NU dan Pancasila

nu-dan-pancasila

JAS HIJAU – Di tengah memperingati hari lahir Pancasila, saya ingin berbagi tulisan: NU dan Pancasila. Tentang pandangan keagamaan NU yang membuat ormas ini bisa menerima Pancasila secara bertanggung jawab, menerima NKRI sebagai bentuk final negara. NU yang tradisional, tapi selalu di depan.

Seperti dikutip Zamakhsyari Dhofier dalam buku Tradisi Pesantren, puluhan tahun lalu Snouck Hurgronje bersaksi tentang Islam tradisional (kemudian menjelma menjadi NU): “Islam tradisional di Jawa yang kelihatannya statis dan terbelenggu oleh pemikiran ulama abad pertengahan (kitab kuning) sebenarnya terus mengalami perubahan-perubahan yang sangat fundamental. Tapi perubahan-perubahan itu demikian bertahap-tahap, demikian rumit, dan dalam tersimpan. Perubahan itu tidak akan terlihat, walaupun sebenarnya terjadi di depan mata sendiri, kecuali bagi mereka yang mengamatinya secara seksama.

Allan A Samson dalam buku Political Power & Communications in Indonesia (1977) juga memberi kesaksian unik: “Secara teori, Islam modernis yang rasional seharusnya lebih fleksibel terhadap dinamika politik. Tapi dalam kenyataannya, sikap-sikap itu justru dimiliki oleh kaum tradisional (NU).”

Mari kita lihat fakta sejarahnya dan bagaimana perilaku politik NU yang sangat fleksibel dan akomodatif terhadap perubahan dan fakta sosial politik. Pertama, pada Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU membuat keputusan yang sangat revolusioner yang akan melandasi sikap politiknya ke depan sekaligus menjadi dasar nasionalisme yang utuh. NU memutuskan bahwa status tanah atau wilayah Hindia Belanda yang diperintah oleh penguasa non-Muslim Belanda, adalah “negeri Islami”, meski bukan “negara Islam”. Nusantara adalah negeri Islami.

Simak alasannya: Disebut negeri Islami karena wilayah ini pernah diperintah oleh kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya mayoritas Islam, dan yang utama; umat Islam bebas menjalankan ajaran agamanya di wilayah ini. Karena negeri Islami, wilayah ini harus dibela dan dipertahankan dari serangan luar.

Kedua, pada 22 Oktober 1945 musyawarah darurat ulama NU di Surabaya dalam rangka merespons cepat mendaratnya tentara Sekutu, memutuskan: (i) Republik Indonesia yang diproklamasikan Soekarno-Hatta adalah sah secara fikih (hukum agama), (ii) karena sah secara fikih maka kemerdekaannya wajib dipertahankan, (iii) umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda/Sekutunya, dan kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) yang wajib bagi setiap Muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer dari tempat pasukan Sekutu.

Baca juga: Jelaskan Islam Nusantara, Kiai Said: Budaya Kita Lebih Bermartabat dari Bangsa Arab

Ketiga, pada Muktamar tahun 1984 di Situbondo, NU menjadi ormas Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi dan menyatakan bahwa NKRI adalah bentuk final negara Indonesia, yang dalam istilah sekarang disebut NKRI harga mati. Dalam dokumen Muktamar tersebut, K.H. Achmad Siddiq menyatakan: Kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945 adalah sah menurut agama, dan mengikat semua pihak, termasuk umat Islam. Karena sah-mengikat, maka NKRI wajib dipertahankan dan dilestarikan.

Mengapa NU menerima NKRI 100%? Guru saya, K.H. Marzuki Mustamar dalam penjelasan kitab al-Muqtathofat li Ahli al-Bidayat menyatakan; ada dua hujjah yang membuat NU menerima Pancasila dan NKRI secara total. Pertama, secara faktual, NKRI sudah sesuai dengan tujuan syariat yang 5, atau maqashid as-syariah.

Melindungi jiwa (hifz an-nafs): Di Indonesia berlaku hukum di mana yang menghilangkan nyawa atau melukai fisik seseorang atau yang mengancam jiwa sudah jelas aturan hukum pidananya. Ini artinya Indonesia sudah melaksanakan perintah syariat yang pertama, yaitu melindungi hak hidup.

Melundungi agama (hifz ad-din): Di Indonesia orang Islam bebas menjalankan ajaran agamanya sejak dari Aceh sampai Papua. Demikian juga umat agama yang lain bebas dan aman menjalankan ibadah di seluruh wilayah Indonesia. Ini artinya negara sudah menjalankan perintah syariat yang kedua.

Melindungi hak milik (hifz al-mal): Di Indonesia kepemilikan atas harta diatur dengan jelas, sehingga kepemilikan seseorang atas sesuatu terlindungi dari kemungkinan perampasan. Tanah ada sertifikatnya, motor ada suratnya. Negara melaksanakan perintah syariat tentang perlindungan hak milik.

Melindungi keturunan (hifz an-nasl): Negara mengatur tentang perkawinan yang sah agar keturunan terjaga kelangsungannya. Nikah harus dicatat, agar suami atau isteri menjadi sah dan jelas statusnya, anak menjadi jelas siapa bapaknya, jelas nasab-nya. Itulah perintah syariat tentang menjaga keturunan.

Menjaga akal (hifz al-‘aql): Negara menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat, bahkan negara memberikan fasilitas pendidikan gratis untuk warganya. Ini artinya negara telah menjalankan perintah syariat yang kelima tentang melindungi akal setiap warga.

Baca juga: Saat Kiai Hamid Kajoran Jelaskan Pancasila, Kiai Ali Maksum Menangis

Karena NKRI telah melaksanakan 5 perintah syariat (maqashid as-syariah atau al-maqashid al-khomsah) maka sesungguhnya NKRI adalah negeri yang sudah sesuai dengan tujuan syariat, negeri yang Islami, meski bukan negara Islam. Dan, karenanya wajib dibela, dijaga dan dipertahankan.

Kedua, ada kaidah fikih la yajuzu tarkul muhaqqaq li ajlil mauhum (tidak boleh meninggalkan sesuatu yang sudah jelas ada, dan jelas manfaatnya, hanya karena berharap mendapatkan sesuatu yang lebih baik tapi sesuatu yang dianggap lebih baik itu masih di dalam angan-angan atau masih dalam impian.

NKRI sudah nyata ada, nyata kokoh berdiri, nyata manfaatnya, kerena di sini sekolah lancar dan aman, pengajian juga aman, tahlilan juga lancar aman, kebaktian lancar dan aman, mencari nafkah juga aman. Yang sudah nyata ada dan aman ini harus dipilih, dijaga dan dipertahankan.

Negara agama mungkin ideal dan lebih baik. Tapi kalau diterapkan di sini belum tentu manfaat. Belum tentu sekolah, tahlilan, pengajian, sembahyang dan kebaktian akan aman. Yang belum tentu manfaat, jangan dipaksakan, karena akan merusak yang sudah nyata ada dan nyata manfaatnya.

Air putih memang tidak begitu enak, tapi bisa dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat, dari balita sampai orang tua. Kopi manis enak, tapi tidak semua golongan masyarakat aman mengkonsumsinya. Pancasila mungkin kurang ideal, tapi semua golongan dijamin keamanannya berlindung di dalamnya.

Jelas bahwa nasionalisme NU, slogan NKRI Harga Mati dan penerimaannya terhadap Pancasila merupakan produk dari pemikiran keagamaannya yang sangat mendalam. Ajaran agama tidak mungkin dilaksanakan dengan baik jika negara tidak aman. Membela atau menjaga negara adalah bagian dari kewajiban agama.

Mengapa NU mampu mengembangkan pemikiran yang sangat transformatif, moderat dan fleksibel? Menurut Gus Dur (1984), karena NU memiliki empat hal; (i) tradisi keilmuan yang dikembangkan khas dari pemikiran ulama abad pertengahan yang terkodifikasi dalam khazanah pemikiran kitab-kitab kuning, (ii) pandangan kemasyarakatan berbasis fikih yang tidak pernah hitam putih, (iii) cara pengambilan keputusan yang sifatnya membuka kondisi kemungkinan dan mengutamakan konsensus dalam arti luas, dan (iv) proses rekonsiliasi internal yang mapan jika terjadi perbedaan pandangan yang tajam.

Baca juga: Apa Makna Historis Hari Kesaktian Pancasila Bagi Kita?

Dalam buku Ethical Dilemmas of Development in Asia (1983), Gus Dur menambahkan: Tradisi berpikir NU yang serba fikih membuatnya mampu mengedepankan sikap egalitarian dan toleransi yang tinggi. Lebih dari itu, kata Gus Dur, NU mampu membangun pola pikir yang menemukan esensi keberagamaan secara total yang melampaui batas kerangka legal-formalistik, dan terhindar dari pendekatan monokultural terhadap realitas.

Selamat Hari Lahir Pancasila. Salam hormat, salam sehat untuk seluruh bangsa. [DR]


2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *