NU dan Ikhtiar Merawat Fleksibelitas Politik Santri

nu-dan-ikhtiar-merawat-fleksibelitas-politik-santri

JAS HIJAU – Keberanian NU bikin kantor di ibu kota baru saya pikir sangat menari sekaligus menabalkan diri sebagai legitimasi atas kekuasaan yang sesungguhnya. Bahwa NU ada bersama rezim bukan oposan apalagi anti rezim, ini cara brilian untuk tetap merawat jagat dan peradaban tetap harmoni.

Ini momen cerdas, sekaligus menunjukkan bahwa NU ada bersama rezim bukan sebaliknya. Ini gagasan besar dan ijtihad adi luhung untuk melegitimasi kekuasaan yang sah bukan deligitimasi. Dan, NU punya kewenangan otoritatif untuk menentukan sikapnya sendiri. Saya sangat menghormatinya. Apa salahnya PB punya dua atau tiga kantor?

Sebagai kekuatan besar dengan banyak pengikut, sikap kooperatif dengan banyak pertimbangan adalah pliihan bijak. Prioritasnya adalah untuk kemaslahatan jamaah, umat dan bashariyah, khususnya umat Islam keseluruhan. Tentu saja ini penting dijadikan sandaran teologis dan etis, agar perjalanan ke depan makin mantab dan ringan karena banyak support dari berbagai elemen, termasuk kekuasaan politik adalah niscaya sebagai rukun berjamaah dan berserikat. Saya bilang nonsens berjuang tanpa dukungan politik kekuasaan.

Sungguh berat jika perjuangan berlawanan arah dengan kekuasaan, karena harus kerja dobel. Padanan ini hanya hendak saya kabarkan betapa sebuah organisasi besar memang harus demikian, berbeda dengan ormas yang kecil pengikut tanpa amal usaha, yang tak punya beban terhadap umat–realitasnya, ormas oposan selalu kecil tak pernah besar?

Baca juga: Menilik Hubungan Agama dan Politik


Tradisi politik santri memang adaptif, fleksibel, kenyal dan futuristik dengan tujuan banyak maslahat—model dakwah Wali Songo tetap dirawat utuh. Bukankah Majapahit bertekuk lutut dipindah ke Demak tanpa perlawanan? Ini juga sukses politik besar sepanjang sejarah perjalanan Islam di Indoenesia.

Hipotesisnya adalah: Ketika arah politik sehaluan dengan perjuangan maka kerja akan terasa mudah dan ringan tidak banyak energi keluar dengan hasil maksimal. Sebaliknya, jika arah politik kekuasaan berlawanan arah dengan garis perjuangan, kerja akan terasa makin berat butuh banyak energi dan konflik di sana-sini.

Tapi ini hanya soal pilihan, bukankah Baginda Nabi Saw pernah bersabda bahwa, makin beratnya ujian akan mempertebal pahala. Jadi, memang tak mengapa bila ada yang memilih jalan berat dan terjal untuk masuk surga, dengan harapan pahala besar, meski minum air putih dengan tangan kanan baca Basmalah sambil duduk bisa menghantarkan masuk surga. Jadi, ini memang pure soal teste atau cita rasa dalam ber-Islam.

Bisa dibilang bahwa untuk jadi NU memang sangat mudah, tidak banyak persyaratan apalagi tuntutan. Sebab butuh banyak ‘suplemen’ untuk bisa merawat jamaah sebesar itu, perekat ideologi yang kuat, sistem organisasi yang lentur dan pandangan futuristik yang efisien, dan NU punya semua itu.

Baca juga: Gus Yahya, Gus Muhaimin dan Hipertensi Politik


Apakah dengan begitu lantas NU tidak menjadi militan? Siapa bilang, justru NU adalah yang paling militan paling ulet paling tekun dan fleksibel menjaga tradisi santri. Pindah kantor di ibu kota baru adalah ‘garansi kesetiaan pada negeri’ itu yang hendak dikatakan para santri kepada peguasa, siapa pun itu. Selamat harlah NU: merawat jagat membangun peradaban. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *