JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Menjadi Gus, Lora dan Ning: Antara Kehormatan dan Tanggung Jawab
Home » Menjadi Gus, Lora dan Ning: Antara Kehormatan dan Tanggung Jawab

JAS HIJAU – Lahir dan besar di lingkungan pesantren adalah pengalaman yang penuh makna. Tidak sedikit orang yang tumbuh dalam tradisi ini sejak kecil, menyerap nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh para guru dan orang tua. Namun, di balik itu semua, kehidupan dalam lingkaran pesantren juga membawa tanggung jawab besar, terutama bagi mereka yang menyandang gelar Gus, Lora, atau Ning.
Gelar ini bukan sekadar panggilan, bukan pula simbol kebanggaan tanpa makna. Ia hadir dengan amanah besar: untuk terus belajar, mengajar, bersabar, dan memberi contoh kepada banyak orang. Sebab, gelar itu bukan hanya tentang siapa kita, tetapi tentang apa yang kita lakukan. Para santri dan alumni biasanya berdiri untuk menghormati seorang Gus, Lora, atau Ning ketika mereka lewat, bukan semata karena orangnya, tetapi karena ilmu dan akhlak yang diharapkan terpancar dari mereka. Mereka dihormati karena dianggap membawa nilai-nilai luhur, karena berasal dari keturunan orang-orang yang berilmu, dan karena peran mereka dalam mendidik dan membimbing.
Namun, apa jadinya jika seseorang hanya mengandalkan gelar tanpa kontribusi nyata? Betapa memalukannya jika amanah besar ini justru diabaikan. Hanya karena menjadi keturunan seseorang yang dihormati, seorang merasa berhak untuk dimuliakan. Bahkan, ada yang merasa sakit hati jika tidak dihormati, padahal tidak ada kontribusi apa pun yang diberikan, tidak mengajar, tidak membimbing, tidak berperan apa-apa. Lebih buruk lagi jika gelar ini hanya dipakai sebagai alat untuk meminta dilayani, disanjung, dan diperlakukan istimewa. Padahal, siapa yang tidak memberi manfaat tidak layak diberi penghormatan.
Tanggung jawab seorang Gus, Lora, atau Ning bukan sekadar memanfaatkan warisan nama besar. Gelar itu menuntut seseorang untuk terus belajar, memperluas wawasan, dan memperbaiki diri. Jika seseorang menyandang gelar itu, maka ia harus bisa menjadi teladan. Jangan sampai gelar itu hanya menjadi simbol kosong yang dijadikan alat untuk membanggakan diri di media sosial, atau sekadar untuk mengingatkan orang bahwa kita adalah cucu atau cicit siapa. Ilmu dan akhlaklah yang seharusnya menjadi dasar penghormatan, bukan sekadar keturunan.
Lingkungan pesantren memang penuh nilai, tetapi juga penuh tantangan. Jika seseorang terlalu nyaman dalam lingkungan ini tanpa pernah membuka diri, ia bisa terjebak dalam ilusi kebesaran yang hanya ada di dalam lingkaran kecilnya. Sebaliknya, keluar untuk belajar dari dunia luar juga penting, tetapi harus dilakukan dengan tujuan yang jelas. Keluar bukan berarti meninggalkan tanggung jawab, seperti mendidik santri atau menjaga keluarga. Sebaliknya, itu adalah bagian dari memperkaya diri agar bisa memberi manfaat yang lebih besar kepada lingkungan pesantren itu sendiri.
Baca juga: Gus, Lora dan Ustaz: Antara Dakwah dan Pesona Digital
Nasihat yang sering saya dengar adalah: “Jika ingin menjadi Gus, Lora, atau Ning yang baik, keluarlah untuk belajar agar tidak mudah merasa besar.” Namun, keluar tanpa arah pun tidak akan membawa kebaikan. Intinya bukan sekadar soal keluar atau tinggal, melainkan soal terus belajar dan berkontribusi. Jangan sampai seseorang yang menyandang gelar mulia ini justru lupa untuk belajar dan lupa untuk memberi manfaat.
Gelar Gus, Lora, atau Ning adalah amanah yang besar. Ia mengajarkan bahwa hidup ini bukan soal meminta dilayani, tetapi soal melayani. Bukan soal dihormati, tetapi soal memberi teladan. Bukan soal kebanggaan karena garis keturunan, tetapi soal tanggung jawab untuk membawa manfaat. [DR]
