NU, Khittah dan Politik Nahdliyin

nu-khittah-dan-politik-nahdliyin

JAS HIJAU – NU (Nahdlatul Ulama) didirikan sebagai ormas (organisasi masyarakat) tempat perjuangan para ulama membela ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Kemudian dalam perjalanannya, NU berubah menjadi parpol (partai politik). Sejak saat itu model perjuangannya sedikit berubah sebab berada di ranah politik praktis. Lalu kemudian NU berubah lagi ke bentuknya semula sebagai ormas hingga sekarang.

Perubahan terakhir dikenal sebagai perubahan kembali ke Khittah. Dan hingga kini, NU masih berada dalam khittahnya sebagai ormas keagamaan, bukan sebagai partai politik. Karena itulah hingga kini NU secara kelembagaan tak pernah bertindak seperti parpol yang menginstruksikan anggotanya untuk goal politik praktis.

Dengan demikian tak pernah ada sanksi administratif pada warga NU sebab mendukung partai ini-itu atau calon ini-itu dalam kontestasi politik praktis. Selama NU secara kelembagaan bersifat demikian, maka NU tetap berada dalam jalur Khittah dan tak menyimpang satu inci pun.

Lalu bagaimana dengan warga NU, baik pengurus, anggota resminya maupun massa kulturalnya? Mereka adalah warga negara yang punya hak berpolitik penuh, sama seperti non-NU. Mereka berhak memilih atau dipilih dalam ajang politik. Tak ada yang berhak membonsai aspirasi politik Nahdliyin dengan alasan apapun di negeri demokratis ini. Khittah sama sekali tidak bisa diartikan sebagai larangan bagi warga NU untuk berpolitik dan memang tak pernah dimaksudkan demikian.

Pemahaman sebagian orang bahwa ber-Khittah sama dengan kewajiban menjauhi seluruh tindakan politik dan memangkas hak-hak berekspresi Nahdliyyin dalam kancah politik adalah pemahaman yang ahistoris dan sekaligus melanggar prinsip demokrasi. Secara kelembagaan NU tak berkontestasi dalam ajang politik, tapi warganya tetap bebas berpolitik bila menghendakinya. Inilah yang terjadi sejak seruan kembali ke Khittah muncul hingga kini.

Jadi, kalau ada yang menyeru agar NU saat ini kembali ke Khittah, maunya kembali ke apalagi? Pergi saja tak pernah kok disuruh kembali? Ini aneh. Sebagian yang menyeru demikian biasanya ingin orang NU diam saja seperti harimau ompong yang tertidur pulas yang tak punya andil apapun dalam urusan politik. Ini yang saya sebut pembonsaian. Yang lebih aneh lagi ketika ada pihak yang mengajak NU kembali ke khittah dan menjauhi politik tetapi pada saat sama menyeru untuk memenangkan kubu politik tertentu. Ini seperti mengajak berpuasa dengan cara makan.

Baca juga: Gus Dur, Kebudayaan dan Khittah NU


Adapun bila preferensi politik sebagian tokoh NU kemudian diikuti oleh orang-orang di komunitasnya yang merasa seperjuangan dengannya, maka ini wajar dan sebuah fenomena alami. Hal semacam ini terjadi di seluruh komunitas dalam bentuk apapun, baik itu paguyuban, ikatan alumni, ikatan keluarga besar, perseroan, yayasan, lembaga, organisasi, atau apapun. Bila ada salah satu dari anggota komunitas yang mempunyai hajat politik tertentu, maka lumrah bila anggota komunitas lainnya memberi dukungan.

Kesamaan preferensi seperti ini tidaklah menjadikan komunitas tersebut lantas berubah menjadi partai politik atau sudah berubah haluan dari tujuan awal didirikannya, tidaklah demikian. Yang terjadi hanyalah warga di komunitas tersebut memiliki preferensi politik yang sama sebab adanya keterikatan personal atau perasaan seperjuangan. Yang demikian adalah termasuk ekspresi berpolitik yang wajar dan tak boleh dikekang siapa pun. [DR]


3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *