Mengenang Ibu Nyai Chalimah Chudlory, Perempuan Tangguh yang Hadir di Saat Keadaan Rapuh

mengenang-ibu-nyai-chalimah-chudlory-perempuan-tangguh-yang-hadir-di-saat-keadaan-rapuh

JAS HIJAU – Kabar duka menyelimuti bumi Salafi Tegalrejo, Magelang. Ibu Nyai Hj. Nur Chalimah Chudlory telah kembali ke rahmat Illahi. Tepat di Hari Kartini 2022 ini.

Beliau merupakan istri kedua dari K.H. Chudlory, kalau bahasa gaulnya anak sekarang, Ibu Nyai Chalimah bisa dianggap turut berjuang dari nol bersama Kiai Chudlory. Betapa tidak, tahun 1948 Pondok API Tegalrejo hangus dibakar Belanda, kemudian tahun 1950 Kiai Chudlory ditinggal selamanya oleh Ibu Nyai Hj. Kunnah, sang istri pertama. Benar-benar masa memilukan bagi keluarga besar Pondok API Tegalrejo dan tidak terbayangkan kala itu apa yang ada di benak Kiai Chudlory. 

Nah, saat pembangunan kembali Pondok API, hadirlah Ibu Nyai Nur Chalimah. Kiai Chudlory menikahi Ibu Nyai Chalimah pada tahun 1952, sekaligus turut berjuang menata ulang Pondok API. 

Tahun 1977, Ibu Nyai Chalimah ditinggal oleh suami tercinta. Bak wanita tangguh meskipun beliau menata rumah tangga dan membina pesantren tanpa kehadiran suami tercinta, namun itu bukanlah menjadi penghalang untuk terus berjuang.

Tonton juga: Indahnya Adab dan Akhlak Nyai Chalimah Chudlory Tegalrejo – Di Atas Ilmu Ada Akhlak

Melalui tangan hangat dan lakon tirakat, Ibunda Gus Mahin dan Gus Yusuf ini berhasil membawa Pondok API besar seperti sekarang dengan ribuan santri dan alumni yang tersebar di penjuru negeri.

Bukan hanya keluarga Pondok API, namun seluruh elemen pesantren dan warga Nahdliyin merasakan betul kehilangan tokoh perempuan yang selama ini menjadi panutan. 

Beberapa dawuh beliau di antaranya yang penulis himpun dari Laduni.id di antaranya:

“Nyangoni bocah mondok kuwi paling apik seko hasil bumi, (Memberi sangu kepada anak yang mondok itu paling bagus dari hasil bumi),” dawuh Ibu Nyai Hj. Nur Chalimah Chudlory.

“Maeman sing wis mlebu nang jero awak arek dadi siji karo organ tubuh liyane, diolah dadine daging, getih, sing nyebar nang sekabehane awak. (Makan yang sudah masuk ke dalam diri anak jadi satu dengan organ tubuh lainnya, diolah menjadi daging, darah yang menyebar ke seluruh badan).”

Baca juga: Mengenang Ibu Nyai Chalimah Chudlory, Perempuan Tangguh di Balik Kebesaran Pesantren API Tegalrejo

“Nek panganan mau asale ora halal, mongko arep dadekne wong mau abot nglakoni ngibadah. (Kalau makanan itu asalnya tidak halal, maka untuk melakukan ibadah itu akan berat).”

Seperti kata pepatah; mati satu tumbuh seribu. Dengan kepergian Ibu Nyai semoga lahir lagi, lagi dan lagi penerus sekaligus sosok perempuan hebat yang menjadi panutan masyarakat. Dan semoga amal ibadah beliau diterima di sisiNya, Amin. [DR]


Baca juga artikel-artikel tentang ULAMA PEREMPUAN dan tulisan-tulisan lainnya tentang OBITUARI di Jas Hijau (jashijau.com).

Obituari ini ditulis oleh Khanifa Asfi, diambil dari unggahan di akun Facebooknya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *