Salahkah Jika Saya Menjadi NU (Nahdlatul Ulama)

salahkah-jika-saya-menjadi-nu

JAS HIJAU – Saya bersyukur kepada Allah swt karena lahir dan menjalani masa kecil di lingkungan warga NU (Nahdlatul Ulama). Saya semakin bersyukur karena menjadi santri di pesantren NU dan para santrinya juga NU.

Tidak saya kurangi rasa syukur saya karena saya menikah dan tinggal di kota kelahiran NU, Surabaya. Semakin bertambah lagi syukur saya karena saya bisa berkhidmat di kantor NU Bubutan yang memiliki sejarah sebagai kantor pertama Hoofd Bestuur NU, yang setelah pindah ke Jakarta menjadi PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama).

Pernah ada gejala keragu-raguan sebagai pengikut NU setelah membaca buku Mantan Kiai NU tulisan Ustaz Mahrus Ali, isi buku ini menyalahkan semua Amaliah NU yang saya jalankan; mulai tradisi kelahiran, pernikahan hingga kematian.

Dan Alhamdulillah, keraguan itu hilang setelah saya mempelajari dalil-dalilnya di Aswaja NU Center. Allah pun menempatkan saya di lembaga ini.

Saya juga pernah merenung; sudah benarkah haluan Ahlissunah wal Jamaah yang dibawa oleh para kiai-kiai NU ini.

Ternyata pada tahun 2015 para pemimpin ulama dunia melakukan pertemuan di Chechnya, mulai dari para Masyayikh Al-Azhar seperti Syekh Ahmad Thayib dan Maulana Ali Jumah; dari Yaman dihadiri oleh Sayyid al-Habib Umar bin Hafidz; ulama Negeri Syam dan sebagainya.

Mereka memutuskan bahwa Ahlussunah wal Jamaah adalah para pengikut Imam Asy’ari dan Maturidi di bidang akidah, pengikut Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali di bidang fikih, serta pengikut Imam Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali di bidang tasawuf.

Baca juga: Kiai Wahab Hasbullah, Boneknya Para Kiai NU


Nah, berarti Qanun Asasi NU yang ditulis Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1926 itu telah sesuai dengan keputusan ulama dunia ini.

Ternyata menjadi NU itu tidak salah, bahkan saya merasa sudah tepat. [DR]


5 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *