JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Pondok Pesantren Miftahul Ulum Banyuputih Kidul Lumajang
Home » Pondok Pesantren Miftahul Ulum Banyuputih Kidul Lumajang

JAS HIJAU – Pondok Pesantren Miftahul Ulum didirkan pada tahun 1940 oleh K.H. Sirajuddin bin Nasruddin bin Itsbat, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ululm Bettet, Pamekasan, Madura. Pesantren ini bermula dari sebuah majelis taklim yang dirintis oleh Kiai Sirajuddin.
Majelis taklim yang dirintisnya itu berawal dari keprihatinan Kiai Zainal Abidin Harral, alumni Pondok Pesantren Miftahul Ulum Bettet, saat menyaksikan kondisi tatanan sosial dan budaya masyarakart Banyuputih Kidul yang sangat jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Budaya amoral, komunisme, tindak criminal serta berbagai tindak kejahatan telah menjadi warna kelabu di des itu.
Kiai Harral adalah seorang tuna netra dan terkenal kaya raya dengan sawah ladangnya yang sangat luas, namun sangat dermawan dan zuhud. Melihat kondisi masyarakat, Kiai Harral mempunyai keinginan untuk mendirikan majelis taklim dalam rangka membina moral dan akhlak masyarakat sekitar. Untuk mewujudkannya, Kiai Harral kemudian meminta pendapat, nasihat dan bantuan kepada gurunya di Pamekasan, Kiai Sirajuddin.
Pada mulanya, Kiai Harral tidak langsung mengutarakan akan keinginannya mendirikan majelis taklim. Beliau hanya mengutarakan keinginannya memungut salah satu putera Kiai Sirajuddin. Namun, Kiai Sirajuddin tidak langsung mengiyakan permintaannya. Bagi Kiai Sirajuddin, anak bukan untuk dibagi-bagikan.
Merasa tersentuh akan pengakuan Kiai Harral yang tidak memiliki keturunan, Kiai Sirajuddin akhirnya melepaskan Kiai Zuhri untuk dijadikan anak angkat yang pada waktu itu masih nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Merasa bahagia dengan semua itu, Kiai Harral sangat menyambut bahagia dan bersedia untuk mengurus semua kebutuhan Kiai Zuhri mulai pada waktu nyantri hingga beliau melangsungkan resepsi. Menurut beberapa catatan, hal ini terjadi sekitar tahun 1932 Masehi atau 13 tahun sebelum Indonesia merdeka
Sejak itulah, Kiai Sirajuddin memulai membuka babak baru di desa Banyuputih Kidul. Konon tanah yang sekarang menjadi lokasi pesantren sekarang ini, dipenuhi jin-jin dan roh-roh jahat. Bahkan, lokasi yang dijadikan pesantren ini berada di lingkungan warga brutal tak bermoral. Masih suka dengan hal-hal jelek. Desa itu marak dengan pertengkaran dengan clurit (Madura; carok). Salah ucap, nyawa taruhannya.
Beliau memulai kegiatan dakwahnya dengan melakukan pendekatan-pendekatan dengan beberapa tokoh dan masyarakat sekitar. Dalam menjalankan dakwahnya, beliau dengan penuh keikhlasan, ketawadhuan dan tanpa kenal lelah, rela mendatangi satu rumah ke rumah yang lain untuk menanamkan nilai-nilai tauhid dan ajaran Islam, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika memulai dakwah sirran-nya kepada keluarga, sahabat dan orang-orang dekatnya.
Sekitar tahun 1940, majelis taklim baru bisa didirikan setelah melakukan akulturasi dengan masyarakat setempat. Majelis taklim ini diawali dengan pemberian pemahaman ajaran Islam dan amalan praktis sehari-hari. Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1944, Kiai Sirajuddin dan Kiai Haral serta dibantu oleh masyarakat sekitar berhasil membangun sebuah masjid sebagai sarana ibadah.
Hari demi hari fungsi masjid pun kian berkembang, bukan sekadar tempat ibadah tapi juga sebagai sarana pendidikan, tempat memberi mauidzah hasanah dan pengajian. Masyarakat pun mulai banyak berdatangan untuk belajar ilmu agama. Untuk itulah, beberapa tahun kemudian pembangunan pun dilanjutkan dengan pendirian madrasah diniyah sebagai lembaga pendidikan agama.
Berkat perjuangan Kiai Haral dan Kiai Sirajuddin ini, masyarakat kian hari semakin banyak yang bersimpati. Tak hanya masyarakat sekitar, dari wilayah luar Lumajang pun mulai berdatangan untuk menuntut ilmu agama di Banyuputih, sehingga santri yang datang dari jauh pun ingin menetap. Konon, santri angkatan pertama yang menetap saat itu hanya 4 orang.
Seiring dengan bertambahnya waktu, santri pun kian bertambah banyak sehingga memerlukan perhatian penuh dan membutuhkan tenaga pengajar yang banyak pula. Sedang Kiai Sirajuddin tidak bisa menetap di Banyuputih karena masih mengurus pesantrenya di Pamekasan. Untuk itu, Kiai Sirajuddin mengutus santri seniornya sebagai guru tugas, Kiai Sufyan Miftahul Arifin.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Kiai Sufyan diganti dengan guru tugas berikutnya yang juga santri senior, Kiai Sonhaji. Sedang Kiai Sufyan sendiri menetap di desa Seletreng, Situbondo dan merintis pesantren, Pondok Pesantren Sumber Bunga. Selain sebagai guru tugas, kedua kiai itu ditugaskan menjadi pengasuh sementara karan Kiai Zuhri yang dipersiapkan masih nyantri di Sidogiri.
Singkat cerita, pada tahun 1957, setelah Kiai Zuhri menyelesaikan studinya di Sidogiri dan kembali ke Banyuputih, maka Pondok Pesantren Miftahul Ulum Banyuputih Kidul secara resmi didirikan dengan ditandai piagam resmi dari pemerintah provinsi Jawa Timur.
Hari demi hari, nama Pondok Pesantren Miftahul Ulum semakin terdengar di masyarakat luas. Banyak masyarakat tertarik untuk memondokkan anaknya. Sehingga jumlah santri pun kian bertambah dan meningkat.
Saat itu, pembelajaran kitab kuning pun masih dilaksanakan secara tradisional menggunakan metode wetonan dan bandongan. Namun dengan seiring dengan berjalannya waktu dan dengan semakin meningkatnya jumlah santri yang bertambah pesat, pengurus pesantren melihat bahwa metode pembelajaran wetonan dan bandongan dengan jumlah santri yang sangat banyak sudah mulai kurang efektif. Berangkat dari kondisi di atas, pada tahun 1976, mulailah dirintis pendirian Madrasah Diniyah yang juga diberi nama Miftahul Ulum.
Saat itu madrasah diniyah dikelola dengan manajemen sederhana dan menggunakan kurikulum lokal yang disusun oleh pihak pengurus pesantren. Pada awal berdirinya Madrasah Diniyah, Kiai Zuhri sebagai pemegang kebijakan tertinggi di pesantren menunjuk meantunya, Kiai Ba’its Su’aidi sebagai kepala Madrasah Diniyah pertama.
Tak lama setelah Kiai Sonhaji menyerahkan kepemimpinan pesantren, atas saran Kiai Zuhri, beliau pun merintis pesantren yang tak jauh dari Pondok Pesantren Miftahul Ulum di desa Banyuputih Lor yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatul Jadid.
Dalam beberapa tahun kemudian, di bawah asuhan Kiai Zuhri, pesantren semakin berkembang. Jumlah santri pun kia hari semakin meningkat pesat dan santri dari berbagai daerah luar wilayah Lumajang pun mulai berdatangan, sehingga membutuhkan penambahan asrama santri yang semakin banyak pula.
Pembangunan asrama santri pun terus dilakukan dan dikembangkan. Namun demikian, sarana dan bangunan fisik pondok santri saat itu masih sangat sederhana dan jauh dari kemewahan. Asrama santri hanya berupa gubuk bambu yang dibangun oleh santri sendiri.
Kiai Zuhri wafat pada bulan Sya’ban, tepatnya malam Rabu tahun 1982. Beliau mengasuh pesantren selama 25 tahun. Pesantren kemudian dilanjutkan oleh menantunya, K.H. M. Thoyyib Rafi’i dari Pamekasan. Kepemimpinan Kiai Thoyyib ini berlangsung selama 8 tahun, dari tahun 1982 sampai dengan 1990 Masehi.
Pada periode kepemimpinan Kiai Thoyyib inilah pesantren mulai mendirikan ragam pendidikan formal. Pembangunan-pembangunan pun mulai dilakukan. Bahkan, saat ini pesantren sudah memiliki jenjang pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pesantren ini berlamatkan di Banyuputih Kidul, Jatiroto, Lumajang. [DR]
