Pondok Pesantren MALNU, Mengawal Nahdlatul Ulama dari Zaman NO sampai NU

pondok-pesantren-malnu-mengawal-nahdlatul-ulama-dari-zaman-no-sampai-nu

JAS HIJAU – Malam ini saya mendapat limpahan barakāt, nafahāt dari muassis (pendiri) Mathla’ul Anwar Linahdhatil Ulama (MALNU). Ya, saya meyakininya begitu, terasa sekali penerimaan yang penuh hikmat dari keluarga besar MALNU, dari masyayikh hingga para santri.

Alhamdulillah, berulang kalimat pujian bagi Allah ini saya lafazkan, gembira sekali rasanya bisa menjejakkan kaki di bumi pesantren Menes, Pandeglang. Setelah kebesaran pesantren ini hanya bisa saya baca dari banyak tulisan atau cerita dari para alumninya tentang Syekh Mas Abdurrahman, Syekh Arsyad Tegal, dan Mama Ma’ani Rusydi.

Muassis pesantren ini dengan kerendahan hati menisbatkan kata “Nahdhatul Ulama” pada nama pondok yang didirikan sejak 1916, 105 tahun silam, jelas lebih tua dari NU yang baru berusia 98 tahun dalam hitungan Hijriah.

Pada Tahun 1926, tahun kelahiran NU, nama Mathla’ul Anwar disempurnakan menjadi Mathla’ul Anwar Linahdlatil Ulama (MALNU) sesuai dengan kesepakatan para ulama murid Syekh Muhammad Nawawi al-Bantany disaat mendirikan Jam’iyyah Nahdlatil Ulama di bawah pimpinan Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari.

Maka dalam ceramah tadi saya mengatakan: “MALNU itu mengawal Nahdhatul Ulama dari zaman NO sampai NU.”

Ya saking legendarisnya. NU dulu kan disingkat NO alias Nahdhatul Oelama. Maka atas nama kemuliaan sejarah, wajib bagi santri MALNU menjadikan NU bukan hanya sebagai fikroh tapi juga harokah dalam kehidupannya. Kalau ada alumni MALNU yang menyatakan keluar dari NU jelas-jelas menyelisihi sejarah.

Bagaimana tidak, bahkan pondok pesantren ini pernah menjadi tuan rumah Muktamar NU ke-13 pada tahun 1938. Saya gak kebayang bagaimana jalur transportasi saat itu, seluruh ulama NU berkumpul di Menes, Banten, sebelum kemerdekaan Republik ini.

Berbahagialah santri MALNU, berbahagialah para alumninya, gigit erat dengan geraham kalian, koneksitas ruhiyah dengan muassis Nahdhatil Ulama adalah intan permata yang tak ternilai, ‘addhuu ‘alaihaa bi annawaahid.

Baca juga: Ibunda Nyai Endah Humaedah dan Kitab Dalail al-KHairat, Sebuah Obituari


Itu mengapa, dalam ceramah tadi, dengan meyakini keberkahan muassis Ma’had Mathla’ul Anwar yang terkoneksi dengan muassis NU saya mengatakan: Laa yadkhula hada al-ma’had illaa sa’iidun…

Tidak masuk ke pondok pesantren MALNU melainkan orang yang bahagia dan beruntung, jika tidak alim, Insyaallah menjadi kaya raya, atau bahkan keduanya, sudah alim kaya pula, persis saudara saya yang menjadi wasilah kedatangan saya ke pondok ini, Gus Saipul Bahri Romlie, kiai muda asal Bekasi, alumni MALNU, Azhari, dan Horang Kayah. Saya rasa statement ini tidak berlebihan, kalau tidak percaya tanya saja kiai kaya alumni Lirboyo, yang saat ini didapuk sebagai Rais Syuriah MWCNU Kwitang, Kiai Aminuddin Ende.

‘Alā kulli hāl, saya langitkan syukur telah mendapat limpahan berkah dari pesantren bersejarah ini. Alhamdulillah. [DR]


2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *