JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Relasi Guru-Murid yang Berubah
Home » Relasi Guru-Murid yang Berubah

JAS HIJAU – Di tengah kesibukan Munas NU (Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama) beberapa hari lalu, seorang kiai mengadu soal kian merosotnya penghormatan murid pada guru, santri pada kiai.
Beliau menunjuk indikasi ini itu, fenomena begini begitu. Misalnya, kata beliau, murid di belakang guru tak jarang memanggil sang guru dengan nama saja tanpa embel-embel ustaz atau bapak.
Saya jawab, sepertinya tidak hanya fenomena sekarang, kiai. Sudah sejak dulu begitu.
Kata beliau: “Mosok?”
Saya jawab: “Iya!”
Lalu saya berkisah bahwa saya sudah lama juga jadi guru, ustaz dan dosen. Ketika belajar, murid-murid biasa memanggil “ustaz”, “bapak”. Ada juga yang manggil “kiai”.
Jika mereka berlatar belakang Jawa atau Madura, mereka akan menggunakan bahasa Jawa dan Madura halus seperti “enggi-njih, bunten-mboten…..”.
Namun, setelah lulus dari pesantren atau kampus, tak sedikit dari mereka mengubah panggilan: menjadi Cak, Mas, Bang.
Kalau di belakang saya, di antara mereka tak ragu memanggil saya dengan nama saja: Moqsith. Yang sekarang rajin manggil “kiai” malah yang bukan murid saya, tapi teman saya.
Ada juga yang sudah tidak berbahasa halus seperti dulu. Berkomunikasi dengan saya, laksana komunikasi antar teman yang setara.
“Terus?”, kata sang kiai penasaran.
Saya katakan: “Saya memperlakukan murid saya atau mahasiswa saya sebagai teman saya. Bukan murid saya.”
“Kan tidak sopan?”, suara sang kiai meninggi.
Saya tegaskan: “Kalau dianggap tidak sopan, maka itu bukan urusan saya. Itu urusan mereka. Dan mereka sudah dewasa.”
Beliau pun tersenyum, sebagai bukti bahwa makanan sudah datang dan siap disantap. [DR]
