Sekali Lagi Catatan Tambahan untuk Buku “Menjerat Gus Dur”

sekali-lagi-catatan-tambahan-untuk-buku-menjerat-gus-dur

JAS HIJAU – Ada satu hal yang luput jadi perhatian dalam diskusi soal pelengseran Gus Dur, yaitu peran militer. Dalam buku yang bikin heboh itu, si penulis sebenarnya juga menyinggung peran militer tersebut tapi sedikit dan kurang lengkap.

Lha, kok militer? Pertama, militerlah yang paling kena akibat reformasi. Penghapusan Bakorstanasda dan Litsus, apa tidak merupakan penggerogotan terhadap pengaruh militer. Penghapusan dwifungsi itu apa bukan penggusuran sawah ladang militer? Barangkali inilah penggusuran satu-satunya yang pernah dilakukan Gus Dur sebagai penguasa. 

Lalu siapa pula yang dipecat Gus Dur karena pelanggaran HAM, ya mantan petinggi militer. Dan ketika Gus Dur mau hapus itu pelarangan Marxisme, Leninisme, Komunisme sebagai bagian dari langkah rekonsiliasi, kalangan militerlah yang paling tidak terima.

Kedua, mana ada pekerjaan politik besar di Indonesia, yang tak melibatkan militer? Itu, kalau kata Asmuni, hil yang mustahal.

Tentu saja data mengenai peran militer ini harus dipulung satu demi satu. Ditelusuri sedikit demi sedikit. Saya kasih contoh saja yang kebetulan saya tahu. Dalam buku tentang Laskar Jihad (2008), yang berasal dari disertasi di Leiden sana, Noorhaidi Hasan merekam bagaimana kemunculan Laskar Jihad, sebuah kelompok paramiliter yang berperan besar dalam konflik Ambon, yang seperti bayi ajaib, lahir langsung besar dan tiba-tiba hilang begitu saja.

Baca juga: Melawan Radikalisme ala Gus Dur


1. Pelatihan Laskar Jihad melibatkan militer.

2. Ketika pergi ke Ambon, mereka bahkan sekapal dengan para militer.

3. Bahkan pimpinan militer setempat ikut menyambut dan mengelukan kedatangan pasukan Laskar Jihad ini dan sama sekali tak menghalangi.

4. Pimpinannya Ja’far Umar Thalib memiliki akses langsung dengan Panglima TNI dan AD dengan sempat bertemu.

Dalam suatu wawancara, Thalib bilang: “Target kami menjatuhkan Gus Dur.” Silakan baca buku Noorhaidi ini, ya. Kebetulan saya yang nerjemahkan ke bahasa Indonesia.

Jadi sejak dulu pun, saya, dan banyak kalangan juga, percaya bahwa Gus Dur memang dijatuhkan oleh sebuah proyek konspirasi. Konspirasi itu bahasa halusnya gotong royong kalau bahasa kasarnya, ya, keroyokan. Keroyokan orang-orang—para pedagang, politisi, militer—yang kepentingannya terganggu dengan berbagai kebijakan reformasi.

Nah, lalu bagaimana dengan temuan buku itu tentang peran “HMI Connection” itu? Ya itu, mereka adalah salah satu peserta rombongan dalam keroyokan tersebut. Tapi jelas bukan mereka satu-satunya. Jadi mereka “memainkan”, ya sekaligus “dimainkan”.

Tapi jangan menggeneralisasi semua alumni HMI ada di garis itu. Itu HMI pedagang dan politisi. Itu pun yang kakap-kakap. Jumlahnya terbatas dan sedikit sekali. Lha di barisan Gus Dur juga ada alumni HMI-nya, setidaknya ada Gus Yahya Staquf dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang jelas bukan bagian dari koneksi itu. Alumni HMI pembaca buku macam Cak Nur dan lingkarannya, ya mungkin tidak tahu apa-apa, dan tidak ikut-ikut.

Lha kalau orang PMII ada yang terlibat? Ya ada dong, memangnya Hamzah Haz, yang kemudian naik jadi wapres, itu siapa? Meski dia tidak disebut dalam perencanaan, dia jelas ikut andil dalam menjatuhkan Gus Dur. Jadi lur, jangan dihadap-hadapkan HMI dan PMII. Tetap ngopi-ngopi ajalah. Terus berhimpun dan bergerak! (Sesuai namanya: satunya himpunan, satunya lagi pergerakan).

Baca juga: Tiga Kekasih Tuhan: Gus Dur, Romo Mangun dan Ibu Gedong


Lalu bagaimana setelah proyek “inkonstitusional” ini selesai? Ya, rebutan sendiri-sendiri dong.

Laskar Jihad misal, setelah proyek selesai, dipaksa bubar. Panglimanya Ja’far Umar Thalib mengalami delegitimasi di dalam kelompoknya dan kemudian tersingkir karena dituduh mempolitisasi kelompok Salafi. Ia kehilangan dukungan. Dalam bagian akhir bukunya, Noorhaidi menceritakan bagaimana ia mengunjungi Thalib akhir 2003, yang nyaris sendirian di pesantrennya yang minim fasilitas. Para santrinya telah pergi.

Tahun 2003 akhir, tulis Noorhaidi, ia muncul di Jakarta dalam acara zikir dan salawat yang dipimpin Ustaz Arifin Ilham, sebuah kegiatan yang di mata kalangan Salafi merupakan bidah, yang membuatnya makin terisolasi dan tersingkir.

Lalu bagaimana dengan rombongan yang lain, 11-12. Akbar Tanjung misalnya tak pernah benar-benar bisa kembali ke panggung politik. Dalam konvensi partai Golkar untuk calon presiden, dia terjungkal. Siapa yang menang? Ya, militer dong. Ajaibnya, mantan militer yang terpilih ini adalah yang dulu dipecat Gus Dur karena pelanggaran HAM. Akbar akhirnya cukup menduduki kursi abadi: “Kakanda senior”.  Demikian juga yang lain. Ada yang ditangkap karena kasus korupsi, ada yang berpetualang ke sana-sini. Kehilangan kredibilitas dan reputasi.

Lalu siapa korban utama konspirasi ini? Gus Dur. Bukan. Ya, agenda reformasilah. Karena sejak itu reformasi jadi setengah mimpi. 

Ada pun Gus Dur, sebenarnya diturunkan bukan dengan harga mati, ada tawaran kompromi dan negosiasi. Tapi seperti diceritakan Mahfud MD dalam buku kenangannya setahun di istana sebagai menteri, Gus Dur menolak berbagai kompromi. Ia tegar di atas prinsipnya.

Dan kini sejarah perlahan menjernihkan kedudukannya dan mengembalikan kehormatannya. Namanya jadi melati yang mewangi. Dialah pemenang sesungguhnya. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *