Syekh Ja’far dan Kiai Faqih Lop Bandengan, Penggerak Jihad Prajurit Sultan Hadlirin ke Bangkok

syekh-jafar-dan-kiai-faqih-lop-bandengan-penggerak-jihad-prajurit-sultan-hadlirin-ke-bangkok

JAS HIJAU – Pangeran Toyib Hadlirin memiliki ayah bernama lahir Ahmed Hasyim. Dia Sultan Aceh (1514-1528 M). Gelarnya banyak. Di antaranya adalah Mughoyyat Syah. Disebut demikian karena Ahmed Hasyim sangat ditakuti musuh di medan perang.

Melalui jalur ayahnya ini, Pangeran Toyib memiliki paman bernama Syekh Ja’far bin Muhammad Arsyad. Saat menjadi Sultan di Jepara, paman Ja’far disurati Sultan Hadlirin agar mau datang ke Jepara. Saat itu, stempel resmi Kalinyamat berbahan kulit singkong yang dikupas, dengan tinta berbahan latoh atau tlutoh (getah daun).

Syekh Ja’far diminta ke Jepara untuk menyemangati prajurit Jepara yang saat itu akan melakukan ekspedisi ke Kota Bangkok (sekarang Thailand). Di Aceh, Syekh Ja’far memang dikenal sebagai guru spiritual penggerak semangat jihad prajurit.

Bersama anak angkatnya yang pernah menjadi komandan perang Lampung I, Faqih bin Hasyim Isnandar, Syekh Ja’far berangkat menuju Jepara. Rombongan kemudian menuju pusat kekuasaan saat itu, Kriyan. Mereka kemudian tinggal di Robayan, desa yang dulu menjadi pemukiman ibu-ibu bangsawan merawat anaknya (robayan artinya merawat).

Prajurit perang Sultan Hadlirin dididik Syekh Ja’far dengan kisah-kisah Ahli Badar, pasukan Kanjeng Nabi Muhammad saw yang dikenal lupa enaknya hidup. Kisah Ahli Badar inilah yang terus diulang-ulang Syekh Ja’far saat pasukan dibariskan oleh Kiai Faqih di pesisir Bandengan.

Bila Syekh Ja’far menggerakkan semangat prajurit, Kiai Faqih berperan sebagai tenaga suwuk prajurit dan pengatur strategi. Semua pasukan terlatih yang akan berangkat perang diberinya Sodo Lanang, senjata dari lidi pohon aren. Musuh yang tersentuh senjata itu, tumbang. Agar tidak takut mati, Kiai Faqih juga menguatkan ruh prajurit dengan amalan salawat Ruh. Bila pun mati, harapannya syahid fi Sabilillah.

Baca juga: Jejak Buyut Malang Kusumodirjo, Pecangaan (Jepara)


Kiai Faqih memimpin regu prajurit yang jumlah personil masing-masing pleton hanya ada 10 orang pemanah. Ditulis 10P. Oleh orang Jawa, aksara itu dibaca Lop. Akhirnya, Kiai Faqih terkenal dengan sebutan Kiai Faqih Lop-lop.

Siapa yang melatih beladiri kepada mereka? Murid senior Kiai Faqih. Namanya Komandan Rotib bin Kiai Ruslan an-Najib, asal Pati. Sebelum melatih regu pleton Kiai Faqih, dia dulu merupakan prajurit andalan Sultan Hadlirin yang ahli beladiri Gladi Sakti (saya tidak tahu jenis perguruan ini masih ada hingga sekarang atau tidak).

Setelah dilatih sekitar delapan bulan, 32 ribu prajurit segera diberangkatkan untuk mempertahankan Malaka. Dua tahun berikutnya mereka diberangkatkan lagi ke Bangkok, dengan misi utama membebaskan Bangkok dari jerat kuasa Bangsa Mongol. Sultan Hadlirin mengutus pasukan ke Bangkok karena saat itu Bangkok sangat rawan dikuasai Tiongkok dan Jepang.

Ratusan kapal kecil dan kapal besar (jong) disiapkan Nyai Ratu Retno Kencono, isteri Sultan Hadlirin. Dialah yang memfasilitasi keberangkatan prajurit. Sangat kaya raya memang. Adapun logistik militer disiapkan oleh Ki Sumo Ninggil, yang berkantor di Winangunan (saya tidak tahu nama wilayahnya sekarang). Dialah penjaga alat militer di zaman itu, sebelum digantikan oleh Kiai Laduni (Karangkebagusan), sepeninggalnya.

Saking banyaknya pasukan, satu kapal ada yang ditumpangi 600 orang prajurit. Sesak, tak ada prajurit yang bisa beristirahat tenang selama setahun perjalanan laut menuju Bangkok. Ada yang gugur di tengah perjalanan pastinya.

Di Bangkok, Komandan Rotib pernah bertemu pimpinan Mongol, dan sempat diracun dengan minuman. Tapi, berkah salawat Ruh yang dibacanya sehari 150 kali, dia tidak mati. Ekspedisi ke Bangkok sempat membuat penduduknya menjadi muallaf semuanya. Sultan Hadlirin berhasil dengan gemilang. Sayang, kini jejak itu tidak tertulis.

Ketiga orang yang saling bekerja sama itu, yakni Syekh Ja’far, Kiai Faqih dan Komandan Rotib, adalah pengamal terekat Syatariyah semua. Makam mereka berdekatan, berdempet. Sekarang masuk wilayah Dukuh Perawehan, Desa Bandengan, RT. 008/RW. 003, Kec./Kab. Jepara. Sayang, tak begitu terawat.

Baca juga: Radiasi Adiktif Rontgen Makam Keramat


Padahal, jasa mereka begitu besar untuk masyarakat Bandengan. Syekh Ja’far pernah mengusir perompak asal Dayak di lautan Bandengan, yang dulu sering meresahkan nelayan sekitar. Wallahu a’lam.

Demikian sekilas jejak mereka. Tentang ilmu mereka, seperti konsep guwo garbo Syekh Ja’far, saya ulas agak lengkap di buku Jejak dan Kisah Wali di Jepara yang hari ini mencapai ketebalan 445 halaman. Belum diterbitkan. [DR]


PENGUMUMAN:
Sepertinya kisah Syekh Ja’far tidak banyak yang mengetahui detail. Begitu pula Kiai Faqih Lop-lop dan Komandan Ratib. Biasanya, yang menggugat kisah wali dari tulisan saya adalah mereka yang sudah memiliki versi kisah sebelumnya. Kali ini, kayaknya, tidak ada versi tentang ketiga nama tersebut. Namun, bila ada versi, silakan dibantah dengan tulisan. Jangan minta menghapus postingan saya, seperti penggugat kisah Mbah Sabilan kemarin, yang saya tulis 3 Januari 2025.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *