JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan
Home » Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan

JAS HIJAU – Pondok Pesantren Syaikhona Kholil bermula saat Sayikhona Kholil mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, Bangkalan. Setelah puterinya, Siti Khatimah, dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha; pesantren di desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya tersebut. Syaikhona Kholil sendiri, pada tahun 1861 Masehi, mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan.
Pesantren ini terletak hampir di pusat kota, sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak pesantren yang baru itu, hanya selang 1 kilometer dari pesantren lama dan desa kelahirannya. Pesantren yang terakhir ini kemudian dikenal sebagai Pondok Pesantren Syaikhona Kholil.
Kealiman Syaikhona Kholil dalam bidang gramatika Arab menjadi daya tarik tersendiri bagi para santri yang ingin mondok ke pesantrennya kala itu. Bagaimana tidak, karena kelaimannya di bidang gramatika Arab, Syaikhona Kholil sering memutuskan sebuah permasalahan hukum agama menggunakan bait Alfiyah Ibnu Malik.
Masa keemasan pesantrennya bisa terlihat dari santri-santrinya yang menjadi para pemimpin negeri ini, seperti Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), K.H. Wahab CHasbullah, K.H. As’ad Syamsul Arifin dan lain-lain. Bahkan, proklamator kemerdekaan Indonesia pun pernah sowan kepada Syaikhona Kholil yang kemduian ditiup ubun-ubunnya disaksikan lagsung oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Syaikhona Kholil wafat pada bulan Ramadan tahun 1925 Masehi. Sepeninggal beliau, pesantren diasuh oleh puteranya; K.H. Imron. Selama mengasuh pesantren, Kiai Imron yang mewarisi sifat zuhud dan kewaraan ayahnya menjadi pribadi yang low profile dan lebih senang melakukan uzlah (menyendiri untuk lebih mendekatkan diri pada Allah). Beliau lebih sering melakukan uzlah di luar pesantren sehingga suasana pesantren tidak lagi sama dengan masa pada saat diasuh oleh Syaikhona Kholil.
Setelah Kiai Imron wafat, kepengasuhan pesantren dipegang oleh puterinya; Nyai Hj. Romlah, sebab puteranya (Kiai Amin) diberi tugas untuk mengurus negara. Kiai Imron sendiri pernah menjabat DPR RI pada pemerintahan presiden Soeharto. Selama mengasuh pesantren, Nyai Romlah memiliki cara tersendiri untuk mendidik dan menggembleng santri-santri yang ingin menimba ilmu di Pondok Pesantren Sayikhona Kholil.
Sepeninggal Nyai Romlah, kepengasuhan pesantren diteruskan oleh puteranya; K.H. Fathurrozi. Selama menjadi pengasuh pesantren, Kiai Fathurrozi sering memberikan ijazah karomah dan kekebalan yang membuat masyarakat Bangkalan selalu antri untuk mengikuti kegiatan ini. Tidak hanya teori, Kiai Fathurrozi langsung memberikan bukti keampuhan ijazahnya dengan membacok peserta ijazah kekebalan secara langsung dan terbukti orang-orang yang mengikuti ijazahnya menjadi kebal bacok.
Hari demi hari, hingga tahun demi tahun pun terlewati. Tanpa terasa, Kiai Fathurrozi telah meninggalkan masyarakat Bangkalan, maka tibalah giliran K.H. Abdullah Schal untuk mengasuh pesantren peninggalan buyutnya. Kiai Abdullah Schal merupakan ulama karismatik yang kealimannya sangat masyhur di kalangan para ulama. Bahkan, karena kealimannya semasa mondok di Pondok Pesantren Sidogiri, dirinya sering menggantikan pengajian pengasuh Sidogiri kala itu, K.H. Kholil.
Selama periode kepengasuhan Kiai Abdullah Schal, pesantren Sayaikhona Kholil—yang sejak dulu dikenal dengan sebutan nama “Pesantren Demangan”—mulai ramai kembali karena Kiai Abdullah Schal bersedia morok (mengajar kitab kuning) kepada santri dan bahkan banyak pengembangan yang dilakukan olehnya, seperti seperti penerapan sistem pengajaran klasikal.
Pada saat Kiai Abdullah Schal menjadi pengasuh pesantren peninggalan Syaikhona Kholil, dirinya memberikan nama “Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil”, sebuah penisbatan kepada nama besar Syaikhona Kholil dengan harapan para santri akan senantiasa mengikuti jejak langkah Syaikhona Kholil dalam mencari ilmu yang terkenal dengan sifat wara dan sangat takzimnya serta memuliakan para guru yang mengajarinya ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1986, Kiai Abdullah Schal menerapkan sistem pengajaran klasikal untuk madrasah tingkat Ibtidaiyah dengan nama Madrasah Diniyah Salafiyah al-Ma’arif dan pada tahun 1989 Madrasah Diniyah Salafiyah al-Ma’arif membuka jenjang Tsanawiyah dilanjutkan dengan membuka jenjang Aliyah Tarbiyatul Mu’allimin pada tahun 1992. Kiai Abdullah Schal wafat pada tanggal 2 Ramahan 1429 Hijriah atau 3 September 2008.
Seiring berkembangnya zaman, saat ini pesantren pun sudah dilengkapi dengan pendidikan formal seperti MTs (1982) dan SMA (1987), Sekolah Tinggi Syaichona Moh. Cholil (STITS) pada 2007 dan kemudian pada tahun 2010 beralih status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Syaichona Moh. Cholil (STAIS). [DR]
