JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Perihal Mencintai dan Menghormati Habaib
Home » Perihal Mencintai dan Menghormati Habaib

JAS HIJAU – Setelah membaca salah satu artikel di Facebook tadi malam saya seakan tersadar dari realita yang kita alami selama ini. Meski akhir-akhir ini banyak sekali orang yang dengan lantang mengaku sebagai pecinta habaib, saya makin menyadari bahwa cinta habaib itu tidak semudah yang kita bayangkan.
Saya pernah mendengar sebuah “dawuh” dari guru saya Mufti Tarim Almarhum Habib Ali Masyhur:
“Mencintai habaib itu bukan karena ilmunya, bukan karena akhlak mulianya, tapi karena darah Rasulullah Saw yang mengalir dalam diri mereka.”
Habib Zein Bilfagih dengan humor khasnya waktu itu juga pernah berpesan kepada kami:
“Jika yang dimaksud dengan mencintai habaib adalah “hanya” mencintai sosok-sosok seperti Habib Umar, Habib Abdul Qodir Assegaf, dan lain-lain, maka siapa pun juga bisa, bahkan setan pun juga bisa.”
Itu artinya—pada hakikatnya—cinta habaib membutuhkan hati yang bersih dan lapang serta ketulusan tingkat tinggi dan husnuzan yang tak sembarangan. Karena di tingkatan itu kita dituntut untuk mencintai semua Dzurriah Nabi dengan warna-warni sifat, karakter dan perilaku yang mereka miliki, tanpa membedakan dan memilah satu persatu. Satu hal yang menurut saya hanya bisa dilakukan oleh para kekasih Allah yang dikaruniai ketulusan hati yang luar biasa.
Baca juga: Ketawadhuan Quraish Shihab yang Tak Mau Dipanggil Habib
Sedangkan kita? Kita harus jujur pada diri kita sendiri, bahwa dalam mencintai “semua” habaib tanpa terkecuali kita masih jauh dari kata “bisa”. Menghormati saja kita kadang masih berusaha.
Memang seperti itu faktanya. Saya kenal seorang (tokoh) kiai, yang sering kali mengajak umat untuk mencintai dan membela habaib di media-media, bahkan ia menjadikan cinta ulama dan habaib sebagai jargon utama kampanye politiknya. Tapi suatu ketika ia dengan mudah merendahkan bahkan menyebarkan berita hoax tentang seorang Syarifah bermarga Alatas yang berseberangan pandangan politik dengannya.
Jujur, daripada orang model seperti itu, saya justru lebih ‘sreg’ dengan pengakuan Gus Rijal Mumazziq Z:
“Kalau saya diminta mencintai semua habaib tanpa terkecuali, tidak pandang bulu, dari yang berkarakter lembut hingga yang keras dan berpolah tingkah aneh-aneh, jujur saya belum bisa. Hati saya masih keras. Tahapannya masih berusaha. Itu pun terengah-engah. Kalau pun diberi ancaman seperti “nanti nggak bakal dapat syafaat Rasulullah” atau “Bisa kuwalat lho!” dan ancaman-ancaman lain, level saya masih tertawa, belum bisa bergidik ngeri atau menangis. Sebab, sekali lagi, saya masih berusaha mencintai para dzurriyah Kanjeng Nabi dengan kerinduan dan kekaguman para pecinta, bukan ketakutan seorang budak yang diancam dengan doktrin.“
Pada akhirnya, terkait hubungan kita dengan para Dzurriyah Kanjeng Nabi, kita harus memiliki sebuah prinsip:
“Kita harus selektif dalam memilih habaib yang akan kita jadikan tauladan dan panutan—yang kelak akan kita ceritakan sifat-sifat mulia dan akhlak luhurnya kepada anak-anak cucu kita—tapi dalam menghormati dan (usaha) mencintai mereka, kita tidak bisa memilah-milah, karena sekali lagi perintah untuk memuliakan dan menghormati mereka ada karena faktor genetik (keturunan) minimal jika kita sadar bahwa dalam mencintai kita masih terengah-engah dan kesulitan, maka kita tetap harus menjaga rasa ta’dhim dan hormat dengan tidak membenci, menghina, apalagi merendahkan.”
“Dan sekali lagi menghormati dan mencintai habaib bukan berarti membenarkan kesalahan atau mensahihkan kebatilan. Justru menasihati, meluruskan, dan mengingatkan mereka atas kesalahan yang mereka perbuat bisa jadi lebih utama sebagai wujud cinta dan takzim kita kepada Baginda Rasul. Tentunya dengan tetap menjaga akhlak, hormat dan adab, tanpa menghina, merendahkan apalagi melecehkan.“
Jadi tetaplah berusaha untuk menghormati dan mencintai semua Ahlul Bait tanpa terkecuali, tapi jangan terlalu mudah mengaku-ngaku. Lebih baik kita menyadari lalu mengakui suatu kelemahan daripada mengaku cinta tapi tanpa (kita sadari) itu hanyalah ungkapan palsu yang penuh dengan kemunafikan, bertolak belakang dengan realita dan kenyataan.
و كل يدعي وصلا بليلى * و ليلى لا تقر لهم بذاك
“Semua mengaku dekat dengan Laila tapi Laila sama sekali tidak membenarkan pengakuan mereka.” [DR]
CATATAN:
Tulisan ini sudah terbit pada 28 Mei 2020 di akun Facebook Muhammad Ismael Al Kholilie dengan judul “Cinta Habaib”.

One comment
[…] JUGAMengenal Tafsir Ulama Asia Tenggara, Indonesia Mendominasi dengan Ragam BahasanyaPerihal Mencintai dan Menghormati HabaibGus Mus, Ulama Sastra yang […]