oleh beliau.

Menurut Gus Syabrawi, bahkan sewaktu menjelaskan tentang permasalahan kewanitaan, uraian beliau benar-benar gamblang tanpa ditutup-tutupi, sehingga penjelasannya begitu terang benderang sekalipun hal itu berkaitan dengan masalah-masalah pribadi kaum hawa.

Selain nama beliau selalu dikenang oleh para santri dan alumni dalam sejarah madrasah Raudlatul Ulum Ganjaran, Gondanglegi, Malang, peninggalan hasil karya beliau berupa rangkuman dua disiplin ilmu itu, merupakan warisan kekayaan khazanah keilmuan seorang anak bangsa yang tak ternilai, khususnya bagi masyarakat desa Ganjaran.

Seperti kondisi kakaknya, Kiai Yahya, Gus Qoffal kecil sudah diboyong oleh pamannya, Kiai Bukhori Ismail ke desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang, karena keduanya merupakan yatim piatu.

Qoffal kecil yang lahir di Sampang, Madura itu mendapat pengetahuan dasar-dasar agama dan cara baca al-Qur’an dari Kiai Syamsuddin, seorang famili yang berdomisili di desa Ombul, Tambelangan, Sampang, Madura.

Sesudah Kiai Syamsuddin wafat, beberapa putera pasangan K.H. Syabrawi dan Nyai Latifah ini dibawa oleh Kiai Bukhori Ismail ke wilayah Kota Apel.

Di dalam pemeliharaan pamannya, Kiai Bukhori Ismail, Gus Qoffal muda menimba ilmu-ilmu agama di Pondok Pesantren Jampes Kediri, di bawah asuhan Syekh Ihsan ibn Dahlan.

Di pesantren ini, selain dididik oleh pengarang kitab Sirajut Thalibin itu, Qoffal muda juga mendapat pengajaran dari Gus Shoim, seorang ustaz senior di pesantren itu.

Setelah Gus Shoim atau yang kemudian dikenal dengan nama K.H. Mushlich Abdul Karim boyong dan mendirikan Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Tanggir, Gus Qoffal meneruskan studinya di pesantren “ustaz-nya” itu.

Di pesantren wilayah Tuban, Jawa Timur ini, tirakat Qoffal muda benar-benar terlihat. Seperti diceritakan oleh Gus Abdul Mannan, ayahandanya itu seringkali makan dedaunan, demi menahan lapar perutnya.

Sebagai anak yang sudah tidak lagi memiliki ayah dan ibu semenjak kecil, jika Gus Qoffal muda pulang liburan dari pesantren, beliau langsung ke tempat kakaknya, Kiai Yahya, di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Ganjaran.

K.H. Qoffal Syabrawi wafat pada tahun 1986, tepatnya satu tahun sebelum Kiai Yahya Syabrawi kembali Rafiqil A’la.

Menurut Gus Abdul Mannan, diperkirakan beliau lahir pada tahun 1942, sebagaimana juga kira-kira beliau wafat pada usia 75 tahun. Beliau meninggalkan dua isteri. Yaitu Nyai Hamidah dan Nyai Maumunah.

Dari isteri pertama ini, beliau dikaruniai putera: 1. Gus Hamdan Dahlawi Qoffal; 2. Kiai Hasan Qoffal; 3. Ning Mahmudah Qoffal (wafat masih kecil); 4. Gus Nawawi Qoffal (wafat masih kecil); 5. Gus Abdul Mannan Qoffal; 6. Gus Ahmad Syabrawi Qoffal; 7. Ning Khuzaimah Qoffal; 8. Ning Masruroh Qoffal; 9. Ning Afifah Qoffal dan 10. Muhammad Yasin Qoffal.

Sedangkan dari isteri kedua, beliau mempunyai dua keturunan: 1. Ning Jazilah Qoffal dan Gus Fahrur Rozi Qoffal.

Ketika wafat, K.H. Qoffal Syabrawi tidak meninggalkan harta berlimpah. Satu-satunya warisan yang masih tersisa hanya uang pemberian tetamu beliau. Karena Gus Fahrur Rozi saat itu merupakan putera yang masih yatim, akhirnya disepakati uang tersebut diserahkan kepada Gus Fahrur kecil.

Menurut Gus Syabrawi, barang yang tersisa dari almarhum cuma berbentuk kitab belaka.

Masih menurut Gus Syabrawi, kendati beliau sudah wafat, namun perhatian beliau pada pendidikan, utamanya untuk mengurus madrasah Raudlatul Ulum Ganjaran, tetap dirasakan.

“Saya pernah berniat meninggalkan urusan-urusan madrasah RU karena tidak ingin direpotkan oleh persoalan-persoalan sekolah. Langsung saja pada malam harinya, saya bermimpi beliau dan ibu saya.” Dalam mimpi itu beliau berkata: “Pesabber ajegeh sekolaan. (Bersabarlah memelihara madrasah).” [DR]


One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *