Nyai Rodliyah Djazuli, Sosok Perempuan Inspiratif di Balik Kebesaran Pondok Ploso

nyai-rodliyah-djazuli-sosok-perempuan-inspiratif-di-balik-kebesaran-pondok-ploso

JAS HIJAU – Saat diceritakan tentang sosok Nyai Rodliyah Djazuli Ploso beberapa waktu lalu oleh salah satu dzurriyah Ploso, saya hanya bisa tertegun dan tergagu. Pasalnya, manusia-manusia “mastur” yang berada di balik layar seperti Nyai Rodliyah memiliki peran begitu krusial di tengah kebesaran sebuah pondok pesantren.

Menjadi ibu nyai baik saat K.H. Djazuli Utsman masih sugeng maupun seusai kewafatannya sangatlah tidak mudah, apalagi di awal-awal Kiai Djazuli merintis pesantren. Selain diserahi membimbing putera-puteri buah pernikahannya dengan Kiai Djazuli juga dituntut untuk mengasuh para santri sepeninggal Kiai Djazuli wafat. Berikut adalah poin-poin keteladanan beliau yang layak dicatat dan dicermati:

Pertmana, secara ekonomi. Nyai Rodliyah Djazuli adalah sosok perempuan tangguh dan mandiri karena beliau tak segan-segan berdagang apapun untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Bahkan putera-puteranya diberi bisyaroh langsung oleh Mbah Nyai selama mengajar di pesantren meskipun pesantren tersebut milik ayah mereka sendiri.

Apalagi saat Kiai Djazuli mulai sepuh, semua kebutuhan keluarga Nyai Rodliyah yang menanggung mengingat Kiai Djazuli sendiri sangat gigih dalam mengajar. Bagi beliau, tekun atau sungguh-sungguh (mempeng) adalah kunci utama.

Kiai Djazuli sendiri mempunyai prinsip yang selalu ditanamkan, yaitu: افضل الطُرق الى الله طريقة التعليم والتعلُّم. “Sebaik-baik thariqah menuju Allah adalah belajar dan mengajar.”

Baca juga: Nyai Lilik Suyati, Perubahan Seorang Gadis Kota


Menurut sumber keluarga terdekat, saking cintanya dengan ilmu Kiai Djazuli pernah mengajar ngaji hingga 18 kitab dalam sehari. Nyai Rodliyah Djazuli sendiri pernah dawuh, yang intinya meminta Yai Djazuli agar fokus mengajar para santri saja sedangkan urusan lainnya Nyai Rodliyah yang akan selesaikan (khususnya kebutuhan dan keperluan keluarga).

Support luar biasa yang dilakukan Nyai Rodliyah terhadap suami yang ahlu ilmu seperti ini sangatlah tidak mudah dan gampang dikerjakan oleh seorang perempuan pada umumnya.

Kedua, secara andhap asor (etika). Beliau selalu berbahasa kromo inggil (Jawa halus) kepada putera-puterinya. Hal ini beliau praktikkan sebagai bentuk hormat beliau kepada Kiai Djazuli yang dzul ilmi meskipun itu putera-puteranya sendiri.

Pernah diceritakan, ada wali santri asal Pasuruan namun masih dzurriyah Lasem. Saat memondokkan puteranya di Ploso respon Mbah Nyai sangatnya spesial layaknya sedang kadatangan orang penting, hanya karena orang tersebut masih terhitung cucu dari Nyai Masfuriyah (kakak perempun dari Kiai Baidhowi). Hal ini tidak lepas dari ikatan guru dan murid antara Kiai Baidhowi dan putera-puteranya saat dulu pernah mondok di Lasem.

Seakan beliau sedang mengajarkan kepada kita tentang sikap tawadhu dan ihtiram kepada guru atau kiai dan termasuk di dalamnya wa ma nusiba ilaihim, yakni; apa-apa yang dinisbatkan atau pun tersambung kepada mereka, sebab ini adalah kunci keberkahan. Sekali lagi, adab seperti ini juga tidak gampang dijalankan bagi mereka yang kadung biasa dimuliakan banyak orang. 

Ketiga, secara kedisiplinan. Beliau tak bosan-bosan menegur dan mengingatkan jadwal ngaji putera-puteranya termasuk para guru yang turut khidmat mengajar di pondok. Saat beliau melihat atau mendengar puteranya ada yang absen mengajar, maka suaranya akan meninggi dan setengah menghardik. Kalau sudah seperti itu, maka Yai Din atau Yai Dah akan kalang kabut dan bergidik merasa takut dan sungkan.

Bahkan, saat Kiai Djazuli melaksanakan jamaah salat bersama para santri, Nyai Rodliyah tak canggung ikut oprak-oprak santri yang mbangkong di kamar dan itu dilakukan hampir setiap hari. Lagi-lagi, hal ini juga tidak ringan untuk dikerjakan.

Keempat, secara spiritual. Wirid Mbah Nyai tidaklah panjang-panjang. Namun seperti yang dituturkan salah satu cucunya, meski tak terlalu panjang namun beliau selalu ajeg wirid dan maos al-Qur’an setelah melaksanakan salat maktubah. Bahkan ada yang menuturkan jika kehidupan harian beliau terkesan sangat monoton, tapi nilai istikamah inilah yang kemudian menjadi salah satu bentuk tirakat beliau.

Pernah satu waktu Nyai Rodliyah dawuhan: “Cah santri tugase ngaji, aku sing bagian nirakati. (Anak santri tugasnya ngaji, saya yang bagian tirakat).” Tak heran jika kelak di kemudian hari Ploso menjelma menjadi salah satu pesantren yang cukup diperhitungkan. Hal ini tidak bisa lepas dari hasil kerja keras, kesabaran dan berkah riyadah beliau. Hal seperti ini juga tidak semua orang mampu menjalankan. 

Baca juga: Perjalanan Nyai Shinto’ Nabilah Asrori, Menghafal Al-Qur’an di Masa Tua


Terakhir, teladan indah Nyai Rodliyah belum semuanya dapat terangkum, masih begitu banyak narasi tentang beliau yang tak sempat tertulis di sini. Namun yang jelas, harus diakui (mau tidak mau) bahwa kebesaran Pondok Pesantren Al-Falah hari ini tidak bisa dipisahkan dari peran perempuan seperti Nyai Rodliyah. Ketangguhan putera-puteri serta para dzurriyah beliau pun tidak luput dari tangan dingin beliau.

Saya sendiri termasuk golongan yang meyakini, bahwa di balik poro piyantun kakung yang tangguh terdapat sosok-sosok perempuan sederhana yang tak kalah sangarnya meski kadang tak terlihat oleh mata awam.

Semoga kita termasuk yang tetap “merunduk” dan menjaga adab kepada orang-orang saleh meskipun kedudukan hebat telah disandang, jabatan tinggi telah dipegang (sundul langit sekali pun). Semuanya akan sia-sia tak bermakna jika masih memandang sebelah mata sosok perempuan-perempuan tangguh di balik layar seperti Nyai Rodliyah, ibu dari para pejuang ilmu yang tersebar di penjuru persada.

Kagem Simbah Nyai Rodliyah Djazuli, laha al-Fatihah. [DR]


2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *