JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Pondok Pesantren Ploso Kediri
Home » Pondok Pesantren Ploso Kediri

JAS HIJAU – Pondok Pesantren Ploso Kediri atau Pondok Pesantren Al Falah merupakan pesantren salaf yang berada di kota Kediri. Pesantren Al Falah didirikan oleh K.H. Djazuli Utsman pada tahun 1925 Masehi.
Pada pertengahan tahun 1924 Masehi, dengan satu masjid dan seorang santri bernama Muhammad Qomar, yang tidak lain adalah kakak iparnya sendiri, Kiai Jazuli mulai merintis pesantren. Beliau meneruskan pengajian untuk anak-anak desa sekitar Ploso yang sudah dimulainya dengan pulang pergi sejak masih berada di Karangkates.
Jumlah murid pertama yang ikut mengaji ±12 orang. Di penghujung tahun 1924 itu seorang santri Pondok Pesantren Tremas bernama Abdullah Hisyam asal Kemayan datang bertamu kepadanya sambil membawa salam dan surat-surat dari sahabat lamanya di Tremas. Pada akhirnya, Hisyam melanjutkan belajarnya kepada Kiai Jazuli yang memang sudah dikaguminya semenjak di Tremas.
Berbekal tekad yang kuat, pada tanggal 1 Januari 1925, Kiai Jazuli mengajukan surat permohonan pemantauan kepada pemerintah Belanda untuk lembaga baru yang kemudian dikenal dengan nama Al-Falah. Karena Madrasah tersebut belum punya gedung maka tempat belajarnya menggunakan serambi masjid. Inilah awal keberangkatan Kiai Jazuli menjadi seorang kiai di usia yang masih muda, 25 tahun.
Saat suasana sudah terasa ramai dan masjid pun terasa sesak, Kiai Djazuli merencanakan pembangunan sebuah gedung Madrasah. Beliau mengayuh sepeda berpuluh-puluh kilometer sampai Kediri, Tulungagung, Trenggalek dan terkadang ke Blitar, guna mencari donatur pembangunan.
Dipimpin oleh seorang tukang bangunan bernama Hasan Hadi, seluruh santri bahu membahu bergotong royong, begitu juga Kiai dan Ibu Nyai. Sampai pembangunan sudah layak untuk ditempati, tinggalah semen untuk lantai yang tak terjangkau oleh dana. Tak ada rotan akar pun jadi, maka dipakailah batu bata merah untuk lantainya, sehingga Madrasah yang berlokasi di depan masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal dengan sebutan Madrasah Abang (Madrasah Merah).
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1927, konon K.H. Hasyim Asy’ari berkenan hadir pada acara selametan pembangunan madrasah tersebut, suatu peresmian yang sangat sederhana. Pada tahun berikutnya (1928), dibangunlah asrama pertama yang diberi nama pondok D (Darussalam) yang disusul pada tahun berikutnya dengan pembangunan Pondok C (Cahaya) yang semula diperuntukkan sebagai tempat mujahadah bagi para santri.
Baca juga: Profil dan Sejarah Singkat Pondok Pesantren Queen Al-Falah Ploso, Mojo, Kediri
Pada tahun 1939, dibangunlah komplek A (Andayani), sebuah asrama berlantai dua dilengkapi sebuah musala di depannya. Pada akhir masa penjajahan Belanda, sekitar tahun 1941, kantor kenaiban diputuskan untuk pindah ke Mojo (6 km utara Ploso). Tentu saja perpindahan tersebut meninggalkan kekayaan yang berharga, di antaranya sebuah masjid, pendopo kenaiban, rumah-rumah dan tanah pekarangan yang cukup luas. Untuk dapat memiliki kekayaan tersebut pihak pesantren diminta untuk menyediakan tanah pengganti di Mojo. Untuk itu, pesantren mengeluarkan biaya 71 gulden Belanda.
Pada masa penjajahan Jepang, Kiai Djazuli diangkat sebagai Sancok (Camat), kemudian dipindah tugaskan ke Pare sebagai ketua parlemen (Ketua DPRD Tk. II). Bahkan, nama beliau sempat dimasukkan dalam daftar KAMIKAZE (Pasukan Berani Mati).
Sa’idu Siroj, seorang santri sekaligus lurah pondok pertama merasa tak tega melihat perlakuan Jepang yang biadab ini. Pemuda Tulungagung ini tampil dengan berani untuk mewakili kiai, gurunya yang diagungkan. Hingga pada akhirnya, pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat dan angkat kaki dari Indonesia. Alhamdulillah, selamatlah Kiai Djazuli dari KAMIKAZE.
Kegiatan pondok yang sempat terganggu di zaman Jepang kini telah berakhir, penyempurnaan-penyempurnaan di bidang kurikulum dapat terus dilakukan. Gaung kemajuan Al-Falah semakin menyebar ke kalangan yang lebih luas sehingga jumlah santri melonjak menjadi ±400 orang dalam waktu sekitar dua tahun. Tahun 1948, Belanda melancarkan agresi militer. Para santri pun akhirnya ikut berjuang mempertahankan agama dan negara.
Bahkan, dua orang dari santri Ploso gugur di medan juang, sebagai syuhada bunga bangsa. Selama dua tahun pula Pondok Pesantren Ploso sepi tanpa santri dan kosong dari pengajian Yang tersisa hanya 5 orang santri yang sudah bertekad hidup dan mati di pondok. Mereka itu adalah; Zainuddin dari Kebumen, Mas’uddin dari Yogyakarta, Kholil dari Solo, Abd. Kholiq Dhofir dari Kediri dan Romli dari Trenggalek.
Tahun 1950 situasi kembali aman, dan kegiatan pondok diaktifkan kembali. Zainuddin Kebumen diangkat sebagai lurah pondok yang bertugas mengelola jalannya roda pendidikan setelah masa-masa agresi. Sedangkan 5 orang temannya yang di masa agresi tetap tinggal di pondok diangkat sebagai pengurus-pengurus lain.
Berangsur-angsur para santri kembali ke pondok setelah mengalami libur panjang selama 2 tahun. Jumlah santri 400 orang sebelum agresi sudah datang, bahkan terus bertambah dengan datangnya santri-santri baru secara berangsur-angsur. Kepadatan warga mulai terasa lagi di Al-Falah sehingga perluasan harus segera diwujudkan.
Maka pada tahun 1952, Kiai Djazuli beserta segenap para santrinya membangun sebuah asrama yang diberi nama komplek B (Al Badar). Memasuki usianya yang ke-25 di tahun 1950, sejalan dengan berkembangnya fasilitas-fasilitas gedung, peralatan dan sebagainya, maka perbaikan dan penyempurnaan juga ditingkatkan di bidang sistem pendidikan seperti kurikulum, metode interaksi dan lain-lain. Penyempurnaan tersebut diarahkan (berkiblat) kepada sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba oleh Kiai DjazuIi selama mondok di sana pada tahun 1923. Maka sistem belajar mengajar di Al-Falah ini terus berlangsung dengan berpedoman kepada sistem Tebuireng hingga sekarang.
Baca juga: Biografi K.H. Djazuli Utsman, Pendiri Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Mojo, Kediri
Tak berlebihan bila dikatakan bahwa Pondok Al Falah adalah duplikat monumental dari Pondok Pesantren Tebuireng di masa K.H. Hasyim Asy’ari tahun 1923. Kiai Djazuli rupanya mempunyai prinsip yang kokoh dan sangat yakin kepada sistem salafiyah yang dipilihnya, sehingga beliau tetap konsisten untuk melestarikannya. Dan ternyata, Kiai Djazuli tidak salah pilih sebab sistem salafiyah tetap punya pendukung dan penggemar di kalangan umat Islam.
Singkat cerita, Pondok Pesantren Ploso saat ini menjadi salah satu pesantren besar di Indonesia. Kiai Djazuli Utsman pun wafat pada pukul 15.30 WIB, Sabtu Wage, 10 Januari 1976; bertepatan dengan 10 Muharam 1396 H. [DR]
