Saat Gus Dur “Mengobok-obok” Militer

saat-gus-dur-mengobok-obok-militer

JAS HIJAU – Ketika menyelesaikan S2 di Universitas Indonesia, saya pernah menulis tesis yang membahas relasi Presiden Abdurrahman Wahid dengan militer. Kemudian tesis ini dibukukan oleh Penerbit LKiS Yogyakarta dengan judul Gus Dur, Militer dan Politik, diterbitkan pada tahun 2004 dan diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Mahfud MD.

Bagi saya, runtuhnya Orde Baru tahun 1998 masih menyisakan problem laten, yaitu relasi antara sipil dengan militer maupun relasi internal militer sendiri (ABRI). Unsur terakhir ini kemudian dipecah: TNI yang fokus pada pertahanan, sedangkan Polri konsentrasi pada pengamanan. Problem lainnya adalah mengurangi peranan militer yang kuat di kubu perpolitikan RI dengan cara menghilangkan Dwifungsi ABRI di legislatif, yaitu dengan menarik Fraksi ABRI/TNI-Polri dan mengembalikannya ke barak.

Selain itu, supremasi sipil dengan terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai RI-1 juga cukup menarik. Sebab, Gus Dur yang sejak tahun 1980-an akhir punya koneksi dengan link terkuat militer, yaitu kubu Jenderal LB Moerdani, cukup mengetahui jeroan militer. Oleh karena itu yang pertama kali dilakukan Gus Dur sebagai presiden adalah menyeimbangkan pengaruh “konflik laten” antara barisan jenderal merah putih vs jenderal hijau dengan cara mengangkat sosok yang bersih dan netral bernama Jenderal Agus Wirahadikusumah sebagai Pangkostrad. Langkah lainnya, dengan berani dan tanpa kompromi Gus Dur membersihkan unsur intelijen dari kepentingan politik penguasa. Beliau berusaha agar lembaga intelijen menjadi pelindung rakyat, bukan memata-matai rakyat seperti zaman Orde Baru.

Tak peduli dengan risiko, Presiden Gus Dur langsung merombak Badan Intelijen Strategis (BAIS) dengan struktur baru dan pelan-pelan memutus jaringan Orde Baru di struktur BAIS dengan mengangkat Wakil Kepala BAIS, Letjen Arie J. Kumaat untuk memimpin lembaga baru intelijen, Lembaga Intelijen Negara (LIN).

Gus Dur sepakat dengan konsep reorganisasi seluruh organisasi intelijen di Indonesia. Anggaran LIN ditambah. Struktur organisasinya berubah. Ada lima deputi yang menangani intelijen asing, intelijen dalam negeri dan analisis. Mulai Januari 2001, LIN pun diubah namanya menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). Gus Dur tercatat sebagai presiden sipil yang dengan berani mengotak-atik tatanan intelijen negara.

Hanya saja, langkah Gus Dur ini mendapatkan perlawanan secara frontal maupun laten. Sebab, gebrakan Gus Dur sebagai presiden dari kalangan sipil sangat berani mengotak-atik miter yang sangat berkuasa di era sebelumnya.

Ada beberapa poin yang saya ulas dalam buku ini, pertama, bahwa K.H. Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penting berkaitan dengan posisi dan peran TNI-Polri dalam format kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia selama ia menjabat sebagai Presiden RI ke-4 hasil Pemilu 1999.

Baca juga: Gus Dur, Supremasi Sipil dan Anekdot Prajurit AL yang Tak Bisa Berenang


Sejumlah kebijakan penting itu di antaranya, penggantian jabatan Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) menjadi Kementerian Pertahanan, penempatan orang sipil sebagai Menhan, realisasi pemisahan Polri dari TNI, penghapusan Bakorstanas dan Litsus, dicopotnya Jenderal TNI Wiranto dari jabatannya sebagai Menkopolkam, beberapa mutasi di tubuh militer; misalnya penempatan Laksamana Widodo AS (AL) sebagai Pangab TNI, pergantian posisi Pangkostrad dan beberapa perwira tinggi lainnya yang dinilai sebagai upaya “dewirantoisasi”, dihapusnya posisi Wakil Pangab, serta kebijakan yang belum terealisasi, yakni keinginan mengganti jabatan Panglima TNI dengan Kepala Staf Gabungan dan meletakkan TNI di bawah Menhan.

Kedua, militer (TNI) ternyata melakukan respon balik bahkan ‘perlawanan’ atas beberapa kebijakan Presiden Gus Dur di atas, terutama yang berkaitan dengan sejumlah mutasi para perwira, yang dibuktikan dengan penolakan mereka atas Maklumat Presiden (Dekrit) dan dukungan mereka atas SI MPR 2001.

Terlepas dari dinamika yang ada dan intrik yang mengiringi turunnya Presiden Gus Dur dari kursi kepresidenan, saya tetap bangga memiliki pemimpin seperti beliau. Andaikata mau, Gus Dur bisa melakukan deal-deal politik dengan lawaannya yang bisa menyelamatkan jabatannya, namun beliau tidak mau berkompromi. Baginya, kepentingan bangsa dan negara harus didahulukan daripada kepentingan pribadinya. Inilah sebuah keteladanan sikap dari beliau. Gus Dur bukan sekadar politisi, beliau adalah negawaran sejati. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *