JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Mengenang Syekh Muhammad Hisham Kabbani
Home » Mengenang Syekh Muhammad Hisham Kabbani

JAS HIJAU – Sabtu, 11 Januari 2025 lalu, kami berkesempatan ziarah ke makam Syekh Muhammad Hisham Kabbani (w. 2024) dan menghadiri acara 40 hari wafatnya ulama ini di Fenton, Michigan. Kami berenam berangkat dan pulang melalui Bandara Logan, timur Boston, Massachusetts dan Bandara Detroit, Michigan.
Seperti diketahui, Syekh Hisham merupakan tokoh Muslim moderat yang sangat dihormati di AS, bahkan diyakini sebagai wali oleh para pengikutnya. Dia adalah seorang sufi, mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, yakni salah satu tarekat yang penamaannya dinisbatkan kepada Syekh Baha’ al-Din al-Naqsyabandi (w. 1389), dan sanad keilmuannya diyakini bersambung hingga Abu Bakar al-Shiddiq (w. 634).
Sebagaimana warga AS pada umumnya, Syekh Hisham adalah seorang imigran. Tokoh ini berasal dari Beirut, Lebanon yang lahir pada 12 Januari 1945—atau 28 Januari 1945 menurut sumber lain. Latar belakang pendidikannya cukup menarik. Meski dikenal sebagai tokoh sufi, Syekh Hisham pernah mengenyam pendidikan ilmu eksak. Dia pernah belajar kimia di Universitas Amerika, Beirut, kuliah kedokteran di Louvain, Belgia, dan memperdalam syariat (hukum Islam) di Damaskus, Suriah.
Bahkan, pria yang mulai menginjakkan kakinya di AS pada 1991 ini pernah berprofesi sebagai dokter di Jeddah dan Madinah. Tampaknya pergembaraan intelektualnya berakhir di tasawuf. Hal itu terbukti dari perjalanan hidupnya yang berakhir dengan menjadi sufi. Putera dari pasangan Muhammad Salim al-Kabbani al-Husaini dan Hajjah Yusri Utsman al-Laili al-Husainiya ini menghembuskan nafas terakhirnya pada 4 Desember 2024 dalam usia 79 tahun.
Syekh Hisham selain menguasai bahasa Arab dan Inggris, juga menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Turki, Prancis, Spanyol, Belanda, dan Urdu. Ada lebih dari 30 judul buku yang ditulis oleh tokoh ini. Karya tulis itu ditulis dalam bahasa Inggris, kecuali tiga judul buku yang ditulis dalam bahasa Arab, Prancis dan Spanyol. Tiga buku yang dimaksud adalah Faidl al-Salam (2010), Les Anges Reveles (2016) dan Angeles Revelados: Una Perspectiva Sufi (2016).
Ada dua orang yang sangat berpengaruh dalam membentuk seorang Hisham Kabbani menjadi sufi. Mereka adalah Syekh Abdullah al-Daghestani (w. 1973) dan Syekh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani (w. 2014). Yang disebut terakhir ini, selain menjadi guru Syekh Hisham, juga menjadi mertuanya. Syekh Hisham menikah dengan puteri Syekh Nazim yang bernama Hajjah Nazihah Adil. Dari pernikahan ini, Syekh Hisham dikarunia empat orang anak; tiga putera dan satu puteri. Putera Syekh Hisham saat ini yang sering tampil memberikan ceramah adalah Syekh Nour Kabbani. Di bawah bimbingan dua orang tersebut, Syekh Abdullah dan Syekh Nazim, Syekh Hisham menjalani suluk yang mengantarkannya menjadi seorang sufi atau mursyid. Syekh Hisham konon berguru kepada mereka selama 40 tahun, dan pernah menjalani khalwat di Masjid Nabawi Madinah, di Yaman dan di Yordania.
Baca juga: Tradisi Baca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailani di Nusantara
Syekh Hisham memulai dakwahnya di AS dari California sebelum akhirnya menetap di Michigan. Dari hasil perjuanganya itu, kini Tarekat Naqsyabandiyah telah tersebar di beberapa negara bagian AS, termasuk kota besar New York, dan Kanada. Tercatat tarekat ini telah memiliki cabang di 23 kota. Tokoh ini juga sering melakukan lawatan ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Bahkan, dia sudah beberapa kali berkunjung ke negara kita. Murid-murid Syekh Hisham di Indonesia tersebar di Jakarta, Bandung, Sukabumi, Pekalongan, Semarang, Tuban, Surabaya, Batam, Aceh, Padang, Bukittinggi, dan lain-lain. Bahkan, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah berbaiat kepada Syekh Hisham.
Dalam kunjungan kami Sabtu, 11 Januari 2025 lalu, ada beberapa hal yang cukup menarik untuk dibagikan. Pertama, itu ada acara 40 hari wafatnya Syekh Hisham meski tanggal tersebut bukanlah hari ke-40. Acara yang berlangsung mulai siang hingga malam hari ini mengingatkan kita pada tradisi yang lumrah dilakukan di Tanah Air. Umumnya masyarakat Indonesia mengadakan acara selamatan hari ke-3, 7, 40 dan 100 hari pasca wafatnya anggota keluarganya.
Setelah itu, jika masih diadakan acara selamatan, biasanya itu dilaksanakan tiap tahun yang biasa disebut dengan haul—dalam bahasa Arab secara literal berarti setahun. Penulis tidak tahu apakah juga diadakan acara hari ke-3 dan 7 pasca wafatnya Syekh Hisham. Dalam bukunya Atlas Walisongo, Agus Sunyoto (w. 2021) mengatakan bahwa tradisi selamatan hari ketiga dan seterusnya itu berasal dari Champa, dan memang para penyebar Islam awal ke Indonesia, khususnya Jawa, diduga berasal dari Champa.
Namun, Syekh Hisham berasal dari Lebanon, dan acara tersebut di adakan di AS. Apa hubungan Champa dengan Lebanon? Penulis hanya menduga bahwa acara selamatan itu merupakan tradisi di kalangan sufi, sementara para pendakwah di Tanah Air, meski barangkali berprofesi sebagai pedagang, pada dasarnya adalah seorang sufi, sebagaimana Syekh Hisham yang berdakwah di AS.
Kedua, dalam acara 40 hari pasca wafatnya Syekh Hisham, dibacakan Surah Yasin. Menariknya, ada beberapa bacaan yang berbeda dengan cara kita membaca al-Qur’an. Tampaknya mereka atau pimpinan acara tersebut tidak memakai qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh sebagaimana umat Islam Indonesia. Seperti diketahui, dalam kajian al-Qur’an, dikenal ada tujuh atau sepuluh varian qira’at yang bisa dipertanggungawabkan—dikenal sebagai qira’at sab’ atau qira’at ‘asyr. Dan, masing-masing dari qurra’ –pakar qir’aat dari tujuh atau sepuluh—itu memiliki dua murid yang juga diakui otoritasnya.
Oleh karena itu, ada 14 atau 20 varian bacaan al-Qur’an yang diakui di dunia Islam. Misalnya, lafal tanzil yang merupakan permulaan ayat ke-5 Surah Yasin, mereka membacanya dengan tanzilu—ber-i’rab rafa’ (dhammah). Padahal, kita membacanya dengan tanzila—ber-i’rab nashab (fathah). Jika kita buka kitab-kitab ilmu qira’at, akan ditemukan bahwa yang membaca fathah (tanzila) adalah Hamzah, Hafsh dan al-Kisa’i, sementara para qurra’ lainnya membaca dhammah (tanzilu). Di sinilah kita merasakan perbedaan sebagai rahmat.
Ketiga, selain Surah Yasin, dalam acara tersebut juga dilantunkan beberapa salawat. Di antaranya adalah salawat Badar, yakni lantunan yang dimulai dengan shalatullah salamulllah ‘ala thaha rasulillah dan seterusnya. Barangkali tidak banyak yang tahu, bahwa salawat yang mudah kita dengar menjadi pujian menjelang salat di masjid atau musala di kampung-kampung ini dikarang oleh ulama Indonesia, yakni K.H. Ali Manshur (w. 1971), kiai asal Tuban, Jatim.
Baca juga: Biografi Syekh Ihsan Jampes, Ulama Nusantara yang Karyanya Mendunia
Gus Dur pernah mengatakan, bahwa jika orang sudah peka dengan bahasa Arab, akan merasakan bahwa lirik salawat Badar itu tidak mungkin ditulis oleh orang Timur Tengah. Menurut cucu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari ini, “rasa” Jawa atau Indonesianya sangat terasa dalam susunan kalimatnya, bukan “rasa” Arab. Terlepas dari itu, kehadiran salawat made in Indonesia di AS ini cukup menarik. Apakah ini lantaran kunjungan Syekh Hisham beberapa kali ke Indonesia atau apakah salawat tersebut sudah go international, entahlah.
Terakhir, Syekh Hisham Kabbani adalah ulama besar yang mampu menampilkan wajah Islam yang sejuk dan ramah, sehingga kehadirannya menjadi magnet tersendiri bagi umat Islam atau warga AS. Michigan, negara bagian di mana Syekh Hisham tinggal, merupakan negara bagian di AS dengan penduduk Muslim terbesar dibandingkan beberapa negara bagian lainnya. Tugas kita adalah meneruskan perjuangan yang telah dibukakan pintunya oleh Syekh Hisyam Kabbani ini. [DR]
