Sepotong Jejak Rihlah Ritual, Mengenang K.H. Khozin Yahya

sepotong-jejak-rihlah-ritual-mengenang-kiai-khozin-yahya

JAS HIJAU – Kiai Khozin Yahya menunaikan haji bersama Nyai Hj. Mamnunah Yahya (Nyai Sepuh Ganjaran) dan saya pada tahun 1990 yang silam. Kala itu, kami berangkat menggunakan visa ziarah atas prakarsa K.H. Drs. Mursyid Alifi. Panjang waktu visa semacam ini praktis selama tiga bulan dan masih bisa diperpanjang hingga sekian pekan.

Namun Nyai Sepuh dan Kiai Khozin kurang berkenan berlama-lama di Tanah Suci. Perkiraan saya, keengganan kedua beliau itu lebih karena rasa berat hati menanggalkan pesantrennya terlalu lama.

Selama perjalanan panjang beserta putera pertama pendiri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 itu, banyak pengalaman yang bisa diukir dalam ingatan.

Di antara kenangan bersama Kiai Khozin Yahya ialah kesukaan kami mengkonsumsi roti yang disebut “Tamis”. Roti bulat pipih dengan diameter sekitar 30 centi meter itu merupakan makanan khas warga Arab yang asing bagi sebagian besar orang-orang pendatang, termasuk warga Indonesia.

Oleh karena itulah, jenis kuliner ini perlu penyesuaian untuk menikmatinya. Untunglah lidah kami tidak terlalu sulit menyesuaikan rasanya, sehingga kurun beberapa hari saja kami sudah merasa ketagihan pada makanan satu ini.

Hampir setiap selesai salat Subuh, kami mampir terlebih dahulu ke tempat penjualan kue yang terbilang cukup murah dan terjangkau bagi semua kalangan itu. Lebih-lebih jika disajikan bersama bumbunya yang dikenal dengan nama “ful” dan disandingkan dengan teh hangat, kami melahap bak kaum gurun pasir.

Memori lain yang masih terngiang dalam benak saya, pernah suatu waktu kami pulang dari Masjidil Haram agak larut. Memang biasanya bila saya ke Baitullah bersama beliau, kembali ke penginapan rata-rata di atas jam 11 waktu setempat usai ritual ibadah beliau rampungkan.

Tetapi kali ini, di tengah-tengah perjalanan kembali ke rumah inap, saya melihat sekelompok polisi Arab di pinggir jalan. Saya merasa deg-degan menyaksikan petugas keamanan itu, pasalnya para jamaah haji reguler sudah mulai berkurang ditambah dokumen izin yang kami gunakan tidak lagi di proses perpanjangan.

Bedeh asykar lek, (ada polisi dek),” ujar beliau singkat.

Anehnya, aparat negara itu tidak tampak hirau sekali pun kami berjalan di sampingnya padahal ruas jalan sudah sepi. Keanehan itu saya angan-angan dalam sekian tahun tatkala telah berada di kampung halaman. Kenapa bisa sekumpulan penegak hukum terbukti sama sekali tak acuh terhadap orang luar negaranya yang tidak menggunakan identitas resmi jamaah haji seperti gelang dan tas kalung?

Baca juga: Sekelumit tentang Gus Nasihuddin Khozin, Sosok Alim Nahwu dan Fikih


Hingga saat kini, saya belum habis pikir, adakah peristiwa tersebut terjadi secara kebetulan belaka atau berkah beliau melakukan sesuatu? Wallahu a’lam. Padahal saat itu, sejalan kepulangan jamaah haji dari berbagai negara, orang-orang yang dianggap ilegal konon mulai digrebek ke rumah-rumah penduduk.

Sebetulnya menyertai beliau dalam ziarah Makkah-Madinah itu menyisakan hal-hal menarik untuk dikemas dalam bingkai album dan dipetik hikmahnya.

Tetapi yang pasti, jika ada santri yang menyatakan bahwa beliau ahli membaca al-Qur’an khususnya di keheningan malam, maka tidak ada alasan menampik pernyataan itu. Bila ada alumni yang mempersaksikan beliau bersujud di kala banyak orang terlelap, maka segera saja diiyakan.Dalam sepotong jejak rihlah ritual tersebut saya berani tampil sebagai saksi hidupnya. [DR]


3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *