JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Pondok Pesantren Babakan Cirebon
Home » Pondok Pesantren Babakan Cirebon

JAS HIJAU – Pondok Pesantren Babakan Cirebon didirikan sekitar tahun 1127 Hijriah atau 1705 Masehi oleh Kiai Jatira. Kiai Jatira adalah gelar dari K.H. Hasanuddin putera K.H. Abdul Latief dari desa Mijahan, Plumbon, Cirebon. Beliau merupakan bagian dari Keraton Cirebon.
Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin mulanya hanya satu, yakni; Pondok Gede Raudlatut Tholibin yang terletak di desa Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat. Pesantren ini merupakan pondok pesantren tertua.
Desa yang kering dengan lahan pertanian yang kurang subur menjadikan dirinya berpacu mengembangkan pondoknya sebagai tempat peristirahatan yang jauh dari keramaian terutama dari pengaruh kekuasaan dan penjajah Belanda.
Stagnasi kepemimpinan dalam pesantren terjadi ketika Kiai Jatira meninggal dunia, langkah kaderisasi di Pondok Pesantren Babakan mengakibatkan terputusnya kegiatan pesantren sampai sarana fisik pun tidak berbekas.
Sampai kemudian, K.H. Nawawi (menantu Kiai Jatira) membangun kembali Pondok Pesantren Babakan yang letaknya satu kilometer ke arah selatan dari tempat semula. Dalam mengasuh pesantren, beliau dibantu oleh K.H. Adzro’i. Setelah itu pesantren dipegang oleh K.H. Ismail, putera Kiai Adzro’i pada tahun 1225 Hijriah atau 1800 Masehi.
Mulai tahun 1916 Masehi, pesantren diasuh oleh K.H. Amien Sepuh bin K.H. Arsyad, yang masih merupakan keluarga dari garis keturunan Sunan Gunung Djati. Kiai Amien Sepuh sendiri pernah nyantri kepada Syakhona Kholil Bangkalan dan waktu itu ustaznya adalah Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari.
Pada masa kepengasuhan Kiai Amin Sepuh, Pondok Gede Babakan mencapai masa keemasan dan banyak andil dalam mencetak tokoh-tokoh agama yang handal. Hampir semua kiai sepuh di wilayah 3 Cirebon—bahkan menyebar ke pelosok Indonesia—adalah muridnya.
Kiai Amien Sepuh menekuni Pondok Pesantren Babakan sebagai tempat pengabdiannya terhadap masyarakat Islam. Setelah 25 tahun mengembangkan pesantren, pada tahun 1940-an, beliau turut serta berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Bahkan, dalam perang 10 November di Surabaya, para kiai khos termasuk K.H. Hasyim Asy’ari menunggu kabar dari Kiai Amin sepuh sebelum mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad. Kiai Amin Sepuh bersama beberapa anaknya, para kiai Cirebon (wilayah 3 Cirebon dan Jawa Barat) plus ustaz, santri dan masyarakat benar-benar berjuang ke Surabaya, Jawa Timur. Bahkan kabarnya yang menembak Jendral Mallaby dari Inggris yang diboncengi Belanda (NICA), adalah anak buah Kiai Amin Sepuh yang bernama Kiai Sholeh dan wafat di sana.
Pasca Revolusi Kemerdekaan, beliau dibantu adik iparnya sekaligus muridnya (K.H. Sanusi) terus mengembangkan pesantren dengan berbagai aral melintang. Bahkan yang dahsyat adalah ketika Agresi Belanda II, tepatnya tahun 1952, pesantren diserang Belanda dikarenakan Kiai Amin sepuh sebagai sesepuh Cirebon merupakan pejuang yang menentang penjajah.
Pondok dibakar dan dikepung. Para santri pergi dan para pengasuh beserta keluarga mengungsi. Dua tahun kemudian, tahun 1954, Kiai Sanusi yang masih salah satu murid Kiai Amin Sepuh adalah orang yang pertama kali datang dari pengungsiannya.
Sisa-sisa kitab suci berantakan, termasuk karya-karya Kiai Amin Sepuh pun habis dibakar, bangunan hancur dan nampak angker. Semua itu secara bertahap dibereskan lagi. Tahun 1955, Kiai Amin Sepuh kembali ke Babakan, kemudian para santri banyak berdatangan dari berbagai pelosok.
Kiai Amin sepuh yang menjadi pengasuh Pondok Gede kembali memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para santrinya yang makin lama makin meluap. Pondok Pesantren Raudhotut Tolhibin tidak dapat menampung para santri. Hingga santrinya dititipkan di rumah-rumah ustaznya.
Hingga kelak anak cucunya membentuk dan mengembangkan pesantren-pesantren seperti sekarang ini. Sehingga pesantren yang awalnya hanya satu (Raudlotut Tholibin) sekarang menjadi banyak.
Pada tahun 2012, terdapat sekitar 40 pesantren di lingkungan Pondok Pesantren Babakan. Kiai Amien Sepuh wafat pada tahun 1972 dan Kiai Sanusi wafat pada tahun 1974. Kepengurusan pun dilanjutkan oleh K.H. Fathoni Amin sampai tahun 1986 Masehi.
Setelah wafatnya Kiai Fathoni Amin, kepengurusan pesantren dilanjutkan oleh K.H. Bisri Amin (wafat tahun 2000) beserta K.H. Fuad Amin (wafat tahun 1997) dan K.H. Abdullah Amin (wafat tahun 1999) serta K.H. Amrin Hanan (wafat tahun 2004) dan K.H. Azhari Amin (wafat tahun 2008) serta K.H. Zuhri Afif Amin (wafat pada tahun 2010).
Setelah wafatnya Kiai Zuhri, kepengurusan dilanjukan oleh cucu-cucu Kiai Amin Sepuh dan ulama serta masyarakat yang berkompeten untuk kemajuan pesantren. Bahkan bukan pendidikan agama saja yang mereka terapkan, pendidikan umum pun mereka terapkan terhadap para santrinya. Dengan harapan, para santrinya dapat memenuhi semua kewajibannya, baik kewajiban dunia maupun akhirat, serta menyelaraskannya beriringan dan seimbang. [DR]
