JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Sejarah Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU
Home » Sejarah Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU

JAS HIJAU – Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) lahir sejak Mei 1954 dengan nama Ittihad al-Ma’ahid al-Islamiyah yang dibidani oleh K.H. Achmad Syaichu dan K.H. Idham Chalid. Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) adalah lembaga Nahdlatul Ulama dengan basis utama pondok pesantren yang mencapai lebih 23.000 buah di seluruh Indonesia.
Dalam Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama (ART NU) 2010 disebutkan, bahwa Rabithah Ma’ahid Islamiyah adalah lembaga yang bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama dalam bidang pengembangan pondok pesantren dan pendidikan keagamaan. Di sinilah Rabithah Ma’ahid Islamiyah berfungsi sebagai katalisator, dinamisator, dan fasilitator bagi pondok pesantren menuju tradisi mandiri dalam orientasi menggali solusi-solusi kreatif untuk negeri. Rabithah Ma’ahid Islamiyah berpijak pada upaya pengembangan kapasitas lembaga, penyiapan kader-kader bangsa yang bermutu, dan pengembangan masyarakat.
Di dalam pondok pesantren pendidikan yang didapatkan bukan sebatas teori, namun juga praktik beragama. Pondok pesantren merupakan tempat penanaman nilai-nilai moral yang mampu membentuk jatidiri manusia yang berbudi luhur. Pondok pesantren merupakan wadah santri menimba ilmu pengetahuan (keagamaan) setiap hari selama bertahun-tahun di bawah kepemimpinan kiai.
Prinsip-prinsip dasar yang ditanamkan dalam dunia pesantren adalah tathawwur (berkembang secara gradual), tawasuth (moderat), tawazun (harmonis-seimbang), i’tidal (lurus) dan tasamuh (toleran) dengan berpihak pada nilai-nilai permusyawaratan dan keadilan dalam orientasi kemaslahatan umum.
Setiap pesantren memiliki karakteristik tersendiri walau unsur-unsurnya sama. Keragaman karakteristik ini merupakan kekuatan dan sekaligus keunikan. Unsur-unsur dasar yang membentuk lembaga pondok pesantren adalah kiai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning.
Baca juga: Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), Kesaksian Langsung K.H. As’ad Syamsul Arifin Sukorejo
Kiai menempati posisi sentral dalam lingkungan pesantren, karena ia bisa sebagai pemilik, pengelola, dan pengajar, serta imam pada acara-acara keagamaan yang diselenggarakan. Unsur lainnya (masjid, asrama, santri, dan kitab kuning) bersifat subside, di bawah kendali kiai. Dengan unsur-unsur yang dimilikinya, pondok pesantren telah menjadi pusat pembelajaran (training centre) dan pusat kebudayaan (cultural centre).
Nilai-nilai yang menjadi budaya Rabithah Ma’ahid Islamiyah adalah kreatif, harmonis, amanah, responsif, intelek, sederhana, mandiri, dan aktif yang dapat disingkat KHARISMA. [DR]
