Para Ulama dan Mursyid Tarekat di Lingkungan Istana Cirebon Akhir Abad 19

para-ulama-dan-mursyid-tarekat-di-lingkungan-istana-cirebon-akhir-abad-19

JAS HIJAU – Ketika menunggu jadwal penerbangan Jakarta-Manama (Bahrain) yang mengalami keterlambatan selama lebih dari lima jam, saya berupaya menghabiskan waktu dengan melamun, bengong, ngopi, dan sesekali membuka arsip catatan perjalanan C. Snouck Hurgronje ke Cirebon pada akhir abad ke-19 silam.

Snouck berada di Cirebon selama beberapa hari dari minggu ketiga bulan Agustus hingga minggu pertama September tahun 1889. Selama di Cirebon, Snouck tercatat mengunjungi berbagai pesantren dan menjumpai sejumlah ulama besar dan mursyid tarekat berpengaruh di wilayah Kesultanan Cirebon.

Di antara ulama pengasuh pesantren di Cirebon yang direkam oleh Snouck dalam catatannya tersebut antara lain: Kiai Muhammad Said Gedongan, Kiai Hasan Sukunsari, Kiai Abdul Jamil Buntet, Kiai Soleh Bendakerep, Kiai Anwar Tegalgubug, Kiai Thalhah Kalisapu.

Ulama Cirebon lainnya yang dicatat oleh Snouck adalah Kiai Syarqawi Pejambon, Kiai Ahsan Cempaka, Kiai Munjul Sindanglaut, Kiai Ishaq Sindanglaut, Kiai Imam Musa Panguragan, Kiai Hidayat Serang Palimanan, Kiai Roja’in Kedondong, Kiai Nawawi Babakan.

Snouck mencatat nama-nama ulama di atas dengan jaringan keilmuan mereka, utamanya guru-guru mereka baik di Jawa atau pun di Makkah, termasuk halnya kitab-kitab yang mereka baca dan ajarkan di pesantren-pesantren mereka.

Terdapat informasi penting lainnya yang direkam oleh Snouck dalam catatan perjalannya tersebut, yaitu informasi sejumlah nama ulama cum penghulu-mufti dan mursyid tarekat yang aktif di lingkungan istana Cirebon.

Di antara mereka adalah Kiai Abdul Aziz bin Arjaen, Syekh Muhammad Thahir Imam Prabu, dan Raden Nurullah Habibuddin Adikusuma. Ketiga nama di atas terhubung dengan jabatan ke-muftian, kepenghuluan dan aristokrasi di Cirebon.

Kiai Abdul Aziz bin Arjaen adalah penghulu besar (hoofdpenghoeloe) Cirebon yang tinggal di Pekalipan. Ayahnya, yaitu Kiyai Arjaen, tercatat pernah menjabat sebagai mufti di istana Kanoman. Sosok Kiai Arjaen sendiri terbilang sebagai guru dari Kiai Hasan Maulani Kuningan (dikenal pula dengan Kiai Ageng Lengkong). Kiai Arjaen juga merupakan anak dari Kiai Sholeh (Kertabasuki, Majalengka), anak dari Kiai Pangeran Bunyamin Suramanggala (Kawunggirang, Majalengka), anak dari Sultan Muhammad Arif Zainul Asyiqin Banten (memerintah 1753-1773).

Baca juga: Dua Buyut K.H. Prof. Dr. Said Aqil Siradj dalam Catatan Manuskrip C. Snouck Hurgronje Bertahun 1889: Kiyai Muhammad Said Gedongan dan Kiyai Hasan Sukunsari (Setu Wetan)


Snouck mendapatkan sejumlah naskah dari Kiai Abdul Aziz bin Arjaen, di antaranya adalah naskah kitab Nukhbah al-Mas’alah syarah al-Tuhfah al-Mursalah karya Abdul Ghani al-Nablusi, kitab al-Hikam karya Ibn Atha’illah al-Sakandari beserta syarah-nya yang berjudul al-Hidayah li al-Insan ila al-Karim al-Mannan karya al-Bayyumi, kitab Fath al-Rahman syarah Risalah Wali Ruslan karya Zakariyya al-Anshari, kitab al-Daqa’iq, kitab Sirr al-Mannan, juga silsilah tarekat Syathariyah jalur Kiai Arjaen dari Kiai Asy’ari Kaliwungu (Kendal) yang sampai kepada Syekh Ahmad al-Qusyasyi.

Sementara itu Syekh Muhammad Thahir Imam Prabu pernah menjabat sebagai imam di lingkungan istana Kasepuhan (Imam van Kasepoehan). Ia juga tercatat mengampu pesantren yang terletak di Graksan (Curug). Dalam catatannya, Snouck menyebut jika dirinya menjumpai Imam Prabu pada tanggal 26 Agustus 1889. Snouck menginformasikan jika Imam Prabu membaca sejumlah kitab ketika bulan Ramadan (ngaji pasanan). Imam Prabu membaca antara lain kitab Safinah al-Naja, Sullam al-Taufiq, Taqrib, Minhaj al-Qawwim dan Kifayah al-Awam.

Imam Prabu juga diinformasikan oleh Snouck pernah belajar di Wanantara (Surabaya), Madura, Gembong (Pasuruan), juga Makkah. Di Makkah Imam Prabu belajar antara lain kepada Syekh Zed atau Zahid Solo (ayah Kiai Idris Jamsaren), Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Syakur Surabaya (ipar Sayyid Bakri Syatho pengarang I’anah).

Selain itu, Snouck juga mendapatkan kenang-kenangan sejumlah naskah kitab yang disalin oleh Imam Prabu, antara lain adalah naskah kitab Kifayah al-Awam, kitab Syarah al-Hudhudi (‘ala Umm al-Barahin), kitab al-Simth al-Majid karya al-Qusyasyi, dan kitab Tanbih al-Masyi karya Abdul Rauf Aceh.

Adapun Raden Nurullah Habibuddin Adikusuma terhitung sebagai pangeran di lingkungan istana Kaprabonan. Dalam catatannya, Snouck menyebut jika dirinya menjumpai Syekh Nurullah Habibuddin Adikusuma pada tanggal 02 September 1889. Dari Raden Nurullah Habibuddin Adikusuma, Snouck mendapatkan sejumlah naskah, antara lain naskah kitab Tanbih al-Masyi karya Abdul Rauf Aceh, dan kitab Syarah Fath al-Rahman ‘ala Risalah Wali Ruslan karya Zakariya al-Anshari.

Ketiga ulama keraton Cirebon di atas terhubung dengan jaringan tarekat Syathariah, meski melalui jalur yang berbeda-beda.

Kiai Abdul Aziz bin Arjaen, misalnya, memiliki silsilah tarekat Syathariah dari jalur ayahnya (Kiai Arjaen), dari Kiai Sholeh Kertabasuki (Majalengka), dari Kiai Hasanuddin Karang Safarwadi (Pamijahan, Tasikmalaya), dari Kiai Abdullah Karang Safarwadi (Pamijahan, Tasikmalaya), dari Syekh Abdul Muhyi Karang Safarwadi (Pamijahan, Tasikmalaya), dari Syekh Abdul Rauf bin Ali Singkil (Aceh), dari Syekh Ahmad al-Qusyasyi (Madinah), dan seterusnya.

Selain dari jalur Kiai Sholeh Kertabasuki yang menyambung kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Snouck juga mencatat jika Kiai Arjaen memiliki sisilah tarekat Syathariah dari jalur Kiai Asy’ari Kaliwungu (Kendal). Dari Kiai Kaliwungu, silsilah tersebut tersambung kepada Muhammad Sa’id al-Madani (Madinah), dari Muhammad Thahir (Madinah), dari Ibrahim (Madinah), dari Muhammad Abu Thahir (Madinah), dari Ibrahim al-Kurani (Madinah), dari Ahmad al-Qusyasyi (Madinah), dan seterusnya.

Sementara itu, Syekh Imam Prabu, sebagaimana diinformasikan Snouck, memiliki silsilah tarekat Syathariah yang juga tersambung kepada Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan. Sayangnya, Snouck tidak menyebutkan secara rinci silsilah tarekat tersebut. Snouck hanya menyebut jika Imam Prabu mengambil silsilah tarekat Syathariah dari Kiai Mukallim (Kalidjaga).

Raden Nurullah Habibuddin Adikusuma, sebagaimana ditulis Snouck, memiliki silsilah tarekat Syathariah dari jalur Raden Muhammad Arifuddin, dari Raden Muhammad Syafiuddin, dari Imam Qadhi Hidayat bin Yahya (penghulu Kanoman), dari Tuan Haji Muhammad Mu’tashim, dari Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar Banten, dari Syekh Muhammad Thabari Makkah, dari Syekh Abdul Wahhab, dari ‘Alim Rabbani [kemungkinan sosok ini adalah Ahmad al-Qusyasyi, w. 1661], dari Ahmad al-Syinnawi (w. 1619), dan seterusnya.

Baca juga: Siapakah “Kijahi Moelabaroek van Garoet”; Sosok yang Menjadi Poros Utama Jaringan Keilmuan dan Mahaguru Ulama Tatar Sunda di Abad ke-19 Sebagaimana dalam Manuskrip Catatan Snouck Hurgronje?


Silsilah Raden Nurullah Habibuddin Adikusuma yang menyambung kepada Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar Banten ini menarik untuk dibandingkan dengan silsilah lain yang diriwayatkan oleh Raden Muhammad Thahir Bogor (w. 1849), yang juga tersambung dengan sosok Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar Banten, namun berbeda jalur ke atasnya. Silsilah Raden Muhammad Thahir Bogor tersebut menyebut nama gurunya, yaitu Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar Banten, dari Syekh Ibrahim bin Muhammad Abu Thahir (Madinah), dari Syekh Muhammad Abu Thahir (Madinah), dari Syekh Ibrahim al-Kurani (Madinah), dari Syekh Ahmad al-Qusyasyi (Madinah), dari Syekh Ahmad al-Syinnawi, dan seterusnya.

Beberapa silsilah tarekat Syathariah di atas telah dikaji oleh Prof. Dr. Martin van Bruinessen dalam artikelnya yang berjudul Shari`a Court, Tarekat and Pesantren: Religious Institutions in the Sultanate of Banten (Archipel 50 (1995), 165-200), juga oleh Dr. Mahrus el-Mawa dalam disertasinya yang berjudul Syattariyah wa Muhammadiyah: Suntingan Teks, Terjemahan dan Analisis Karakteristik Syatariyah di Keraton Kaprabonan Cirebon Pada Akhir Abad ke-19 (FIB Universitas Indonesia, 2015); dan oleh Prof. Dr. Oman Fathurahman dalam bukunya yang berjudul Shaṭṭārīyah Silsilah in Aceh, Java, and the Lanao area of Mindanao (Tokyo: Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, University of Foreign Studies, 2016). [DR]


KETERANGAN:
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di akun Facebook penulis yang diunggahnya pada Selasa, 18 Februari 2025 (pukul 19.44 WIB) dengan judul Para Ulama dan Mursyid Tarekat di Lingkungan Istana Cirebon Akhir Abad 19: Abdul Aziz bin Arjaen, Muhammad Thahir Imam Prabu, dan Nurullah Habibuddin Adikusuma.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *