Nahdlatul Ulama Kuningan di Era Kolonial: Mencari Kiai Abdullah

nahdlatul-ulama-kuningan-di-era-kolonial-mencari-kiai-abdullah

JAS HIJAU – Jika hendak menelusuri sejarah perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) di Kuningan, Jawa Barat era kolonial, maka hal pertama yang harus digarisbawahi adalah tentang kondisi geografis atau administrasi pemerintahan. Jika NU berdiri pada tahun 1926, maka Kuningan saat itu, belumlah termasuk beberapa daerah di bagian Utara (Cilimus dan sekitarnya).

Di tahun 1929-1930, terjadi perubahan wilayah administrasi. Daerah di wilayah Kecamatan Cilimus dan sekitarnya (yang sekarang dikenal sebagai Kecamatan Jalaksana, Cigandamekar, Kecamatan Mandirancan dan Kecamatan Pancalang) hingga tahun 1928, masih masuk dalam Distrik (setingkat Kawedanan) Beber di bawah regentschap of afdeling Cirebon. Selain Cilimus, onderdistrict (kecamatan) lainnya adalah Jalaksana dan Koreak (sebuah desa yang sekarang ada di wilayah Cigandamekar). Dalam Staatsblad No. 91 tahun 1920, pengaturan tentang kewilayahan seperti di atas bisa kita cermati.

Perubahan administrasi ditemukan dalam Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie tahun 1929. Pada lampiran, Cilimus masuk sebagai distrik sekaligus onderdistrict alias kecamatan di regentschappen (kabupaten) Kuningan. Mandirancan, yang awalnya sebuah distrik di Cirebon juga bergeser sebagai sebuah kecamatan di Kuningan.

Mengenali perubahan ini penting, karena pada berbagai dokumen atau arsip di era kolonial, Cilimus dikenali sebagai bagian dari Cirebon, sebelum kemudian agak mapan sebagai sebuah wilayah di Kuningan.

Pada Muktamar NU keempat tahun 1929 di Semarang, Kuningan telah diwakili oleh seorang bernama Kiai Abdullah. Nama yang sama hadir pada Muktamar 1928 di Surabaya, tetapi beliau datang dari wilayah Cirebon. Apakah dua nama ini merujuk pada individu yang sama atau beda, perlu penelusuran lebih lanjut. Yang jelas, dengan kehadiran seorang bernama Kiai Abdullah tersebut, sudah ada aktifitas warga NU di Kuningan, meski mungkin belum di bawah payung afdeling atau cabang sebagai bagian dari struktur hoofdbestuur.

Ada fakta menarik kaitannya dengan Cilimus, Cirebon dan Kiai Abdullah di Muktamar 1928 Surabaya. Kiai Abdullah, seperti disinggung di atas, hadir sebagai perwakilan dari Cirebon. Dalam pembahasan masalah (bahtsul masail), ada dua pertanyaan yang muncul dari Cilimus, Cirebon. Dua pertanyaan itu berdimensi fikih dan tauhid.

Pertanyaan pertama adalah tentang orang yang akadnya utang (sarung, sebagai contoh) tetapi membayar dengan uang. Penanya bertanya apakah transaksi tersebut dinyatakan sah atau tidak. Pembahas di forum yang dipimpin oleh Kiai Hasyim Asy’ari bermufakat untuk melihat akad tersebut sebagai bai’ bil kinayah atau jual beli dengan kiasan; intinya jual beli tapi dilafalkan utang piutang.

Persoalan berikut yang dibahas adalah pengajaran teologi. Pertanyaan dari Cilimus-Cirebon, jika dijabarkan secara bebas berbunyi, apakah seseorang lebih baik diajarkan masalah fikih (seperti yang termaktub dalam kitab Safinah, Majmu’, dan lain-lain) atau langsung belajar Tarekat Naqsyabandiyah? Jawabannya, tidak boleh langsung meloncat belajar tarekat sebelum mempelajari teologi atau akidah serta fikih.

Dua pertanyaan dari Cilimus itu menjadi penanda bahwa NU sudah dikenal sebagai sebuah pergerakan di kawasan tersebut. Bisa jadi, Kiai Abdullah (Cirebon) yang membawa pertanyaan tersebut untuk dibahas ke forum. Namun yang jelas, nama Abdullah kemudian ada di catatan peserta Muktamar keempat di Semarang pada tahun 1929. Bedanya, Kiai Abdullah yang hadir berasal dari Kuningan. Sementara Cirebon sendiri diwakili oleh Kiai Abu Khoir (di Swara Nahdlotoel Oelama, Edisi 10 tahun II Syawal 1347, tertulis Abdul Khoir), yang berasal dari Ciledug, sebuah wilayah di timur Cirebon yang beririsan dengan Kuningan. Jika nama Abdullah itu merujuk pada individu yang sama, maka penjelasan yang agak bisa diterima adalah beliau berasal dari wilayah Cilimus (Jalaksana, Mandirancan atau Cilimus sendiri) yang pada 1928 masih di Cirebon dan berpindah ke Kuningan pada 1929.

Baca juga: Melawan dengan Tradisi Sebagai Tradisi Perlawanan: Dua Bahasan di Muktamar NU 1929


Pada edisi 24 September 1937, Koran Pemandangan menginformasikan nama-nama yang menjadi anggota dewan kabupaten (regentschapsraad). Hadji Abdoellah seorang Penghulu dari Palimanan menjadi salah satu anggota dewan Cirebon. Nama yang sama, Hadji Abdoellah, seorang guru asal Djapara, menjadi anggota dewan Kuningan. Japara, sekarang adalah nama sebuah desa dan kecamatan di Kuningan.

Mulanya Desa Japara berada di bawah Kecamatan Jalaksana yang kemudian mengalami pemekaran menjadi kecamatan sendiri pada tahun 2002. Belum ada data pendukung yang bisa menjadi penjelas bahwa Haji Abdoellah, seorang “guru ngaji” asal Djapara yang anggota dewan kabupaten, adalah peserta Muktamar NU 1929 di Semarang dan mungkin juga hadir di Surabaya pada 1928.

Koran Pemandangan edisi 7 Desember 1938 memberitakan bahwa, pada 18 Desember 1938, NU Kuningan mengadapakan openbare vergadering atau rapat terbuka. Pimpinan Hoofdbestuur NU dari Surabaya hadir di kegiatan tersebut. Masyarakat menanti kehadiran para mubaligh NU untuk mendengarkan ceramah yang akan disampaikan. Salah satu masalah yang ingin diketahui status hukumnya oleh umat Islam setempat adalah tentang hukum makan dan minum di tempat orang yang meninggal. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *