JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Pondok Pesantren Langitan Tuban
Home » Pondok Pesantren Langitan Tuban

JAS HIJAU – Pondok Pesantren Langitan Tuban adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Berdirinya lembaga ini jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1852 di Dusun Mandungan, Desa Widang, Kecamatan Widang, Tuban, Jawa Timur. Komplek Pondok Pesantren Langitan Tuban terletak di samping Bengawan Solo dan berada di atas areal tanah seluas kurang lebih 7 hektare.
Lembaga pendidikan ini dahulunya adalah hanya sebuah surau kecil, tempat pendiri Pondok Pesantren Langitan Tuban K.H. Muhammad Nur mengajarkan ilmunya dan menggembleng keluarga dan tetangga dekat untuk meneruskan perjuangan dalam mengusir kompeni (penjajah) dari tanah Jawa.
Kiai Muhammad Nur mengasuh pondok ini kira-kira selama 18 tahun (1852-1870 M), kepengasuhan pondok pesantren selanjutnya dipegang oleh puteranya, K.H. Ahmad Sholeh. Setelah kira-kira 32 tahun mengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban (1870-1902 M), akhirnya beliau wafat. Kepengasuhan selanjutnya diteruskan oleh putera menantu, K.H. Muhammad Khozin. Ia sendiri mengasuh pondok ini selama 19 tahun (1902-1921 M).
Setelah beliau wafat, matarantai kepengasuhan dilanjutkan oleh menantunya, K.H. Abdul Hadi Zahid selama kurang lebih 50 tahun (1921-1971 M), dan seterusnya kepengasuhan dipercayakan kepada adik kandungnya, yaitu K.H. Ahmad Marzuqi Zahid yang mengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban selama 29 tahun (1971-2000 M) dan keponakan beliau, K.H. Abdullah Faqih.
Perjalanan pesantren dari periode ke periode selanjutnya senantiasa memperlihatkan peningkatan yang dinamis dan signifikan, namun perkembangannya terjadi secara gradual dan kondisional. Bermula dari masa Kiai Muhammad Nur yang merupakan sebuah fase perintisan, lalu diteruskan oleh Kiai Ahmad Sholeh dan Kiai Muhammad Khozin yang dapat dikategorikan periode perkembangan. Kemudian, periode pembaharuan pada kepengasuhan Kiai Abdul Hadi Zahid, Kiai Ahmad Marzuqi Zahid dan Kiai Abdullah Faqih.
Dalam rentang masa satu setengah abad pesantren ini telah menunjukkan kiprah dan peran yang luar biasa, berawal dari hanya sebuah surau kecil berkembang menjadi pesantren yang representatif dan populer di mata masyarakat luas, baik dalam negeri maupun manca negara.
Tak sedikit tokoh besar yang juga mengasuh pesantren-pesantren besar mengenyam pendidikannya di pesantren ini. Untuk menyebut beberapa contoh, di antaranya; ada Syaikhona Kholil Bangkalan (Maha Guru Ulama Indonesia), Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan Nahdlatul Ulama) dan K.H. Syamsul Arifin (ayahanda dari K.H. As’ad Syamsul Arifin).
Dengan berpegang teguh pada kaidah al-muhafazatu ‘ala al-qadm al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah (memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif), maka Pondok Pesantren Langitan Tuban dalam perjalanannya senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dan kontekstualisasi dalam merekonstruksi bangunan-bangunan sosio kultural, khususnya dalam hal pendidikan dan manajemen.
Usaha-usaha ke arah pembaharuan dan modernisasi memang sebuah konsekwensi dari sebuah dunia yang modern. Namun, Pondok Pesantren Langitan Tuban dalam hal ini mempunyai batasan-batasan yang konkret, pembaharuan dan modernisasi tidak boleh mengubah atau mereduksi orientasi dan idealisme pesantren.
Sehingga dengan demikian, Pondok Pesantren Langitan Tuban tidak sampai terombang-ambing oleh derasnya arus globalisasi, tetapi justru sebaliknya dapat menempatkan diri dalam posisi yang strategis, dan bahkan kadang-kadang dianggap sebagai alternatif.
Adapun nama Langitan itu merupakan perubahan dari kata “Plangitan” dari bahasa Jawa, kombinasi dari kata “plang” yang berarti “papan nama” dan kata “Wetan” yang berarti “Timur”. Memang, di sekitar daerah Widang dahulu, tatkala Pondok Pesantren Langitan ini didirikan, pernah berdiri dua buah “plang” atau papan nama, masing-masing terletak di Timur dan Barat.
Kemudian di dekat “plang” sebelah “Wetan” dibangunlah sebuah lembaga pendidikan ini, yang kelak—karena kebiasaan para pengunjung—menjadikan “Plang Wetan” sebagai tanda untuk memudahkan orang-orang mendata dan mengunjungi pondok pesantren.
Maka secara alamiah pondok pesantren ini diberi nama “Plangitan” dan selanjutnya populer menjadi “Langitan”. Kebenaran kata “Plangitan” tersebut dikuatkan oleh sebuah cap bertuliskan kata “Plangitan” dalam huruf Arab dan berbahasa Melayu sebagaimana tertulis dalam kitab Fath al-Mu’in yang selesai ditulis tangan oleh K.H. Ahmad Sholeh pada hari Selasa, 29 Rabiul Akhir 1297 H. [DR]
