Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin Cilacap

pondok-pesantren-al-ihya-ulumaddin-cilacap

JAS HIJAU – Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin didirikan pada tahun 1344 Hijriah, tepatnya pada 24 November 1925 oleh K.H. Badawi Hanafi. Pesantren ini merupakan salah satu pesantren tertua di Cilacap. Kiai Badawi sendiri merupakan ulama kelahiran Purworejo, Jawa Tengah.

Kehadiran Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin dilandasi dengan semangat keagamaan untuk berdakwah serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang ditindas oleh penjajah Belanda.

Pada awalnya, Kiai Badawi memanfaatkan musala peninggalan ayahnya (Kiai Fadhil) untuk mengawali perintisan pesantren. Musala tersebut dikenal dengan nama ”Langgar Duwur”. Dengan penuh kesabaran dan ketekunan, bertempat di sebuah ruang yang sederhana dan bersahaja, Kiai Badawi memulai mengajar dan membimbing santrinya.

Anak-anak, orang tua dan masyarakat pun datang untuk mengaji kepadanya. Ada yang menetap sebagai santri, namun ada pula yang hanya sekadar minta keberkahan dan didoakan agar diberikan keselamatan. Kemudian datang pula santri dari berbagai daerah sehingga menambah ramai suasana. Di pesanren ini, banyak yang menghafal dan melafazkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Dengan bertambahnya santri dan kebutuhan akan sarana pendidikan yang memadai serta didukung semangat kebersamaan yang tinggi, pada 24 November 1925, didirikanlah sebuah pesantren di desa Kesugihan. Pesantren ini kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren Kesugihan. Kepemimpinan pesantren ini kemudian dilanjutkan oleh K.H. Ahmad Mustholih dan K.H. Chasbulloh Badawi, putera pendiri.

Pada tahun 1961, Pondok Pesantren Kesugihan berubah nama menjadi Pendidikan dan Pengajaran Agama Islam (PPAI). Selanjutnya, pada tahun 1983, kembali berubah nama menjadi Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin. Perubahan nama dilakukan oleh K.H. Mustholih Badawi, putera Kiai Badawi. Perubahan itu dilakukan untuk mengenang ayahnya yang sangat mengagumi pemikiran Imam Ghazali tentang pembaharuan Islam.

Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin secara ekonomis berada di wilayah masyarakat yang plural. Mereka terdiri dari nelayan, pedagang, petani, wiraswasta dan pegawai negeri. Dari segi geologis, lokasi pesantren dengan pusat kota. Kondisi demikian tentu banyak mempengaruhi proses perubahan sosial di dalam tubuh pesantren, meskipun mereka tetap berusaha menjaga dan memepertahankan tradisi keagamaan yang mempunyai nilai-nilai luhur. Keseimbangan itu bisa tercipta, karena masih adanya pengaruh kharismatik para kiai di wilayah Kesugihan yang dikenal dengan “Kota Santri”.

Kiai Mustholih Badawi wafat pada tahun 1998, pengasuh pesantren pun diteruskan oleh adiknya, K.H. Chasbullah Badawi dan puteranya; K.H. Imdadurrohmah serta keluarganya.

Dalam asuhan kedua kiai ini, pesantren mengalami perkembangan pesat sehingga lahir pula lembaga-lembaga pendidikan formal mulai TK hingga Madrasah Aliyah. Setelah Kiai Mustholih Badawi wafat pada 1999, kepemimpinan pesantren dipegang adiknya, Kiai Chasbullah Badawi.

Kegiatan pesantren semakin berkembang, santri pun berdatangan dari berbagai daerah termasuk luar Jawa, seperti; Lampung, Kalimantan, Palembang, Aceh, Medan dan lain sebgainya. Mereka datang karena ingin belajar sekaligus bisa mengembangkan ilmu agama. Saat ini jumlah santri yang menetap mencapai berkisar 1.500 orang,.

Kemudian, pada tahun 1988, didirikan sebuah perguruan tinggi bernama Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG). Selain itu, pesantren tetpa menggunakan sistem salafi model bandongan dan sorogan.

Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin beralamatkan di Jl. Kemerdekaan Timur, Nomor 16, desa Kesugihan Kidul, kecamatan Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah. [DR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *