Perjalanan Spiritual Imam al-Ghazali

perjalanan-spiritual-imam-al-ghazali

JAS HIJAU – Setelah mendalami ilmu Kalam, Filsafat dan al-Talim (Kebatinan), Imam al-Ghazali tidak menemukan kebenaran yang hakiki. Tertulis dalam kitab Al-Munqidz min al-Dhalal bahwa al-Ghazali mengalami keraguan yang memuncak (skeptis), sehingga ia harus menelan kepahitan yang dirasakannya. Pada masa itu ia tidak mampu untuk mengajar karena lidahnya tidak bisa untuk digerakkan, hatinya sedih, makan dan minum pun tidak bisa. Seorang dokter ahli di Baghdad menyebutkan kalau al-Ghazali memiliki penyakit bukan seperti biasanya, ini adalah penyakit hati atau pikiran yang berdampak pada fisik. Sarannya, obat yang tepat adalah membebaskan jiwa dari kesedihan.

Kurang lebih selama enam bulan al-Ghazali mengalami kondisi kritis, dalam batinnya tarik menarik antara syahwat dunia atau dorongan akhirat (Tujadibu al-Syahwat al-Dunya wa Dawa’iy al-Akhirah). Pada akhirnya ia pergi ke Syam untuk melakukan uzlah, menempuh perjalanan para sufi, dan di situlah al-Ghazali menemukan samudera kebenaran yang hakiki.

Sebelum uzlah, al-Ghazali membaca buku-buku para sufi terkemuka seperti bukunya Abu Thalib al-Maki, Harits al-Muhasibi, Junaid al-Baghdadi, Syabli, Abu Yazid al-Busthami, dan mungkin masih banyak buku penulis lain yang ia baca. Sejatinya al-Ghazali tidak sebatas membaca tetapi ia masuk samudera terdalam keilmuannya para sufi.

Dalam buku tafsirnya yang terkenal Jawahir Al-Qur’an, al-Ghazali sendiri mengakui kalau ia tidak suka berenang di pantai yang percikan airnya sedikit, aku kata al-Ghazali lebih senang berenang ke tengah samudera dan tenggelam ke dasarnya.

Setelah cukup jauh al-Ghazali membaca bukunya para sufi, ia menemukan cahaya kebenaran. “Aku telah menemukan pemahaman dan keistemawaan pada diri seorang sufi, dan aku tidak akan bisa mengikuti jalan mereka hanya dengan belajar dan mendengarkan saja tetapi aku harus menempuh dauq dan suluk.”

Ada kisah yang cukup menarik tentang al-Ghazali, menurut Kiai Ulil Abshar Abdalla. Sebelum menempuh jalur kesufian, Imam al-Ghazali ini adalah seorang ulama besar, pangkat dan jabatannya sangat tinggi (Nidhamu al-Mulk), harta bendanya melimpah ruah banyak, ia terkenal di mana-mana, kerabatnya banyak. Tetapi anehnya, al-Ghazali diberkahi semua itu, ia tidak lantas puas, lalu menikmati semua seperti manusia biasanya. Sebaliknya, justru al-Ghazali merasakan kegelisahan yang luar biasa.

Baca juga: Imam Ghazali dan Ilmu Kalam


Ajaibnya lagi, al-Ghazali dengan kondisi keraguan yang memuncak itu antara tinggal di Baghdad (menikmati jabatan dan hartanya) atau pergi ke Syam (menempuh spiritual para sufi). Ia (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi al-Syafi’i) memilih untuk pergi ke Syam. Harta benda ia bagikan kepada yang membutuhkan, jabatan ia tinggalkan, semua keterkenalannya dan koleganya ia tinggalkan. Al-Ghazali tenggelam dalam batinnya untuk menuju jalur kesufian.

Inilah al-Ghazali kata Kiai Ulil dengan beraneka ragam ceritanya, yang tidak banyak ulama sufi seperti al-Ghazali, yang mengalami dan mampu menceritakan kondisi intelektual dan spiritual yang dahsyat, mungkin hanya al-Ghazali!

Di usianya yang ke 39-40 tahunan, pada tahun 1099 M, al-Ghazali meninggalkan kota Baghdad pergi ke kota Syam. Ia al-Ghazali sehari-harinya menyibukan diri dengan uzlah, khalwat, riyadhah, mujahadah, membersihkan jiwa dan akhlak, mensucikan hati dengan zikir kepada Allah swt.

Kurang lebih selama dua tahun al-Ghazali menjalani halwat. Setiap siang waktunya dihabiskan di menara masjid Damaskus, lalu al-Ghazali pergi ke Baitu al-Maqdis, dan tersirat dalam benaknya untuk melaksanakan haji dan khalwat di masjid Nabawi. Di ujung dua tahun perjalanan khalwat-nya, ketika akan pergi ke Hijaz, al-Ghazali terpanggil untuk menemui keluarga dan anak-anaknya di daerah Thus, Khurasan, Persia (sekarang Iran), di situlah ia harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya (Muhimatu al-Iyal wa Dharuratu al-Maisyah).

Dengan keinginannya yang kuat, al-Ghazali meneruskan perjalanan khalwat-nya selama kurang lebih 10 tahun. Di masa inilah sang sufi meraih kelezatan khalwat yang tak terhitung hebatnya dan tak tertampung beban kenikmatannya. Al-Ghazali berkeyakinan bahwa para sufi itu adalah para pejalan khusus di jalan Allah swt, seluruh aktivitasnya baik yang zahir maupun batin diambil dari cahaya lampu kenabian, akhlaknya suci, perbuatannya sebaik-baik perbuatan dan perjalanannya adalah sebenar-benar perjalanan.

Ada analogi kesufian yang sangat menarik oleh al-Ghazali. Sufi itu seperti halnya berwudlu dan salat. Diawali dengan bersuci (thaharah) yaitu mensucikan hati dari semua selain Allah swt, dan kuncinya adalah takbiratu al-ihram yaitu hatinya tenggelam berzikir kepada Allah Ta’ala, diakhir perjalannya atau salamnya yaitu fana kepada Allah swt (Al-Fanau Fillah). Fana inilah yang mengantarkan para sufi ke gerbang kabahagiaan hakiki, al-Ghazali menjelaskan bahwa fana adalah ujung dari perjalan para pencari tetapi awal bagi para kekasih sejati.

Sebuah kejadian yang tidak banyak makhluk Allah atau manusia biasa mengalaminya, yaitu fana. Al-Ghazali mencoba dalam al-Munqidz menceritakan sedikit pengalaman fana para sufi dan dirinya. Kejadian awalnya adalah tersingkap tirai penutup (al-Mukasyafah) dan menyaksikan (al-Musyahadah) terhadap para malaikat dan arwah para Nabi, mendengarkan suara mereka dan memetik pengetahuan darinya. Setelah itu, para sufi akan mengalami derajat yang sangat mulia yang tidak mungkin dapat diceritakan dengan mudah ke layak umum, kalau pun seandainya diceritakan akan mengalami kesalahan.

Baca juga: Imam Ghazali dan llmu Pengetahuan


Menurut Kiai Ulil Abshar seandainya diceritakan tentang kefanaan para sufi maka akan mengubah tatanan yang sudah dibangun, akan terjadi keramaian di mana-mana, akan terjadi global transformations.

Untuk itu, bahasa yang terbatas tidak akan mampu menampung keluasan samudera pengalaman fananya para sufi. Seperti tertulis dalam syair Arab: “Terjadilah sesuatu yang telah terjadi karena aku tak bisa menceritakannya, Maka berperasangka baiklah dan janganlah kamu menanyakan tentang ceritanya.” [DR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *