Mengenang K.H. Hasan Abdul Wafi, Pencipta Shalawat Nahdliyyah

mengenang-kh-asan-abdul-wafi-pencipta-shalawat-nahdliyyah

JAS HIJAU – Belakangan warga NU luar Jawa Timur sudah mulai tahu nama pencipta Shalawat Nahdhiyah, yang tak lain dan tak bukan adalah K.H. Hasan Abdul Wafi. Siapa K.H. Hasan Abdul Wafi? Mari saya jelaskan secara singkat. Ia lahir di Pamekasan Madura tahun 1923 dan wafat di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Jawa Timur pada Rabu, 31 Juli 2000. Lahir dari pasangan K.H. Miftahul Arifin ibn Kiai Hadu dan Nyai Lathifah binti Kiai Jamaluddin.

Berbagai sumber mengisahkan bahwa Kiai Hadu dan Kiai Ruham adalah saudara kandung. Dan kita tahu bahwa Kiai Ruham adalah kakek dari K.H. R. As’ad Syamsul Arifin ibn K.H. R. Syamsul Arifin ibn Kiai Ruham. Dengan demikian, jika dirunut dari jalur ayah, maka K.H. Hasan Abdul Wafi adalah sepupu (saudara dua pupu) K.H. R. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990).

Namun, dari jalur ibu, K.H. Hasan Abdul Wafi adalah keponakan (ponakan sepupu) Kiai As’ad, karena ibunda Kiai Hasan (Nyai Lathifah) adalah anak dari K.H. Jamaluddin Ruham yang notabene kakak kandung K.H. R. Syamsul Arifin. Namun, K.H. Hasan Abdul Wafi dan enam kakaknya seperti K.H. Sufyan Miftahul Arifin Situbondo (1912-2012 M) dan K.H. Masduqi Miftahul Arifin (ayahanda K.H. Badri Masduqi Probolinggo, 1942-2002) lebih memilih memanggil paman pada Kiai As’ad dan bukan kakak. Singkatnya, jika melalui jalur ayahandanya, K.H. Hasan Abdul Wafi adalah Bani Hadu, maka melalui jalur ibundanya, beliau adalah Bani Ruham.

Wafat dan dikebumikan di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton karena K.H. Hasan Abdul Wafi adalah menantu K.H. Zaini Mun’im (1906-1976), pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Beliau menikah dengan Nyai Aisyah binti Zaini Mun’im. Bukan hanya menantu, dari jalur ibu, K.H. Hasan Abdul Wafi sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Kiai Zaini. Ini karena isteri Kiai Ruham yang bernama Nyai Nur Sari adalah saudara kandung Kiai Mudarik/Kiai Mudrikah.

Jika dibentangkan, maka silsilahnya adalah Kiai Hasan ibn Abdul Wafi ibn Nyai Lathifah binti Kiai Jamaluddin ibn Nyai Nur Sari ibn Kiai Ismail. Sementara silsilah Kiai Zaini adalah Kiai Zaini ibn Kiai Abdul Mun’im ibn Kiai Mudarik ibn Kiai Ismail. Dengan demikian, nasab Kiai Hasan dan Kiai Zaini bertemu di Kiai Ismail (keponakan Kiai Mahalli, pendiri Pesantren Kembang Kuning Pamekasan tahun 1619 M).

Demikian nasab biologis K.H. Hasan Abdul Wafi yang terhubung dengan K.H. As’ad Syamsul Arifin dan K.H. Zaini Mun’im. Bagaimana nasab ilmunya? Sebagaimana K.H. As’ad Syamsul Arifin dan K.H. Zaini Mun’im yang santri kelana, maka K.H. Hasan Abdul Wafi juga. Ia malang melintang dari satu pesantren ke pesantren lain. Pertama-tama tentu K.H. Hasan Abdul Wafi belajar pada orang tuanya. Setelah ayah dan ibunya wafat ketika beliau masih kecil, maka K.H. Hasan Abdul Wafi melanjutkan studi ke Pesantren Banyuanyar yang saat itu diasuh oleh K.H. Abdul Madjid ibn K.H. Abdul Hamid ibn K.H. Itsbat.

Tak hanya K.H. Hasan Abdul Wafi yang belajar di Pesantren Banyuanyar Pamekasan. Satu tahun sebelum Kiai Hasan Abdul Wafi lahir (1923), tahun 1922 K.H. Zaini Mun’im mondok di Pesantren Banyuanyar Pamekasan asuhan K.H. Abdul Hamid yang dibantu puteranya, K.H. Abdul Madjid (wafat tahun 1958 M). Hal yang sama juga dilakukan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Beliau juga berguru pada K.H. Abdul Hamid. Bahkan, menurut penuturan K.H. Muhyiddin Abdushomad (Rais Syuriah PCNU Jember), Kiai As’ad sempat menjadi menantu K.H. Abdul Madjid saat beliau menikahi Nyai Tuhfah binti K.H. Abdul Madjid. Setelah menikah selama dua tahun, karena satu dan lain hal, mereka berpisah, pernikahan tak bisa dilanjutkan.

Baca juga: Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), Kesaksian Langsung K.H. As’ad Syamsul Arifin Sukorejo


Dengan demikian jelas, sekiranya K.H. Hasan Abdul Wafi belajar pada K.H. Abdul Madjid Banyuanyar, maka Kiai As’ad dan K.H. Zaini Mun’im belajar pada ayahanda K.H. Abdul Madjid, yaitu K.H. Abdul Hamid. Beberapa naskah menyebutkan bahwa K.H. Abdul Hamid ibn Kiai Itsbat wafat tahun 1931 di Makkah dan dikuburkan di Pekuburan Ma’la bersama kuburan para ulama, para Sahabat Nabi, dan Siti Khadijah binti Khuwailid (isteri Nabi Muhammad SAW). Dan sepeninggal K.H. Abdul Hamid, persisnya tahun 1943 K.H. Abdul Madjid mendirikan pesantren sendiri yang diberi nama Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Pamekasan.

Usai belajar di Banyuanyar, Pamekasan, Madura, K.H. Hasan Abdul Wafi melanjutkan studi ke sebuah pesantren di Sidoarjo asuhan K.H. Sahlan selama dua tahun dan selanjutnya ke Pondok Pesantren Darul Ulum Paterongan, Rejoso, Jombang yang saat itu sedang diasuh K.H. Ramli Tamim (1888-1958 M.), ayahanda K.H. Mustain Ramli (1931-1985). Tak hanya K.H. Hasan Abdul Wafi, putera K.H. Zaini Mun’im seperti K.H. Moh. Hasyim Zaini  (1939-1984) dan K.H. Abdul Wahid Zaini (1942-2002) juga pernah belajar di Pesantren Paterongan, Rejoso, Jombang ini.

Beda dengan dengan enam saudaranya yang lain yang hanya studi di pesantren-pesantren di Jawa Timur, maka K.H. Hasan Abdul Wafi menempuh pendidikan dengan lokasi paling jauh, yaitu Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di pesantren yang kuat tradisi al-Qur’annya ini, K.H. Hasan Abdul Wafi mendapatkan suasana akademis baru yang beda dengan pesantren-pesantren sebelumnya yang bertitik tekan pada fikih dan tasawuf. Di Krapyak, K.H. Hasan Abdul Wafi melengkapi diri dengan ilmu-ilmu qiraat langsung dari induknya, Ahlul Qur’an. Namun, apakah ketika mondok di Krapyak, beliau sempat berjumpa Kiai Munawwir yang wafat tahun 1942? Walahhu’alam.

Yang jelas, dari pengembaraan panjangnya mulai dari Banyuanyar hingga Krapyak, K.H. Hasan Abdul Wafi tak pulang ke Pamekasan lagi. Tahun 1956, K.H. Hasan Abdul Wafi melanjutkan belajarnya pada K.H. Zaini Mun’im yang saat itu merintis pendirian Pesantren Nurul Jadid. Bersama sang kakak, K.H. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin, K.H. Hasan Abdul Wafi ikut membantu pembangunan pesantren tersebut. Di Nurul Jadid, K.H. Hasan Abdul Wafi rupanya tak hanya mendapat ilmu melainkan juga isteri. Tahun 1957, K.H. Hasan Abdul Wafi menikahi Nyai Aisyah Zaini Mun’im dengan dikaruniai 12 anak, salah satunya K.H. Kholilurrahman (mantan Bupati Pamekasan).

Dalam berorganisasi, K.H. Hasan Abdul Wafi juga mengikuti langkah K.H. Zaini Mun’im; aktif di NU bukan di organisasi lain. Sebagaimana dikisahkan sebagian sumber, awalnya ketika NU keluar dari Masyumi tahun 1952, Kiai Zaini sempat bimbang antara bertahan di Masyumi dan hijrah ke Partai NU. Kebimbangan ini bisa dimaklumi.

Di satu sisi, K.H. Abdul Madjid putra K.H. Abdul Hamid yang sekaligus guru K.H. Hasan Abdul Wafi tersebut mengajak Kiai Zaini untuk aktif di AKUI, organisasi yang berada di bawah payung Masyumi. Sementara di sini lain, K.H. Zaini Mun’im masih memiliki keterikatan batin dan kontak perjuangan dengan para kiai alumni Pesantren Demangan Bangkalan asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan dan Pesantren Tebuireng asuhan K.H. Hasyim Asy’ari yang sebagian besar memilih membesarkan Partai NU daripada yang lain.

Berhari-hari dalam kebimbangan, K.H. Zaini Mu’im melakukan permenungan mendalam dan menjalani salat istikhoroh. Akhirnya, ditemukan jawaban langit bahwa dirinya mantap memilih NU sebagai media perjuangan dengan konsekuensi keluar dari Masyumi. Sejak itu, K.H. Zaini Mun’im dan seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Jadid termasuk K.H. Hasan Abdul Wafi aktif ber-NU. Tak hanya menjadi warga NU biasa, Kiai Zaini pernah menjadi Rais Syuriah PCNU Kraksaan, Probolinggo. Dan mengikuti jalan hidup Kiai Zaini, K.H. Hasan Abdul Wafi juga pernah menjabat Rais Syuriah PCNU Kraksaan.

Putusan Munas NU tahun 1983 agar NU kembali ke Khittah 1926 melegakan K.H. Hasan Abdul Wafi. Sejak itu, beliau tak melibatkan diri dalam carut-marut politik praktis. K.H. Hasan Abdul Wafi berkonsentrasi pada upaya menjadikan NU sebagai media dakwah untuk mengedukasi masyarakat. Beliau berkeliling dari desa ke desa untuk menyampaikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah. Semboyannya yang paling terkenal, masyarakat harus memiliki pengetahuan setara S2, yaitu Sullam Safinah.

Baca juga: Kiai Hasan Abdul Wafi, Ulama Kader Islam Nusantara yang Fanatik Sama Nahdlatul Ulama (NU)


Tak hanya berdakwah ke kampung-kampung. K.H. Hasan Abdul Wafi juga rajin mengikuti aktivitas bahtsul masail NU, mulai dari tingkat PCNU hingga PWNU bahkan Munas dan Muktamar NU. Di beberapa diskusi dan bahtsul masail, Kiai Hasan Abdul Wafi berada dalam lingkaran diskusi panas dengan para kiai NU lain. Natijah-natijah hukum Islam yang disampaikan para nara sumber seminar dan perumus bahtsul masail kerap mendapatkan tantangan akademik cukup kuat dari K.H. Hasan Abdul Wafi.

Dalam sebuah acara halaqah tentang hukum bunga bank yang diselenggarakan Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur, K.H. Hasan Abdul Wafi misalnya terlibat dalam diskusi tajam dengan Prof. Dr. K.H. Sjechul Hadi Permono (1941-2010). Tarik tambang pemikiran tak terhindarkan. Namun, Alhamdulillah, diskusi yang sempat panas itu berhasilkan didinginkan oleh sang moderator piawai, K.H. Yusuf Muhammad Jember (1952-2004). Ya Allah, tiga kiai itu sekarang sudah tidak ada, dipanggil Allah. Allah yarhamuhum wa nawwara quburahum wa a’ada ‘alaina min barakatim.

Akhirnya, saya mengenang K.H. Hasan Abdul Wafi sebagai orang alim terutama di bidang fikih, teguh pendirian, dan memiliki komitmen ke-NU-an cukup kuat. Soal komitmen ke-NU-annya salah satunya tercermin melalui Shalawat Nahdhiyah-nya yang kini berkumandang di mana-mana. [DR]


One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *