JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Pondok Pesantren Watucongol Magelang
Home » Pondok Pesantren Watucongol Magelang

JAS HIJAU – Pondok Pesantren Watucongol, Magelang bermula dari Perang Jawa (1825-1830) meletus, Pangeran Dipanegara dibantu oleh barisan kiai yang berjuang untuk melawan Belanda. Di antaranya, tercatat nama Kiai Modjo, Kiai Hasan Besari, Kiai Nur Mlangi, serta Kiai Abdurrauf. Putera Kiai Hasan Tuqo, Kiai Abdurrauf inilah yang mendapat tugas sebagai panglima Perang Dipanegara, yang menjaga kawasan Magelang.
Pada kisaran awal abad 19, kawasan Magelang menjadi jalur penting dalam ekonomi dan politik, karena menjadi titik pertemuan dari kawasan Yogykarta menuju Temanggung dan Semarang di daerah pesisiran. Kiai Abdurrauf menjadi panglima untuk menjaga wilayah Magelang, serta memberi pengaruh penting penganut Dipanegara di kawasan ini.
Demi menjaga kawasan Magelang dan mendukung pergerakan Dipanegara, Kiai Abdurrauf bertempat di kawasan Muntilan, yakni di dukuh Tempur, desa Gunung Pring, Muntilan. Di kawasan ini, Kiai Abdurrauf mendirikan pesantren untuk mengajar ilmu agama kepada pengikutnya dan warga sekitar. Dukuh Santren di desa Gunung Pring menjadi saksi perjuangan dakwah dan militer Kiai Abdurrauf.
Sedang Kiai Dalhar mewarisi semangat dakwah dan perjuangan dari ayah dan kakeknya. Sejak kecil, beliau haus akan ilmu agama, dengan mengaji dan belajar di pesantren. Pada umur 13 tahun, Nahrowi (Dalhar kecil) mulai belajar mondok. Ia mengaji kepada Kiai Mad Ushul di kawasan Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di pesantren ini, Kiai Dalhar belajar ilmu tauhid selama 2 tahun.
Setelah itu, Dalhar kecil melanjutkan mengaji di kawasan Kebumen. Ayahnya menitipkan Kiai Dalhar di Poondok Pesantren Sumolangu, di bawah asuhan Syekh Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau dikenal sebagai Syekh Abdul Kahfi ats-Tsani. Ketika mengaji di Sumolangu, Kiai Dalhar mengabdi di “ndalem” Syekh Abdul Kahfi selama 8 tahun. Hal ini, merupakan permintaah Kiai Abdurrahman kepada Syekh Abdul Kahfi.
Pada tahun 1314 Hijriah atau 1896 Masehi, putera Syekh Abdul Kahfi berniat untuk belajar di Makkah. Beliau memerintah Kiai Dalhar agar menemani puteranya, yakni Sayyid Muhammad al-Jilani al-Hasani. Di Makkah, dua pemuda pengabdi ilmu ini, diterima oleh Syekh Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani, yang merupakan kerabat dari Syekh Ibrahim al-Hasani. Syekh Muhammad Babashol, pada waktu itu merupakan Mufti Syafi’iyah Makkah. Selama belajar di Makkad, Kiai Dalhar bersama Sayyid Muhammad al-Jilani al-Hasani bermukim di Rubath, kawasan Misfalah.
Dari jalur thariqah inilah, Kiai Dalhar dikenal sebagai mursyid, sufi, ulama alim, sekaligus penggerak perjuangan pada masa kemerdekaan di Indonesia. Kiai Dalhar menurunkan ijazah Thariqah Syadziliyyah kepada 3 orang muridnya, yakni; Kiai Iskandar dari Salatiga, Kiai Dimyathi dari Banten dan Kiai Ahmad Abdul Haq.
Sepulangnya dari Tanah Suci, sekitar tahun 1900 Masehi, Kiai Dalhar kemudian meneruskan perdikan peninggalan nenek moyangnya yang berupa pesantren kecil di kaki bukit kecil Gunung Pring, Watucongol, Muntilan, Magelang. Kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi Borobudur. Pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni oleh santri-santri sekitar eks Karasidenan Kedu saja, namun sampai pelosok tanah Jawa.
Bahkan, ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, Pondok Pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang dari Yogyakarta dan wilayah Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat. Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang harus di-asmahizb dahulu oleh Kiai Dalhar dan Kiai Subkhi (Parak, Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa, Semarang.
Hingga saat ini, pesantren yang beralamatkan di Jalan K.H. Dalhar, dukuh Santren, desa Gunung Pring, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah itu masih aktif laiknya pesantren-pesantren pada umumnya. [DR]
