JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Mengenang K.H. Nur Muhammad Iskandar SQ
Home » Mengenang K.H. Nur Muhammad Iskandar SQ

JAS HIJAU – Pertama kali saya mengenal baik K.H. Nur Muhammad ketika bersama-sama menjadi pengurus koperasi pondok pesantren se-Indonesia pasca munas RMI PBNU tahun 1996 di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, yang dikenal dengan “Munas Salaman Genggong” yang mempertemukan antara Gus Dur dan Pak Harto yang menandai cairnya ketegangan antara Gus Dur dan Presiden Soeharto kala itu.
Kiai Nur—demikian kami memanggil beliau—menjadi Ketua Induk Koperasi Pondok Pesantren se-Indonesia (Inkopontren) dan saya menjadi wakil sekretaris Puskopontren Jawa Timur yang diketuai oleh Kiai Mutawakkil Alallah, pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo yang menjadi tuan rumah kegiatan Munas RMI.
Selanjutnya kita sering bertemu dalam upaya pemasaran dua produk kerja sama Inkopontren dan RMI saat itu berupa mie instan “Barokah” dan pembalut wanita merk “Ramisoft” yang konon merupakan singkatan dari RMI Softex. Meskipun pada akhirnya kedua produk ini gagal bertahan di pasaran namun kegigihan beliau telah menginspirasi banyak gus dan kiai muda tentang wirausaha pesantren.
Pada tahun 1998, Kiai Nur berkenan hadir di pesantren kami memberikan ceramah dalam rangka haul kakek saya, K.H. Anwar Nur Pendiri Pondok Pesantren An-Nur Bululawang, Malang. Saat itu sedang heboh-hebohnya pemberitaan media massa tentang insiden percobaan pembunuhan dan penembakan mobil pajero yang ditumpangi beliau di jalan tol oleh orang tak dikenal.
Ketika saya tanya siapa dan kenapa beliau ditembak? Beliau menyebut satu nama yang pernah mengancamnya sebab menolak untuk bergabung membantu partai penguasa dan sikap kritisnya terhadap pemerintahan saat itu.
Setelah Muktamar NU di Pesantren Lirboyo, Kediri tahun 1999, hubungan kami semakin dekat karena guru kami R. K.H. Idris Marzuki diangkat menjadi Rais Syuriah PBNU dan mempunyai kedekatan khusus dengan presiden Gus Dur sebagai salah satu kiai khos “Forum Langitan”.
Hampir tiap Minggu saya mengantar beliau ke Jakarta untuk ngantor di PBNU atau dipanggil untuk bertemu Gus Dur di istana. Kiai Nur sering membersamai Gus Dur ketika bertemu bersama kiai-kiai. Kiai Nur sangat akrab dan didengarkan pendapatnya oleh Gus Dur meskipun sering kali terlihat hanya seperti guyon-guyon saja. Saat itu beliau juga menjabat sebagai anggota DPR RI dari PKB.
Sepuluh tahun lamanya sejak tahun 1999 sampai 2009, di masa Kiai Idris Marzuki menjabat sebagai Rais Syuriah PBNU dan wakil ketua Dewan Syuro DPP PKB, ada dua mobil yang paling sering saya pinjam untuk dipakai menjemput Kiai Idris ke bandara dan kegiatan kiai selama di Jakarta, yakni mobil Kiai Nur Muhammad dan mobil Gus Saifullah Yusuf. Bahkan, secara khusus Kiai Nur memang pernah berpesan kepada saya agar memakai mobil miliknya jika Kiai Idris tiba di Jakarta. Beliau sangat bahagia setiap kali melayani kedatangan Kiai Idris di Jakarta.
Saya melihat Kiai Nur memang tulus hormat takzim kepada Kiai Idris sebagai guru dan orang tua yang telah mengasuhnya ketika mondok di pesantren Lirboyo. Jika Kiai Idris pergi ke Jakarta beliau minta saya selalu memberi kabar dan berusaha menemui atau mengajak menginap di rumahnya.
Melihat begitu cintanya beliau pada Kiai Idris. Saat Kiai Idris wafat, keadaan Kiai Nur sendiri saat itu sedang sakit keras. Saya tidak berani memberi tahu karena kondisinya mengkhawatirkan jika beliau sangat kaget. Hingga suatu saat, beliau sendiri yang menelepon saya dengan penuh rasa duka menanyakannya.
Kiai Nur Muhammad yang hidup bermukim di kota besar Jakarta menurut saya adalah pribadi kiai yang sangat unik. Meskipun beliau telah sukses membangun pesantren dan berdakwah di Jakarta, hidup berkecukupan, namun beliau tetap saja istikamah menjalankan puasa sunah dawud, yakni sehari berpuasa dan sehari tidak, yang telah dilakoninya semenjak puluhan tahun hingga akhir hayatnya meskipun dalam keadaan sakit.
Saya juga mengetahui bahwa beliau mempunyai wirid istikamah setelah tahajud yang cukup panjang di setiap malam. Ketika pemilu presiden tahun 2004, saya dan Kiai Nur Muhammad sering diajak mendampingi cawapres almarhum Kiai Hasyim Muzadi berkampanye keliling Indonesia.
Sering kali saya dan Kiai Nur menginap dalam satu kamar hotel berdua. Di situ saya melihat sendiri bagaimana istikamahnya Kiai Nur Muhammad. Meskipun dalam perjalanan yang sangat jauh beliau tetap mengajak salat berjamaah, berpuasa dawud dan tidak pernah meninggalkan tahajud beserta wiridnya.
Baca juga: In Memoriam K.H Sami’un Jazuli Guyangan
Ketika Muktamar NU dan di Makassar tahun 2005, di sela waktu beliau mengajak saya berolahraga berjalan kaki di bawah terik matahari setelah salat Zuhur di area pantai Losari, Makassar. Sambil berjalan saya melirik mulut beliau tetap bisa komat-kamit membaca sesuatu. Penasaran saya tanya: “Baca apa, Kiai?” Beliau menjawab sedang membaca Surat Yasin, berapa? 50 kali.
Kiai Nur yang saya kenal adalah kiai yang ramah, humornya cerdas, hangat bersahabat dan dermawan bukan hanya pada saya namun pada semua orang yang pernah mengenalnya. Saya bangga pernah mengenal dan menjadi sahabatnya, sehingga salah satu anak saya, saya beri nama Nur Muhammad seperti namanya, di samping secara kebetulan kakek buyut kami juga memiliki nama serupa.
Selamat beristirahat, Kiai. Keberanian, kebaikan dan uswah hasanah Panjenengan abadi di hati kami. [DR]

One comment
[…] Baca juga: Mengenang K.H. Nur Muhammad Iskandar SQ […]