JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Kalibeber Wonosobo
Home » Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Kalibeber Wonosobo

JAS HIJAU – Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Kalibeber, Wonosobo tidak lepas dari Pangeran Diponegoro yang ditangkap atas tipu daya Belanda di Magelang termasuk para pengawalnya juga dilucuti. Di mana, penangkapan ini terjadi pada tahun 1830 Masehi. Di antara prajurit pengawalnya yang sempat meloloskan diri dari kejaran Belanda adalah Raden Hadiwijaya dengan nama samaran K.H. Muntaha bin Nida’ Muhammad. Pada tahun 1832, Kiai Muntaha tiba di desa Kalibeber (waktu itu sebagai ibu kota Kawedanan Garung) dan diterima oleh Mbah Glondong Jogomenggolo.
Kemudian, Kiai Muntaha mendirikan masjid dan padepokan santri di dusun Karangsari, Ngebrak, Kalibeber, di pinggir sungai Prupuk yang sekarang dijadikan makam keluarganya. Di tempat ini beliau mengajarkan agama Islam kepada anak-anak dan masyarakat sekitar. Ilmu pokok yang diajarkan adalah baca tulis al-Qur’an, tauhid dan fikih.
Dengan penuh ketekunan, keuletan dan kesabaran, secara berangsur-angsur masyaraat Kalibeber dan sekitarnya memeluk agama Islam, atas kesadaran mereka sendiri. Mereka meninggalkan adat-istiadat buruknya seperti berjudi, manyabung ayam, mabuk, dan lain-lain. Karena “Padepokan Santri” lama kelamaan tidak mampu menampung arus santri dan terkena banjir sungai Prupuk, maka kegiatan pesantren dipindahkan ke tempat yang sekarang dinamai Kauman, Kalibeber.
Sedangkan yang tinggal di padepokan baru yang tidak mau secara sukarela memeluk Islam, atas kemauan sendiri banyak yang meninggalakan kampung itu. Daerah selatan pesantren yang semula dihuni oleh etnis China akhirnya ditinggalkan penghuninya, dan nama Gang Pecinan sampai sekarang masih dilestarikan. Kiai Muntaha wafat pada tahun 1860, setelah 26 tahun memimpin pesantren.
Kemudian, mulai tahun 1860, K.H. Abdurrochim menerima estafet tugas mulia memimpin pesantren dari ayahnya. Selain ahli tasawuf, beliau adalah seorang yang ahli dalam bidang pertanian dan tidak suka berpolitik praktis. Sejak mudanya beliau telah dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan mensyiarkan Islam dan memimpin pesantren. Di bawah asuhannya, pesantren semakin maju. Satu hal yang sangat menarik darinya adalah keahliannya dalam menulis al-Qur’an.
Saat pergi berhaji, selama perjalanan, Kiai Abdurrochim menulis al-Qur’an sampai ketika tiba di kampung halaman penulisannya selesai 30 juz. Peristiwa bersejarah inilah yang nantinya menjadi sumber inspirasi bagi cucunya (K.H. Muntaha) untuk membuat al-Qur’an raksasa yang menjadi menjadi al-Qur’an terbesar di dunia.
Dalam memimpin pesantren, beliau masih melestarikan sistem dan materi pendidikan peninggalan ayahnya. Bertepatan pada tanggal 3 Syawal 1337 Hijriah atau 1916 Masehi, Kiai Abdurrochim dipanggil wafat dan dimakamkan di bekas komplek Pondok Karang Sari, Ngebrak. Sepeninggal beliau, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh puteranya, K.H. Asy’ari.
Sebagai wiridan rutin, Kiai Asy’ari selalu membawa kitab Dalail al-Khoirot untuk dibcanya ke mana pun pergi. Saat nyantri di Krapyak, beliau diajak oleh Kiai Munawwir untuk turut serta mnuntut ilmu ke Makkah selama lebih 17 tahun. Di Makkah, beliau rutin membaca Al-Qur’an, bahkan setiap hari bisa khatam. Selain itu, beliau juga pernah nyantri di Sumolangu dan Tremas. Saat meneruskan kepemimpinan ayahnya—pada masa itu—Indonesia telah melahirkan gerakan-gerakan nasional, baik yang berdasarkan agama maupun kebangsaan.
Pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, Indonesia sedang gigih-gigihnya menentang kembali penjajahan Belanda. Karenanya pesantren mengalami masa surut sebagian santrinya ikut dalam geriliya melawan penjajah. Pada Agresi Militer II, Belanda menyerang wilayah Wonosobo bahkan sampai ke desa Dero Ngisor, +5 km dari Kalibeber ke sebalah barat. Pesantren pun tak luput dari amukan Belanda, bahkan Al-qur’an tulisan tangan Kiai Abdurrochim pun ikut dibakar.
Sementara itu, Kiai Asy’ari yang sudah lanjut usia terpaksa mengungsi ke Dero Duwur +8 Km dari Kalibeber. Ternyata Belanda tidak berani meneruskan pengejaran ulama ini sampai ke tempat pengungsian. Pada itu, beliau sedang sakit keras yang kemudian wafat dalam pengungsian dan dimakamkan di sana pada tanggal 13 Dzulhijah 1371 Hijriah atau 1949 Masehi.
Selanjutnya, pesantren diasuh oleh Kiai Muntaha. Beliau adalah seorang ulama legendaries nan kharismatik yang dijuluki “Sang Maestro Al-Qur’an. Di bawah kepemimpinannya, Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah menumui kemajuan yang sangat pesat dengan pertambahan santri mencapai ribuan dan juga pertambahan lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Yayasan Al-Asy’ariyyah.
Selain membuat karya yang fenomal (Al-qur’an terbesar di Dunia—yang kini disimpan di bait Al-Qur’an Taman Mini Indonesia indah (TMII), beliau pernah menjadi anggota Konstituante dari Fraksi NU dan ikut pertempuran di Palagan Ambarawa sebagai Komandan BMT (Barisan Muslim Temanggung).
Sejak Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah dipimpin olehnya, maka berbagai langkah inovatif dan pengembangan mulai dilakukan di berbagai aspek. Sehingga jika sekarang kita melihat perkembangan pesantren ini, tidak lain tidak bukan, adalah karena jasa dan perjuangan Kiai Muntaha. Langkah pengembangan tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Pengembangan itu antara lain dalam masa-masa awalnya, pesantren yang lebih mnegkhususkan pada pengkajian dan hafalan Al-Qur’an masih tetap dipertahankan bahkan lebih dikembangkan lagi. Sehingga dalam waktu tidak lama jumlah santri pun bertambah banyak.
Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah atau Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an (PPTQ) Al-Asy’ariyyah beralamatkan di Jalan K.H. Asy’ari, Nomor 9, desa Kalibeber, kecamatan Mojotengah, kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. [DR]
