Sebuah Refleksi untuk Para Penerus Perjuangan Gus Dur

Surat Pendek untuk Gus Dur

JAS HIJAU – Setiap orang memiliki makna tersendiri terhadap Gus Dur, terutama bagi yang pernah bertemu, dan  apalagi bagi mereka yang merasa mewarisi pemikirannya. Seorang yang menulis biografi Gus Dur, bernama Greg Barton menyebutkan bahwa dasar-dasar pemikiran Gus Dur adalah liberalisme.

Dalam tulisannya tentang Liberalisme: Dasar-Dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid, Barton menyebut dasar pemikiran Gus Dur adalah humanitarianisme liberal, karena ia sangat memperhatikan harmoni sosial, toleransi, hak-hak, dan kepentingan orang lain.

Dalam hal ini, penting dikatakan, bahwa Gus Dur seorang yang memiliki perhatian terhadap hal-hal demikian sangatlah terang, tetapi mengatakan dasar-dasar pemikiran Gus Dur adalah humanitarianisme liberal adalah persoalan.

Versi lain salah seorang sahabat Gus Dur, bernama Djohan Efendi, pernah mengungkapkan kepada penulis bahwa Gus Dur itu seorang Humanis. Bahkan di batu nisannya, konon menurut Djohan, Gus Dur ingin ditulis: “Di sini telah dimakamkam seorang Humanis”.

Kalau pun betul itu dikutip dari Gus Dur, tentu tidak serta merta bisa dibaca dasar-dasar pemikirannya adalah Humanisme. Bahwa dimensi humanistik (dalam bahasa para pegiat Humanisme) menjadi bagian dari konsen Gus Dur, sudah jelas tidak perlu ditutup-tutupi. Akan tetapi mengatakan dan mengusung an sich humanisme yang mendasari perjuangan Gus Dur, mutlak perlu ditelaah kembali.

K.H. Husein Muhammad, karib Gus Dur yang lain, mencoba membalik, dengan menyebut Gus Dur sebagai seorang zahid dalam buku yang judulnya Sang Zahid. Poinnya menempatkan aspek-aspek seperti perhatian terhadap harmoni sosial, toleransi, hak-hak, dan kepentingan orang lain; dan dimensi humanistik lain, adalah bagian an sich dari dimensi Gus Dur sebagai seorang zahid.

Kiai Husein mencoba menyelami dari sudut dalam. Sebagai seorang karib sekaligus minum-makan dari air kehidupan pesantren (termasuk tasawuf), tetapi Kiai Husein tidak secara langsung membahas dimensi tauhid dan hubungannya dengan Gus Dur.

Dimensi lain lagi juga muncul lewat Gusdurian, sebuah perkumpulan yang saat ini mengaku meneruskan pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Mereka merumuskan nilai-nilai Gus Dur ada sembilan, dan yang mendasarinya adalah tauhid. Penggunaan kata tauhid diambil dari dimensi terdalam dalam agama Islam.

Akan tetapi penjabaran dan pendetilan dalam wilayah pergerakan dan pengkaderan, belum memperoleh cukup makna dan etos untuk menyambungkan konsep tauhid itu dengan gerakan, diskusi, dan pelatihan-pelatihan. Tampak ada kegamangan, dan keterputusan. Tapi pengambilan nilai tauhid itu yang mendasari perjuangan Gus Dur sudah sangat berarti membalik aspek-aspek, yang dikonsepsi misalnya oleh Greg Barton atau model-model pengetahuan gaya Djohan Efendi.

Terlepas dari itu semua, harus diakui, Gus Dur sudah menjadi tokoh publik, guru bangsa dan pejuang kemanusiaan-keadilan kaliber internasional. Perjuangan dan pemikirannya kemudian banyak dibaca anak-anak muda santri NU dan sebagian non-santri, di Indonesia atau di Luar Negeri.

Dari konteks demikian, ada petuah dari seorang guru, bahwa untuk menjadi seorang berkaliber yang nasional dan internasional, tidaklah berarti tercerabut dari komunitas dan akar pengetahuan komunitasnya, meskipun telah melahap berbagai pengetahuan lewat buku. Dan, Gus Dur adalah bagian dari sejenis ini.

NU-Aswaja An-Nahdliyah
Saya ingin memulai dari soal ini. Melepaskan Gus Dur dengan NU, sama saja dengan melepaskan dimensi Gus Dur yang teramat urgen. Dia lahir di pesantren pencetak kiai-kiai NU, anak dan cucu tokoh NU, dan dia sendiri memimpin NU beberapa periode.

Bahkan Gus Mus saja, dalam diskusi Kristalisasi Pemikiran Gus Dur di Jakarta, tetap mengatakan dengan jujur “NU nunut Gus Dur”, bukan sebaliknya, yang tetap menghubungkan Gus Dur dengan NU. Meski begitu, kata Gus Mus ini juga mengandung sayap-sayap, yang detil-detilnya tidak sederhana dijelaskan.

Yang jelas, tidak sedikit pada zamannya, tokoh NU sendiri tidak setuju dengan gerakan dan pemikiran Gus Dur. Itu sudah jelas dan diulas di banyak tempat. Akan tetapi, yang orang lupa, Mbah Ali Maksum dan Mbah Achmad Shidiq, sebagai pemimpin tertinggi NU pada zamannya selalu menjadi “pembelanya” dari berbagai serangan-serangan yang dialamatkan kepadanya.

Gus Dur sendiri dalam acara Kick Andy mengatakan, kalau dia sebenarnya melaksanakan titah dari beberapa guru spiritualnya. Sampai diibaratkan, kalau mereka memerintahkan masuk ke dalam api, dia juga siap.

Nah, dari sini, dimensi Gus Dur sudah semakin jelas, melepaskan Gus Dur dari NU, adalah kesalahan fatal. Gus Dur menjadi tokoh yang hidup dari basis komunitas NU, dan dari NU untuk bangsa dan dunia, sesuatu yang tidak perlu dipisahkan, apalagi mau dihilangkan. Terlepas orang tidak suka macam apapun dengan NU, fakta itu teramat jelas untuk dijungkirbalikkan. Pewaris pemikiran dan pelanjut perjuangan Gus Dur, semestinya tidak alpa soal ini.

Melepaskan Gus Dur dengan Ahlussunnah Waljamaah an-Nahdliyah juga bukan suatu yang bijak, kalau tidak mau disebut sebuah kesalahan fatal. Gus Dur tidak pernah berangkat dari Marxisme, tidak berangkat dari Kapitalisme, tidak pernah berangkat dari seorang Humanis an sich yang dilepaskan dari dunia batin dan pengetahuan kultural kawah Aswaja an-Nahdliyah. Akan tetapi semua dimensi itu, diambil dan disaring, sehingga pancaran-pancaran itu menyuguhkan gerakan, pemikiran, dan sikap yang dimensinya meluas dan banyak.

Dalam berbagai argumentasi, sikap-sikap, dan pemikiran, Gus Dur selalu tidak melepaskan dari kaidah-kaidah fiqhiyah, penafsiran dengan mengutip al-Qur’an, pendapat-pendapat ulama, dan dunia akidah yang disebutnya sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jamaah, dalam beberapa tulisannya.

Bahkan dalam bahasa Inggris Gus Dur pernah menulis satu bagian tentang Ahlussunah Waljamaah, di samping di dalam buku Islam Kosmopolitan. Belum lagi pergaulan dan takzimnya dengan para guru di kalangan sesepuh Ahlussunah Waljmaaah, tidak kurang-kurang untuk disebutkan. Tulisan ini tidak bermaksud terlalu jauh untuk menelusuri bagian-bagian Gus Dur dan Aswaja secara detil, sebab itu memerlukan kajian tersendiri.

Maknanya bagi Gerakan
Makna pertautan NU dan Aswaja Nahdliyah bagi gerakan yang menghubungkan dengan Gus Dur adalah, pembedaan antara apa yang disebut: posisi ketika membangun poros bersama memartabatkan negeri tercinta Indonesia, yang sangat digandrungi Gus Dur; dan posisi ketika membangun basis komunitasnya di kalangan santri NU, dalam melakukan kaderisasi dan penggemblengan-penggemblengan.

Dapat dilihat secara jelas, ketika dengan sahabat-sahabat dan tetangganya (sahabat dan tetangga Gus Dur), dia menggalang kekuatan membangun Indonesia dan dunia, dan oleh karena itu, mereka membentuk Fordem dan basis-basis masyarakat sipil di berbagai gerakan. Ketika membagun poros bersama, yang juga berbeda-beda ini, Gus Dur tidak lagi berbicara perihal NU dan dunia rumah tangga komunitasnya.

Gus Dur sangat lihai menempatkan, kapan harus bersama sahabat-sahabatnya berbicara tentang Indonesia dan dunia; dan kapan kembali ke komunitas dan menggembleng komunitasnya untuk bisa bertransformasi diri dengan modal sosial pengetahuan yang dimiliki bersama komunitasnya itu, yang nantinya diobsesikan untuk membangun masyarakat Indonesia, negara, dan dunia.

Bagi dunia gerakan, akan menimbulkan pilihan: Pertama, gerakan membentuk poros bersama sahabat-sahabat Gus Dur, untuk agenda tentang Indonesia dan dunia secara luas. Yang diajak adalah kelompok-kelompok lintas agama/iman/kepercayaan, ideologi, dan orientasi politik dari asal usul yang beragam.

Model Fordem dan basis-basis masyarakat sipil itu yang dibangun. Harus ada kesadaran, meski bermacam-macam kepentingannya dari sudut asal-usul komunitas, tetapi memiliki kesamaan-kesamaan tujuan tertentu, di dalam masyarakat Indonesia, sehingga ada titik temu gerakan bersama di dalam Negara Pancasila dan NKRI.

Konsekuensinya, dalam gerakan demikian tidak perlu membicarakan hal-hal yang dimensinya kelompok basis Gus Dur, seperti misalnya tentang NU tauhid, sang zahid, Sarkub, tarekat, guru spiritual, dan lain-lain. Gerakan yang demikian sah-sah saja, dan diperlukan untuk membangun martabat bangsa, memperkuat masyarakat yang sadar akan negaranya dan tugas kemanusiannya, tetapi konteksnya melepaskan sekat-sekat dan menyepakati bagian-bagian mana yang harus diperjuangkan bersama.

Kedua, gerakan yang berusaha membangun kader-kader yang memahami secara kuat pemahaman, basis-basis pemikiran, laku-laku gerakan, dunia Aswaja na-Nahdliyah, dan dimensi-dimensi luas Gus Dur, termasuk spiritualitas Gus Dur. Dengan sendirinya, model ini berupaya membangun kader-kader dan gerakan yang menghubungkan dengan komunitasnya, tetapi tetap diorientasikan untuk mentransformasikan komunitas, dan pada saat yang sama mempersiapkan rekayasa membangun Indonesia dan dunia.

Maka yang dibicarakan dan menjadi tujuan, adalah mendesain kader-kader yang sebagaimana nilai-nalai Gus Dur pegangi sendiri, yaitu dia berbicara di dan dalam rumah tangganya. Maka tidak canggung lagi, ketika akan membicarakan makna tauhid di dalam dimensi Gus Dur yang berporos pada konsep asyhadu an la ilaha illallah dan yang berhubungan dengannya, Islam tradisi, dan berbagai hubungan dengan perjuangan Indonesia, dan lain-lain, dari sudut seorang NU. Gus Dur membangun kader-kader sejenis ini, di kalangan komunitasnya di NU.

Silakan baca lanjutan dari tulisan ini Tiga Jenis Perjuangan Gus Dur untuk mendapatkan pemahman utuh tentang refleksi bagi penerus perjuangan Gus Dur. [DR]

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *