JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Nyai Sholichah Wahid Hasyim: Pemahat Kepribadian Gus Dur
Home » Nyai Sholichah Wahid Hasyim: Pemahat Kepribadian Gus Dur

JAS HIJAU – “Salah satu yang masih saya ingat adalah ketika saya menemani beliau bertamu ke sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol, Menteng, dan ibu berdiskusi panjang lebar dengan seorang laki-laki. Ketika Tan Malaka, tokoh misterius itu, dikabarkan meninggal, Ibu berkata kepada saya, kamu masih ingat ndak orang yang kita temui di Jalan Imam Bonjol. Namanya Husein. Padahal orang itu sebenarnya adalah Tan Malaka. Ternyata Tan Malaka juga menjadi teman bertukar pikiran ibu…” (Gus Dur, Ibuku Inspirasiku: Nyai Sholichah Wahid Hasyim, hlm. 50)
Karakter Gus Dur banyak dipengaruhi oleh ibundanya, Nyai Sholichah Wahid Hasyim. Perempuan tangguh yang ditinggal wafat suaminya, K.H. Abdul Wahid Hasyim ketika dirinya mengandung putera keenam, Hasyim Wahid, ini mempengaruhi Gus Dur dalam keteguhan memegang prinsip dan kepedulian kepada mereka yang terpinggirkan.
Nyai Hj. Sholichah binti K.H. Bisri Syansuri sedang mengandung anak keenamnya saat sang suami, K.H. Abdul Wahid Hasyim, ulama cum negarawan muda paling moncer dalam sejarah Indonesia, berpulang akibat kecelakaan di Bandung.
Nyai Sholichah, yang belum genap berusia 30 tahun menjanda dengan tanggungan 6 buah hati: Abdurrahman ad-Dakhil, Aisyah, Shalahuddin, Lily Khadijah, Umar dan Hasyim Wahid. Tak tega melihatnya sendirian di Jakarta, K.H. Bisri Syansuri meminta puterinya itu kembali tinggal ke Jombang. Sholichah menolak, dia bertekad membesarkan buah hatinya sendirian di ibukota. Di era 1950-an, di mana kondisi sosial-politik dan ekonomi tidak stabil, tentu pilihan ini sangat berisiko.
“Bagi Sholichah, K.H. A. Wahid Hasyim adalah orang yang sempurna. Kematiannya pada bulan April 1953 membuatnya mengalihkan semua ambisi dan aspirasinya pada Gus Dur. Baginya, adalah hal yang wajar bahwa puteranya harus meneruskan kerja yang telah dirintis oleh sang ayah dan memenuhi, bagi Sholichah sendiri, apa yang telah digariskan oleh takdir,” tulis Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Autorized Biography of Abdurrahman Wahid.
Instingnya sebagai seorang perempuan tangguh mulai terasah saat dia mulai berbisnis beras. Bahkan menjadi makelar mobil dan pemasok material ke kontraktor pun pernah dia jalani. Nyai Sholichah juga merintis panti asuhan, rumah bersalin, beberapa majelis taklim, dan kegiatan sosial lainnya. Karakter Gus Dur yang peduli wong cilik, mendahulukan kepentingan orang lain, dan tempat bersandar mereka yang terpinggirkan dan terzalimi, saya kira menurun secara genetik dari ibundanya.
Baca juga: Nyai Hj. Abidah Ma’shum, Hakim Perempuan Pertama di Indonesia
“Sholichah mungkin bukan perempuan yang dilahirkan untuk menjadi seorang cendekiawan bagaimana almarhum suaminya, namun ia juga bukan seorang ibu rumah tangga biasa. Di rumah, dia terus mendorong anak-anaknya agar tetap memelihara semacam perdebatan bebas dan seru mengenai masalah-masalah yang dibicarakan oleh suaminya, Wahid Hasyim. Ia membuat anak-anaknya merasa bahwa mereka dapat dan memang seharusnya melibatkan diri dengan banyak pengunjung yang terus-menerus mendatangi rumahnya. Ia juga membuat anak-anaknya terdorong untuk membaca surat kabar dan buku-buku yang berserakan di rumah mereka,” puji Greg Barton dalam Biografi Gus Dur.
Sepeninggal suaminya, Nyai Sholichah menjadikan rumahnya di Matraman, Jakarta, sebagai salah satu basis politik NU. Keputusan penting seputar kiprah NU di perpolitikan digodog di sini oleh dua tokoh sentralnya: K.H. Bisri Sjansuri, ayahnya; dan K.H. A. Wahab Chasbullah, pakdenya. Sikap NU terkait dengan Dekrit Presiden, Kabinet Gotong Royong, hingga keputusan cepat Muslimat dan NU beberapa waktu usai G-30-S/PKI digodog di sini.
Di era 1970-an, dan satu dasawarsa berikutnya, ketika friksi di dalam tubuh NU menguat, antara kubu K.H. Idham Chalid dan faksi K.H. As’ad Syamsul Arifin, Nyai Sholichah tampil menjadi mediator. Kubu Cipete dan kelompok Situbondo dia undang, lalu dipertemukan di kediaman K.H. Munir Hasjim Latief di Sepanjang, Sidoarjo. Masalah klir. Ishlah terjadi. Rukun lagi. Nyai Sholichah lihai bermanuver menjadi juru damai karena bisa menjadi jembatan antara pusat dan wilayah, antara kubu muda dengan kelompok sepuh, antara faksi idealis dengan sayap realistis, antara politisi NU dengan non-politik.
“Pada awalnya ibu dikenal hanya sebagai isteri Kiai Wahid Hasyim, tetapi dalam perjalanan hidup selanjutnya, ibu secara perlahan muncul sebagai pribadi sendiri, tokoh masyarakat,” tulis K.H. Shalahuddin Wahid atau Gus Sholah, dalam Ibuku Inspirasiku: Nyai Solichah Wahid Hasyim, hlm. 31.
Gus Sholah, yang menggambarkan ibunya sebagai “ibu dan nenek yang memiliki kekuatan seorang laki-laki dan kelembutan seorang perempuan” memang melihat apabila ibunya punya karakter yang khas dan kuat. Pribadi tangguh yang tahan banting dan bisa menjadi, dalam istilah Gus Dur, Common Denominator dalam tubuh NU.
Bahkan, dalam beberapa keputusan penting di PBNU, ketika para kiai “gagal” melunakkan Gus Dur, mereka memilih jalan menghadap Nyai Sholichah agar bisa melunakkan puteranya. Berhasil. Gus Dur taat pada ibundanya. Karakter Gus Dur yang dipahat ibundanya, juga sama dengan yang dialami oleh seorang yatim lainnya, BJ. Habibie. Keduanya ditinggal wafat sang ayah dalam usia belia, ditempa sang ibu, dan kemudian menjadi presiden RI.
Ketika menjadi aktivis Muslimat NU, Nyai Sholichah sering berkeliling Tanah Air, khususnya Jawa, dengan merintis, mendirikan, dan meresmikan TK dan panti asuhan yang dikelola Muslimat NU. Ini belum menghitung beberapa majelis taklim, panti asuhan dan panti wredha yang didirikan atas prakarsa Nyai Sholichah. Beliau sering tekor duwit demi perjuangan ini. Menjadi ujung tombak, sekaligus ujung tombok. Risiko menjadi aktivis pendidikan dan sosial-keagamaan yang beliau nikmati sampai akhir hayat.
Baca juga: K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Bapak Pluralisme, Pahlawan Kemanusiaan
Dengan kerja keras, tirakat dan kerja sosialnya, kelak Allah mengganjarnya dengan meninggikan derajat anak-anaknya: Abdurrahman ad-Dakhil alias Gus Dur menjadi Presiden Ke-4; Aisyah Hamid Baidlawi menjadi Ketua Muslimat NU dan politisi Golkar dan Lili Khadijah menjadi politisi PKB, Sholahuddin Wahid menjadi pengasuh pesantren, Umar Wahid menjadi direktur rumah sakit di Jakarta.
Tatkala Gus Dur di Universitas al-Azhar, Kairo, Nyai Sholichah kerap menitipkan (melalui para sahabatnya) beberapa botol kecap dan puluhan sarung agar Gus Dur mau menjualnya. Maksudnya, biar menjadi tambahan uang saku. Apa daya, Gus Dur memang nggak berbakat sebagai pedagang. Kecap dan sarung memang ludes, bukan dibeli, tapi diminta para sahabat-sahabatnya, dan Gus Dur nggak ambil pusing. [DR]

3 Comments
[…] Baca juga: Nyai Sholichah Wahid Hasyim: Pemahat Kepribadian Gus Dur […]
[…] Baca juga: Nyai Sholichah Wahid Hasyim: Pemahat Kepribadian Gus Dur […]
[…] Baca juga: Nyai Sholichah Wahid Hasyim: Pemahat Kepribadian Gus Dur […]