JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Menilik Tradisi Berdoa di Kalangan Umat Islam
Home » Menilik Tradisi Berdoa di Kalangan Umat Islam

JAS HIJAU – Mau “curhat” sedikit soal doa. Saya memiliki pengalaman personal dengan literatur kumpulan doa ini, sejak di pesantren tradisional hingga saat kuliah di universitas Wahabi di Jakarta, yaitu LIPIA. Curhat ini di-trigger oleh buku kumpulan doa karya Mas Ayang Utriza Yakin tadi.
Di kalangan pesantren tradisional, kita jumpai tradisi yang kaya sekali berkenaan dengan doa. Tak ada komunitas muslim yang paling peduli amalan doa dan wirid ini melebihi komunitas tradisional ini. Baik doa yang ma’tsur (berasal dari Nabi), atau doa buatan para ulama pasca Nabi.
Salah satu buku kumpulan doa yang populer zaman saya di pesantren dulu adalah serial “Silahul Mu’min” (Senjata Seorang Beriman). Buku ini berisi kumpulan doa dan amalan mengenai apa saja, mulai dari bagaimana agar dapat jodoh hingga mudah mendapatkan rizki.
Teman saya, Mas Muhammad Akrom Solihin, seorang aktivis NU dari Tangerang, mengumpulkan beberapa doa, salawat, ratib, dan amalan lain yang populer di kalangan warga Nahdliyin. Ia beri judul bukunya itu: al-Majmu’ah al-Nafi’ah al-Nahdliyyah.
Baca juga: Doa Bahasa Jawa Syekh Nawawi Banten yang Gemparkan Negeri Hijaz
Waktu saya kuliah di LIPIA (universitas Wahabi milik Saudi di Jakarta) dulu, ada buku kumpulan doa susunan Hasan al-Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin. Buku itu berjudul “al-Ma’tsurât” (doa-doa yang berasal dari Nabi). Sebagian doa-doanya masih saya amalkan hingga sekarang.
Bagi saya, semua tradisi doa itu, baik doa yang “ma’tsur” maupun tidak, adalah hal yang baik. Berdoa tidak harus memakai kalimat yang berasal dari Nabi atau sahabat. Kita bisa berdoa dengan cara kita sendiri, atau memakai doa yang dibuat oleh para ulama pasca Nabi.
Para ulama dari pelbagai penjuru dunia, sejak ratusan tahun yang lalu, menulis dan menggubah doa-doa yang indah, termasuk ulama-ulama di Nusantara. Doa-doa semacam ini akan memperkaya khazanah doa di kalangan masyarakat muslim.
Salah satu doa yang lahir setelah era Nabi adalah doa-doa dan munajat indah yang digubah oleh putera Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Talib. Dia bernama Ali bin Husein dan dikenal dengan julukan Ali Zainal Abidin atau al-Sajjad. Kumpulan itu berjudul al-Sahifah al-Sajjadiyyah.
Baca juga: Doa dengan Perantara, Jawaban untuk Merek yang Belajar Agama Melalui Poster
Kumpulan doa dan munajat dalam al-Sahifah al-Sajjadiyyah itu, bagi saya, adalah salah satu kumpulan doa terindah dalam sejarah Islam. Doa yang indah seperti doa Ali Zainal Abidin itu adalah warisan spiritual, tetapi juga sekaligus warisan kesusasteraan, karena ia digubah dengan indah.
Dalam masalah doa ini, umat Islam terbagi dalam dua mazhab besar. Mazhab pertama berpandangan: Kita seharusnya hanya berdoa dan melaksanakan wirid dengan kalimat-kalimat yang diajarkan oleh Nabi. Mereka cenderung tak menyukai doa/wirid yang lahir pasca Nabi.
Mazhab kedua berpandangan bahwa segala doa, baik yang berasal dari Nabi atau tidak, asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam, adalah baik. Kelompok kedua ini mempraktikkan tradisi dan ritual doa/wirid/salawat yang beragam. Sebagian dari ritual itu dinyanyikan dengan indah.
Sebagian besar umat Islam mengikuti mazhab yang kedua. Yang mengukuti mazhab yang pertama lebih sedikit.
Mana yang benar di antara dua mazhab ini? Menurut saya, keduanya benar. Saya sendiri lebih mengikuti mazhab yang kedua. Yang mau mengikuti mazhab pertama, monggo.
Apapun mazhab wirid/doa yang diikuti oleh umat Islam, kita hargai saja. Yang penting tidak usah saling menghina dan merendahkan yang lain. Sekian. [DR]
Baca juga artikel-artikel tentang FIKIH dan tulisan-tulisan dari ULIL ABSHAR ABDALLA lainnya di Jas Hijau (jashijau.com).
