Pondok Pesantren Kedunglo Kediri

pondok-pesantren-kedunglo-kediri

JAS HIJAU – Pondok Pesantren Kedunglo Kediri didirkan oleh K.H. Muhammad Ma’roef. Pada akhir tahun 1800-an hingga tahun 1900 banyak orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang Islam yaitu dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan.

Salah seorang yang menyadari perlunya perubahan-perubahan tersebut adalah K.H. Muhammad Ma’roef. Lalu ia mendirikan sebuah pesantren yang bernama Kedunglo yang terletak di Desa Bandar Lor, Mojoroto, Kediri. K.H. Muhammad Ma’roef mendirikan pesantren ini karena melihat semakin berkembangnya masyarakat pada masa penjajahan kolonialisme yang pembinaannya telah didahului oleh ulama-ulama besar di zamannya.

Di Kota Kediri, pada awalnya sudah mengenal agama secara luas, termasuk agama Islam. Namun pada penerapan ajarannya perlu ditata lagi, karena mereka belum sepenuhnya menerapkan syariat Islam, akan tetapi pada praktiknya masih dicampur dengan adat istiadat yang bertentangan dengan syariat Islam.

K.H. Muhammad Ma’roef adalah putera dari Kiai Abdul Madjid, pendiri Pondok Pesantren Klampok Arum, Desa Badal, Ngadiluwih, Kediri. Sebagai penerus dari perjuangan ayahnya, ia lantas ingin mendirikan sebuah pesantren, sebagai sarana untuk mewujudkan masyarakat yang relijius, masyarakat yang berbudi pekerti dan berakhlak.

Sepulang dari belajar di Makkah al-Mukarramah selama lebih 7 tahun, K.H. Muhammad Ma’roef tampak semakin alim dan waskita. Oleh karena itu, K.H. Muhammad Ma’roef disuruh oleh mertuanya, Kiai Soleh Banjarmlati, Mojoroto untuk mencari tanah yang akan dijadikan pesantren.

K.H. Mohammad Ma’roef tidak menyia-nyiakan hal tersebut, dia lantas tirakat sambil mengamalkan Shalawat Nariyah sebanyak 4.444 kali per hari. Akhirnya dia mendapat petunjuk atau hidayah dari Allah swt bahwa tanah yang cocok untuk dijadikan pesantren adalah tanah yang berada di sebelah barat sungai Brantas, di antara dua jembatan.

Petunjuk yang diperoleh K.H. Muhammad Ma’roef lalu dihaturkan kepada mertuanya, akan tetapi mertuanya, Kiai Soleh, dan beberapa orang kerabat dan teman mengecam atau tidak setuju dengan tanah pilihan K.H. Mohammad Ma’roef. Hal ini disebabkan karena tanah tersebut dikenal sebagai Bumi Supit Urang, yaitu tanah yang berwujud rawa atau perairan semacam danau dan tidak berupa daratan.

Namun K.H. Mohammad Ma’roef tetap pada pendiriannya memilih tanah tersebut sambil mengemukakan beberapa alasan. Alasan tersebut adalah bahwa K.H. Muhammad Ma’roef yakin bahwa pesantren yang akan didirikannya suatu saat nanti akan memiliki keistimewaan. Yang pertama, dekat dengan pasar (pasar Bandar, utara lokasi pondok), kedua, dekat dengan sungai, ketiga, dekat dengan pusat kota. Akhirnya alasan tersebut diterima dan jadilah tanah tersebut dibeli.

Setelah tanah dibeli, pada 1800-an K.H. Mohammad Ma’roef mendirikan sebuah pesantren. Pesantren tersebut kemudian diberi nama Kedunglo. Nama ini diambil dari kondisi pesantren tersebut dibangun, yaitu pesantren didirikan di area “Kedung” (semacam danau) dan di sana tumbuh pohon “Lo” yang besar.

Karena di lokasi pesantren yang pertama sering terjadi banjir sehingga menggenangi sekitar lokasi pesantren, maka pada tahun 1901 lokasi Pondok Pesantren Kedunglo dipindahkan ke selatan, sekitar 100 m dari lokasi semula. Maka dibangunlah masjid dan pondokan untuk santri, yang mana masjid dan pondokan yang dibangun K.H. Muhammad Ma’roef sampai sekarang masih berdiri kokoh dan belum diganti (pugar).

Setelah K.H. Mohammad Ma’roef tinggal di Pondok Pesantren Kedunglo, maka berduyun-duyunlah para santri yang ingin menimba ilmu kepadanya. Namun karena dia kurang suka memiliki banyak santri, maka sebagian santrinya diserahkan kepada K.H. Abdul Karim , pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, yang saat itu santrinya masih beberapa orang saja.

Ketika ditanya mengapa K.H. Mohammad Ma’roef tidak suka mempunyai banyak santri? Dia hanya menjawab: “Aku tidak mau memelihara banyak santri. Di samping repot kalau punya banyak santri, pondok ini jadi kotor. Karena itu saya mohon kepada Allah agar santri saya tidak lebih dari empat puluh orang saja. Kalau lebih dari empat puluh nanti ada yang nakal akhirnya pondok ini jadi rusuh.” Memang benar, santri K.H. Mohammad Ma’roef tidak pernah lebih dari empat puluh orang. Kalau lebih pasti ada yang pulang.

Selain sebagai pengasuh pesantren, K.H. Mohammad Ma’roef juga sebagai guru tunggal, tidak ada guru selain dia. Karena santri-santrinya ditangani sendiri, maka tak heran bila sepulang dari nyantri di Pondok Pesantren Kedunglo para santrinya menjadi orang yang alim dan ampuh. Di antara santrinya yang menjadi orang besar adalah:

  1. K.H. Nahrowi Dalhar Watucongol, Magelang, Jawa Tengah.
  2. K.H. Abdul Karim Lirboyo, Kediri, Jawa Timur (konon meski sudah memiliki banyak santri, K.H. Abdul Karim masih mengaji ke Kedunglo).
  3. K.H. Musyafa’ Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.
  4. K.H. Dimyathi Tremas, Pacitan, Jawa Timur.
  5. K.H. Mustofa Bisri Leteh, Rembang, Jawa Tengah.
  6. K.H. Mubasyir Mundir Kediri, Jawa Timur.
  7. K.H. Marzuki Solo, dan para kiai yang ada di Kediri (pada masanya) pada umumnya pernah belajar pada K.H. Mohammad Ma’roef.

Setelah lebih 56 tahun memimpin Pondok Pesantren Kedunglo, pada hari Rabu Wage, ba’da Maghrib, bulan Muharram 1375/1955, K.H. Muhammad Ma’roef berpulang ke Rahmatullah, pucuk pimpinan Pondok Pesantren Kedunglo digantikan kepada putera beliau yang bernama K.H. Abdul Madjid Ma’roef.

Pada masa awal kepemimpinan KH. Abdul Madjid Ma’roef keadaan pondok masih seperti pada masa KH. Mohammad Ma’roef, yaitu belum begitu banyak santri yang mondok. Bahkan madrasah secara formalpun belum terbentuk. Baru sekitar tahun 1970-an madrasah pondok baru berdiri.

Dasar dan tujuan Pondok Pesantren Kedunglo sebagai lembaga pendidikan Islam sama seperti pesantren-pesantren lain, yaitu melaksanakan tugas penyiaran dan pembinaan ajaran Islam serta mengembangkannya serta mewarnai masyarakat dengan warna yang Islami. Artinya bahwa pesantren membina akhlak, tingkah laku dan perbuatan yang dilaksanakan masyarakat berdasarkan pada ajaran Islam sehingga terciptalah masyarakat yang yang Islami.

Pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan umat dan pengembangan agama Islam. Dengan memperhatikan masyarakat Indonesia dewasa ini, maka santri Pondok Pesantren Kedunglo diharapkan dapat dan mampu:

  1. Memiliki wawasan keagamaan yang luas serta pandangan yang kritis terhadap jalannya pembangunan baik mental maupun spiritual.
  2. Mampu mengkontekstualisasikan ajaran Islam kepada umat masyarakat.
  3. Menciptakaan struktur kemasyarakatan yang lebih profesional dan madani melalui ajaran Islam.

Konsep madani bagi orang Arab mengacu pada hal-hal yang ideal, yakni mengacu pada kehidupan Rasul pada periode Madinah dengan pesona keberhasilan Rasul membangun dan membina masyarakat yang plural, demokratis, damai, saling menghormati dengan landasan hukum hak dan tanggung jawab bersama. Kata “madani” juga ideal dalam kontek sosiologis dunia Arab, di mana kota selalu menjanjikan peradaban yang lebih Makmur.

Tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di atas akan menjadi kepribadian yang khas dari Pondok Pesantren Kedunglo. Hal ini bisa dirasakan dari usaha pembinaan santri dalam pembiasaan dan pengertian yang nantinya akan menghasilkan kader-kader yang militan untuk ikut serta membangun umat masyarakat secara kaffah.

Pondok Pesantren Kedunglo beralamatkan di Jl. K.H. Wachid Hasyim, Gg. Pondok Kedunglo, Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur. [DR]


One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *